Jika ulama zaman sekarang hanya dikenal dengan kecakapannya dalam disiplin ilmu agama, maka hal serupa tidak berlaku bagi al-Ghazali.
Ulama kenamaan ini dilahirkan di Thus, Provinsi Khurasan, Persia, Iran pada tahun 450 H/1058 M dengan nama asli Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi asy-Syafi’i. Berbagai macam disiplin ilmu dikuasainya, seperti ilmu Fikih, Ushul Fikih, Filsafat, dan Teologi/Kalam.
Sehingga, tidak hanya masyhur di dunia Islam, al-Ghazali juga sangat familiar di kalangan intelektual Barat sejak abad pertengahan dengan nama Algazel. (Abdul Karim Utsman: Shirah al-Ghazali)
Sebagai sarjana muslim, al-Ghazali sangat produktif menghasilkan karya-karya monumental dalam berbagai disiplin ilmu. Seperti kitab al-Mustasyfa min ‘ilmil Ushul yang membahas tentang ilmu Ushul Fikih, kitab Jawahir al-Qur’an tentang ilmu-ilmu Alquran, dan karya-karya yang lain, seperti kitab, Syifa’ al-Ghalil, Tahdzib al-Ushul, al-Maknun fi Ilmil Ushul, dan al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul. (al-Qaradhawi: Imam al-Ghazali bain Madhihi wa Naqidhihi)
Di antara karya-karyanya yang disebut di atas, terdapat satu masterpiece yang paling masyhur dan banyak dikaji oleh berbagai instansi hingga sekarang, yaitu kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, kitab yang menurut Maurice Bouyges dikarang tahun 488-499 H. (Abdul Rahman Badawi: Mu’allafat al-Ghazali)
Banyak kalangan yang menganggap bahwa dalam kitab Ihya’ 'Ulum ad-Din hanya memaparkan hal-hal mengenai ilmu Tasawwuf. Namun, di sana al-Ghazali juga banyak memaparkan secara detail tentang metode penafsiran Alquran, yang menurut penulis, sangatlah progresif.
Terdapat satu karya al-Ghazali tentang penafsirannya terhadap Alquran, yaitu kitab Misykah al-Anwar yang mengulas tentang surat an-Nur ayat 35 dengan corak tafsir Isyari.
Al-Ghazali sangat perihatin melihat tradisi pemikiran ulama yang hidup pada masanya dan periode sebelumnya. Al-Ghazali melihat mayoritas ulama/agamawan telah melakukan banyak kesalahan dalam pembacaan/penafsiran Alquran.
Corak pemahaman yang diterapkan sangat tekstualis-mekanik-esoteris (dzahiriyyah), yaitu keyakinan bahwa Alquran hanya bisa dipahami secara tekstual semata tanpa adanya kemungkinan penggalian makna lain, atau keyakinan bahwa penafsiran yang benar hanya dirujuk pada riwayat sahabat tertentu, seperti Ibnu Abbas, Mujahid, dan yang lain.
Al-Ghazali beranggapan bahwa penafsiran semacam ini merupakan bentuk penafsiran yang keliru dan harus dihindari. (al-Ghazali: Ihya’ 'Ulum ad-Din)
Al-Ghazali berpendapat bahwa Alquran ialah kitab yang berisi teks yang dapat dipahami secara rasional, sehingga mempunyai banyak jalan untuk ditafsirkan. Ia meyakini bahwa Alquran merupakan kitab yang kaya dengan sumber ilmu pengetahuan, baik ilmu agama (al-‘Ulum ad-Diniyyah) dan ilmu alam/profane (al-‘ulum ad-dunyawiyyah). Oleh karena itu, pluralitas penafsiran Alquran tidak dapat dihindari. (al-Ghazali: Ihya’ Ulum ad-Din)
Keberagaman penafsiran tafsir tersebut dimotori oleh latar belakang, misi, dan kebutuhan yang berbeda-beda dari sang penafsir, di samping kualitas dan kapasitas pengetahuan penafsir yang bervariasi dan berbeda-beda. Misalnya, kaum Sufi akan melahirkan corak sufistik dalam penafsirannya, begitu pun penafsir lain yang ahli di bidang tertentu. Misalnya kedokteran, ekonomi, dan lain-lain, yang mana akan menghasilkan corak penafsiran sesuai bidang masing-masing. (al-Ghazali: Ihya’ 'Ulum ad-Din)
Namun, menurut al-Ghazali, berbagai tafsir tersebut tidak bisa dijadikan sebagai corak tafsir satu-satunya yang bermaksud menafikan pendekatan yang lain. Maka, al-Ghazali sangat bersikukuh menolak sikap beberapa kelompok yang hanya berpegang teguh pada kebenaran tunggal penafsiran Alquran, seperti golongan Dzahiriyyah dan Bathiniyyah, maupun golongan yang hanya melihat melihat kebenaran model tafsir bi ar-riwayah, yakni tafsir yang dirujuk hanya pada laporan dari nabi atau para sahabat. (Sahiron: Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis)
Al-Ghazali memetakan corak tafsir menjadi lima aliran. (al-Ghazali: Qanun at-Ta'wil); pertama, aliran objektivis murni. Aliran ini percaya kebenaran hanya diketahui lewat pesan lahiriyah teks Alquran. Mereka meyakini bahwa apa yang dijelaskan dalam teks Alquran harus diterima sebagai kebenaran mutlak.
