Terima kasih, Pak.
Saya menerima kantong plastik dari seorang pengemudi setengah baya. Di dalamnya terdapat kentang goreng, burger, dan minuman dingin. Siang itu saya tak sempat mengolah hidangan sendiri dan perut sudah menuntut untuk diisi. Membeli santapan pakai ojek daring, seperti biasa, adalah buntutnya.
Meski makanan langsung dibalut oleh kantong kertas, restoran cepat saji tetap menyertakan kantong plastik. Saya mencoba maklum karena pengemudi itu harus mencangklong pesanan saya pada setang motor, kecuali restoran itu mau memberikan tas.
Saya merogoh faktur yang terselip di dalam. Merenunginya.
Saya tak tahu jelas faktur tersebut dicetak untuk alasan keabsahan transaksi atau apa. Yang pasti, ada pertentangan. Pemesanan dilakukan secara virtual, tetapi tanda bukti tetap diberikan secara fisik. Ah, kecemasan saya yang lalu.
Kembali kepada momen ini, saya tercenung lagi. Memori saya berjalan mundur. Ia sampai kepada tiga tahun yang lalu.
Kala itu, saya bekerja di sebuah agensi periklanan digital di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam hal ketika karyawan hendak melakukan penggantian uang (reimbursement) transportasi ke departemen keuangan, salah satu persyaratan yang harus ia penuhi jika menggunakan ojek atau taksi daring adalah menyerahkan salinan fisik faktur yang telah diterbitkan melalui surel oleh perusahaan transportasi daring terkait. Ya, saya menyebut bahwa saya bekerja di agensi periklanan digital.
Kedua kasus tadi mengejawantahkan antitesis: konsep digital dalam produksi masih melibatkan keluaran fisik. Namun, kali ini saya tak berkehendak menyoal isu itu secara khusus.
Nah, ada lagi kasus yang serupa. Tak jarang terjadi: pada penyelenggaraan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day), ada pihak-pihak yang membagikan secara cuma-cuma atau dengan sengaja menjual minuman dalam kemasan plastik kepada warga yang sedang berolahraga.
Kenapa plastik? Bukankah itu menyalahi semangat membangun kota nirpolusi yang dikampanyekan?
Perihal Plastik dan Kertas yang Paradoksikal
Di tengah gempuran era digital dan gaung kesadaran ekologis pada masyarakat, umum diketahui bahwa setidaknya ada dua jenis produk yang menjadi buah simalakama: plastik dan kertas. Keduanya diakui dapat mendatangkan mudarat, tetapi keberadaaan mereka dalam kehidupan begitu erat.
Kita tahu betapa Indonesia sedang berusaha menutupi urat malu saat terbongkar oleh Jenna Jambeck dari University of Georgia bahwa ia adalah negara kedua yang paling banyak menyumbang sampah plastik dunia—hasil penelitian ini diragukan oleh sebagian kalangan, sebagaimana disampaikan oleh Mongabay, tetapi tetap tak mereduksi kekhawatiran kita. Gerakan diet plastik dan imbauan penggunaan wadah atau tas berbahan kertas ramai kemudian.
Itu yang ramai. Lalu, apa yang senyap? Sisi gelap kertas yang dinilai patut menggantikan peran plastik dalam keseharian. Ya, itu.
Kenyataan bahwa produksi kertas lebih hemat jika dibandingkan dengan produksi plastik tak bisa ditampik. Penelitian oleh Northern Ireland Assembly, seperti dikutip oleh BBC, mengungkapkan bahwa produksi kantong kertas memakan lebih banyak energi dan air ketimbang produksi kantong plastik. Itu belum menimbang bahan kimiawi beracun dan jejak karbon dalam proses produksi kantong kertas yang berjumlah lebih tinggi.
Kita tahu bahwa kertas lebih mudah terurai di alam daripada plastik. Meski begitu, plastik yang mirip penyanyi lagu menye itu—mereka sama-sama harus menunggu hingga 1.000 tahun—berdaya tahan lebih baik daripada kertas yang porak-parik begitu digerus oleh air. Mana yang lebih dapat kita perkenankan?
Jika penggunaan kertas makin digemakan, tentu akan ada lebih banyak pohon yang dirobohkan. Namun, bisa saja perusahaan-perusahaan kertas mau berupaya dan tekun membuka hutan-hutan buatan untuk produksi kertas mereka sendiri. Kemudian, mukjizat turun. Saya harap cerita menjadi lain.
Jadi, kalau produksi plastik terus menemukan lampu hijau meski para aktivis dan warga yang terbangun telah berkoar sedemikian rupa, tak aneh adanya. Memproduksi plastik berarti menekan jumlah energi dan mengurangi besaran air. Mendaur ulang satu pon plastik pun tak sampai memakan 91% lebih banyak energi seperti ketika mendaur ulang satu pon kertas, demikian yang dipropagandakan, maksud saya diutarakan oleh perusahaan International Plastics.
Apakah untuk sementara kita harus mengakui keunggulan plastik? Lantas, kenapa seolah-olah plastik dihardik lebih frekuen daripada kertas? Apakah lantaran ancamannya bagi badan? Namun, kita tak bisa menafikan bahwa kertas daur ulang untuk mengemas makanan lebih berbahaya ketimbang kertas dari serat alami, bukan? Coba kita menyoal lagi penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Saya saat ini punya satu simpulan yang sok tahu: kita belum berusaha menjadi bijak terhadap plastik dan kertas, sedangkan ide-ide muluk tentang sedotan besi kadung kita terima. Kecuali kita tak ambil pusing dan suka menenggak saja, urusan minum itu bisa membikin kepala berputar tak keruan.
Para penguasa kapital tak mau tahu. Yang mana pun konsumer pilih, toh, produksi akan tetap berjalan.
Lalu, saya pun termenung lagi. Saya membuka tulisan ini dengan mengatakan bahwa saya memesan burger!