Penjatuhan pidana mati sebagai bentuk konsistensi pemerintah Indonesia dalam memerangi peredaran narkotika kembali menuai perdebatan, baik pro ataupun kontra dari berbagai pihak. Ada sejumlah pihak beranggapan bahwa perumusan pidana mati dalam undang-undang dan pelaksanaan pidana mati terhadap terpidana narkotika bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya pemenuhan hak untuk hidup.

Eksekusi mati terhadap gembong narkotika semakin meneguhkan bahwa Indonesia adalah negara yang bersifat retensionis (mempertahankan) pidana mati, baik secara de jure maupun de facto. Pro dan kontra atas keberadaan pidana mati (Capital Punishment) sejak lama telah menjadi isu klasik yang tak berkesudahan, tidak hanya di kalangan akademisi maupun praktisi hukum semata, persoalan pemberian pidana mati juga masih menjadi perbincangan yang cukup hangat dikalangan masyarakat

Hukum pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk menjamin terlindunginya dan tercapainya ketertiban sosial dalam masyarakat. Di Indonesia sendiri tujuan dari hukum pidana itu diorientasikan pada aspek social welfare dan social defense, sebagaimana yang termaktub dalam tujuan negara yang terdapat dalam alinea ke-4 Undang-Undang Dasar 1945.

Posisi hukum pidana sebagai ultimum remedium (obat terakhir) dalam menangani persoalan hukum dalam masyarakat semakin mendapat tempat penting, terutama berkaitan dengan usaha untuk mempertahankan kepentingan umum.

Tindak pidana narkotika dewasa ini telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda. Sebagai bentuk kejahatan extraordinary crime, maka penanganannya pun memerlukan bentuk pidana yang bersifat extraordinary punishment.

Apakah penjatuhan pidana mati dapat digolongkan sebagai extraordinary punishment, sehingga penderitaan (nestapa)/pidana yang dijatuhkan tersebut memiliki efek pencegahan terhadap masyarakat atau pidana mati tersebut justru akan menjadi pedang bermata dua yang apabila tidak hati-hati menggunakannya dapat berbalik menyerang dan merusak tatanan sosial masyarakat, sehingga tujuan untuk menekan bahkan menghentikan laju penyalahgunaan dan peredaran narkotika di negara ini tidak tercapai.

Saat ini pemikiran tentang pidana mati tidak akan dapat dipisahkan dari persoalan hak asasi manusia. Dalam konteks hak asasi manusia di mana hak hidup (rights to life) merupakan hak yang tidak dapat dikesampingkan. 

Hak untuk hidup merupakan hak yang sangat dilindungi. Pasal 3 Deklarasi Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 merumuskan: “Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu.” Rumusan ini menggariskan suatu prinsip utama dalam hak asasi manusia, yaitu bahwa tidak seorang pun dapat dicabut hak atas kehidupannya (nyawanya) secara sewenang-wenang.

Dari ketentuan ini, posisi hukuman mati dalam pandangan hukum hak asasi manusia tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak, dan hanya dapat dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang sangat serius, antara lain genosida. Hak untuk hidup itu sendiri dijamin keberlangsungnnya dalam UUD 1945, dimana dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan undang-undang, sehingga tidak serta merta hak untuk hidup tersebut dapat mengangkangi hak orang lain, terutama dalam skala besar hak dari masyarakat. 

Inilah yang menjadi alasan dasar bahwa pembatasan hak untuk hidup adalah terletak pada kewajiban untuk menghormati hak untuk hidup yang dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan hal tersebutlah, di satu sisi, keberadaan pidana mati masih tetap dipertahankan meskipun menuai pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaannya.

Terdapat 94 negara yang telah menghapus hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan. Secara yuridis, Indonesia masih menerapkan hukuman mati pada beberapa tindakan pidana, penerapan hukuman mati di Indonesia memang dibenarkan. Hal ini bisa ditelusuri dari beberapa pasal yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Selain itu, hukuman mati juga terdapat di dalam undang-undang di luar KUHP, misalnya Undang-Undang Teroris, Korupsi, Pencucian Uang, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia semakin eksis dalam sistem hukum pidana di Indonesia

Namun, eksistensi hukuman mati tersebut tidak serta-merta disetujui oleh seluruh kelompok masyarakat di Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa hukuman mati bertentangan dengan konstitusi yang ada. Bahkan, untuk pertama kalinya permasalahan hukuman mati diajukan di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bertentangan dengan hak hidup yang dijamin berdasarkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Secara umum, para aktivis atau pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia menolak pemberlakuan hukuman mati. Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga berpandangan bahwa hukuman mati tidak layak diterapkan di Indonesia. Apabila dikaitkan dengan pemberantasan suatu kejahatan, maka tidak ada suatu jaminan dengan menerapkan hukuman mati akan mengurangi suatu kejahatan

Namun penulis pun menyetujui adanya hukuman pidana mati bahwa hukuman mati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati ditegakkan dalam rangka melindungi lembaga-lembaga kehidupan dan sudah diatur dalam KUHP serta mencegah peredaran narkoba yang semakin berkembang merusak generasi muda bangsa. 

Hidup ini merupakan hak asasi bagi setiap orang, maka negara atas nama hukum melindungi warganya dari peristiwa-peristiwa hukum yang merugikan masyarakatnya.