Kedua, aliran subjektivis murni. Kebalikan dari aliran pertama, aliran ini menggunakan akal sebagai pegangan satu-satunya untuk menilai suatu kebenaran tanpa membutuhkan keterlibatan naql (keterangan al-Qur’an dan Hadis).
Ketiga, aliran semi subjektivis. Aliran ini berdasar pada kemampuan akal dalam memahami teks. Aliran ini menolak teks-teks yang sulit dipahami melalui proses takwil, bagi aliran ini, teks tersebut harus ditolak dan dihindari.
Keempat, semi objektivis, yaitu golongan yang memposisikan teks Suci (Alquran dan Hadis) sebagai dasar utama, sementara mereka lemah dalam penggunaan rasio.
Kelima, aliran moderat, yakni golongan yang mengkomparasikan antara akal budi dan naql. Al-Ghazali termasuk dalam aliran ini, yang menurut penulis, aliran ini termasuk aliran penafsiran Alquran progresif karena lebih kompleks metodologinya sehingga memproduksi pemahaman lebih menyeluruh.
Daripada keempat aliran di atas yang lumrah digunakan ulama/agamawan pada masa al-Ghazali. Aliran ini memposisikan akal dan teks agama pada posisi yang sejajar. Keduanya dijadikan sebagai sumber utama yang saling mendukung satu sama lain.
Menurut aliran ini, tidak memfungsikan akal berarti pula mendustakan syara’ (naql), sebab melalui kerja rasio itulah sebuah kebenaran syara’ dapat dipahami sehingga tidak mungkin terjadi ta’arudh (kontradiksi) antara keduanya.
Menurut as-Syathibi, naql tidak dapat dipahami tanpa akal budi manusia, sebagaimana akal budi tidak dapat dibenarkan jika tidak dikonfirmasi pada ketentuan naql.
Melalui corak penafsiran ini, al-Ghazali banyak menyingkap tabir berbagai ilmu pengetahuan yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran, berbeda jika hanya dipahami melalui corak tekstual. Al-Ghazali berhasil memberikan argumentasi secara logis dan sistematis bahwa Alquran menyimpan segudang ilmu pengetahuan dan menjadi sumber dari segala ilmu yang bekembang dari zaman ke zaman.
Al-Ghazali menjelaskan bahwasanya setidaknya ilmu-ilmu yang terdapat alam Alquran itu berpangkal pada dua aspek utama, yaitu dari aspek literal-tekstualnya (ilmu eksoterik) dan ilmu yang bisa dimunculkan di balik tekstualnya (ilmu esoterik).
Ilmu yang muncul dari aspek eksoterik antara lain; ilmu makharijul huruf, ilmu kebahasaan Alquran (tarjamah, sharaf, nahwu), ilmu qira’at, dan ilmu tafsir literal. (al-Ghazali: Jawahir al-Qur’an)
Sementara ilmu yang bersumber dari aspek esoterik ayat Alquran meliputi; ilmu tetntang qashas (kisah-kisah dalam Alquran), ilmu tentang muamalat dan jinayat, ilmu Fikih dan Ushul Fikih, ilmu kalam, ilmu tentang ketuhanan (teologi) yang mencakup keterangan eskatologis seperti shirat, mizan, hari akhir, dll.
Selain itu, menurut al-Ghazali, terdapat ilmu-ilmu yang berkembang dalam masyarakat modern, yang sekarang kita bisa rasakan manfaatnya, seperti ilmu kedokteran (asy-Syu’ara:78), astronomi (al-Rahman:05, Yunus:05, al-Qiyamah:8-9, al-Hajj: 61, Yasin: 38), biologi dan ilmu-ilmu lainnya yang sampai saat ini berhasil diteliti dan ditemukan para ahli di bidang masing-masing.
Begitulah dampak dan efek progresifitas metode penafsiran Al-Ghazali. Wassalam.