Presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang. Setidaknya, begitu menurut MK dalam memutuskan berbagai perkara uji materi atau judicial review ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. 

Karena itu, kebijakan hukum presidential threshold oleh MK dikembalikan kepada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Dengan begitu, kebijakan hukum ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden meskipun tidak bertentangan dengan konstitusi (setidaknya menurut MK) adalah “inisiatif” DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.

Bila dikritisi lebih jauh, putusan MK tersebut, pertama; MK tidak secara tegas memutuskan perkara uji materi atau judicial review ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, apakah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut, bertentangan dengan konstitusi atau tidak. 

Kedua; tentu dengan putusan MK tersebut, kemunculan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam undang-undang Pemilu, DPR mendasarkan argumen pada open legal policy untuk menjawab ambiguitas presidential threshold.

Dalam konstitusi, calon presiden dan wakil presiden: pertama, calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Kedua, “tata cara” pelaksanaan pemilihan umum diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Dari sini, dapat dilihat bahwa dalam konstitusi hanya mengatur partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta mengatur “tata cara” pelaksanaan pemilihan umum. “Tata cara” pelaksanaan pemilihan umum diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Di atas disebutkan “tata cara” pelaksanaan pemilihan umum, bukan “syarat” atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Pemilu. 

Jadi, kemunculan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden 20% suara di DPR atau 25% suara sah nasional dalam undang-undang Pemilu bertentangan dengan konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penguatan Sistem Presidensial

Kemunculan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam undang-undang Pemilu, yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden 20% suara di DPR atau 25% suara sah nasional (setidaknya menurut pemerintah dan DPR) untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

Betulkah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden menguatkan sistem presidensial?

Mari kita telaah secara bersama. Dalam sistem presidensial, eksekutif bukan bagian dari legislatif. Anggota DPR dan presiden dan wakil presiden dipilih dalam Pemilu yang berbeda. Hasil Pileg tidak ada kaitannya dengan hasil Pilpres. 

Dengan demikian, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden dari hasil Pileg, sebagaimana pengaturan dalam ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden adalah bertentangan dengan sistem presidensial.

Berbeda dengan sistem parlementer, eksekutif bagian dari legislatif. Karena itu, perdana menteri sekaligus sebagai kepala eksekutif dipilih oleh parlemen. Dalam sistem parlementer, Pemilu hanya dilaksanakan sekali, yaitu untuk memilih anggota legislatif. Partai pemenang Pemilu (Pileg) secara otomatis menguasai eksekutif. 

Karena eksekutif ditunjuk langsung oleh parlemen, maka secara otomatis parlemen memiliki kewenangan untuk memberhentikan perdana menteri. Itulah sebabnya kenapa kemudian partai-partai politik membangun kekuatan atau berkoalisi di parlemen agar pemerintahan tetap stabil dan berjalan. Dengan demikian, koalisi adalah syarat wajib dalam sistem parlementer yang multi partai.

Sedangkan dalam sistem presidensial, meskipun presiden dan wakil presiden terpilih oleh partai minoritas, parlemen tidak bisa memberhentikan presiden dan wakil presiden. Karena dalam sistem presidensial, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan apabila presiden dan wakil presiden melakukan pelanggaran hukum. Karena itu, koalisi bukan menjadi keharusan dalam sistem parlementer.

Jadi, kebijakan hukum presidential threshold, selain bertentangan dengan konstitusi juga bertentangan dengan prinsip presidensial. Karena telah memaksa partai politik untuk membangun koalisi dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

Dalam penyusunan kabinet, perdana menteri harus mendapatkan dukungan politik dari parlemen. Karena itu, dalam sistem parlementer, pengangkatan menteri lebih dominan pertimbangan politis ketimbang pertimbangan profesional. 

Sedangkan dalam sistem presidensial, pengangkatan menteri lebih profesional ketimbang politis. Karena itu, dalam pengangkatan menteri, presiden lebih mengutamakan pertimbangan profesional daripada pertimbangan politis.

Lagi-lagi, kebijakan hukum presidential threshold telah memaksa partai politik untuk berkoalisi dan merusak bangunan sistem presidensial. Karena dalam pengangkatan menteri, presiden dikekang oleh partai politik koalisi. Jadi, pengangkatan menteri bukan lagi pertimbangan profesional, tetapi pertimbangan politik pragmatis.

Demokrasi Kriminal

Demokrasi membuka kesempatan yang sama bagi siapa pun yang ingin mendapatkan kekuasaan melalui mekanisme pemilihan umum. Namun, dengan kemunculan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden telah membuat demokrasi Indonesia makin sempit dan terbatas.

Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden telah menutup rapat-rapat peluang figur-figur potensial dan kesempatan bagi partai politik baru untuk bertarung di Pemilu (Pilpres). Dengan demikian, ambang pencalonan presiden dan wakil presiden, selain bertentangan dengan konstitusi dan merusak bangunan sistem presidensial, di sisi lain telah merusak bangunan demokrasi di Indonesia.