Di dalam sebuah seminar yang mengundang para Profesor sebagai narasumbernya, terdapat beberapa pertanyaan dari audiens yang 'mencekik' jajaran profesor tersebut. Pertanyaan yang diberikan padahal masih dalam konteks topik pembahasan yang diseminarkan, dan jajaran profesor tersebut dianggap sebagai orang dengan tingkat kapabilitas yang tidak perlu diragukan di bidang ilmunya masing-masing.
Seketika di saat untaian pertanyaan dilontarkan oleh para audiens seminar, tampak beberapa narasumber mendengar pertanyaan sembari membuka gawainya dengan sedikit diskusi bersama rekan-rekan di sebelahnya. Sampai pada giliran untuk menjawab pertanyaan tersebut, jawaban yang dilontarkan oleh profesor tersebut justru sama persis dengan muatan yang terdapat di dalam sebuah artikel di Google.
Praduga ini tak dapat dielakkan, karena penjabaran dari profesor tersebut terkesan tergesa-gesa dan mengandung logical fallacy. Selain itu juga masih terdapat setengah bagian artikel tersebut yang tidak tersampaikan oleh yang bersangkutan. Jika dilihat dari sempitnya waktu browsing di saat audiens memberikan pertanyaan, maka hal ini menjadi masuk akal.
Fenomena ini mungkin terkesan biasa saja, akan tetapi menjadi menarik jika dikaji dalam tinjauan perkembangan peradaban. Dahulu, profesor dianggap sebagai figur dengan tingkat keilmuan tertinggi di dalam suatu lembaga pendidikan tinggi. Aspek kognisi, riset dan kedalaman pengetahuan menjadi mahkotanya yang selalu dipandang oleh semua pihak.
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia ini pun tak dapat dilepaskan dari peran para Guru Besar ini. Sampai pada akhirnya para profesor ini juga tunduk pada teknologi tersebut untuk sekadar menjawab pertanyaan di seminar.
Jika pendidikan dimaknai pada aspek kognitif saja, maka secara langsung maupun tidak langsung peran dari para Profesor pun sudah dan akan tersubordinasi oleh informasi yang disediakan oleh teknologi informasi. Terlebih dewasa ini Profesor tak jarang dimaknai sebagai gelar formal untuk jabatan fungsional semata.
Bahkan, saat ini sedang berlangsung sidang uji materi Undang-Undang Guru dan Dosen di Mahkamah Konstitusi, karena pengaturan mengenai persyaratan pengangkatan Guru Besar membuka ruang adanya permainan ‘kartel’ di dalamnya. Jadi wajar saja apabila ada orang yang mengatakan Profesor itu tak lebih dari GBHN (Guru Besar Hanya Nama) yang berorientasi mencari uang tapi tak mampu mengemban kewajiban Tri Dharma.
Perkembangan teknologi ini hendaknya juga menjadi pisau bagi seluruh mahasiswa dan masyarakat, karena dengan perkembangan itu berbagai sekat dan tabir untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan sudah diruntuhkan. Bahkan kritik dan ruang debat terbuka dari khalayak umum, terkhusus mahasiswa seharusnya mampu menjadi ujian terberat bagi para profesor dalam mempertanggungjawabkan ilmunya.
Dengan fasilitas big data dan pengembangan artificial intelligence di dalam sofistikasi teknologi, maka Guru Besar sebagai orang yang menguasai suatu cabang ilmu pengetahuan perlahan akan kehilangan marwah dan kewibawaannya jika para mahasiswa juga sudah memulai melakukan sofistikasi terhadap alam pemikiran mereka.
Cara berpikir konservatif yang dipertahankan di dalam mekanisme belajar mengajar di pendidikan tinggi juga harus dievaluasi dengan basis argumentasi yang kuat, karena banyak para pengajar--bahkan Profesor--sangat anti dengan argumentasi debat kritis yang dilontarkan oleh mahasiswanya, sehingga ruang diskursus acapkali tertutup rapat di dalam proses knowledge transfer di dalam kelas.
Dalam hal ini penulis ingin menyatakan bahwa jika seorang Guru Besar hanya membawa gelar Profesornya ke hadapan mahasiswa untuk membenarkan seluruh dalilnya, maka para mahasiswa juga mempunyai seribu satu dalil yang mampu membantah itu sepanjang argumentasi yang disampaikan tersebut masih terikat ke dalam sebuah kerangka metodologi ilmu pengetahuan. Hal demikian sudah didukung dengan fasilitas literasi yang disediakan oleh teknologi informasi.
Pemenuhan 'libido' akan ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam diri mahasiswa adalah kewajiban bagi para pengajar--apalagi Profesor. Selain itu, optimalisasi dalam upaya mewujudkan kewajiban Tri Dharma juga harus direvitalisasi, karena hubungan antara pengajaran, penelitian, dan pengabdian yang dirancang oleh lembaga pendidikan tinggi acapkali tidak linear. Lebih-lebih stigma mengenai orientasi para Profesor terhadap 'jabatan' juga tidak dapat dibendung.
Oleh sebab itu, satu-satunya cara agar Profesor tampil beda dengan fasilitas informasi pengetahuan yang disediakan oleh produk perkembangan teknologi adalah dengan melakukan optimalisasi pada kewajiban Tri Dharma tersebut. Apabila ini dilakukan, maka proses humanisasi akan tetap berjalan di tengah ombak sofistikasi teknologi yang perlahan menggencarkan dehumanisasi.
Dengan demikian, ruang pencarian kebenaran dan pengembangan ilmu pengetahuan harusnya mampu menjadi lebih dinamis. Profesor tidak lagi besar karna gelarnya, melainkan besar karna konstruksi berpikirnya yang melebihi seluruh dosen dan para mahasiswanya.
Jika para Profesor masih merasa besar dengan gelarnya, sehingga semua yang terlontar dari mulutnya dianggap sebagai kebenaran, maka tidak salah sekiranya jika penulis menyatakan bahwa “hanya google yang pantas menyandang gelar Profesor”.