Menempati wilayah Barat Daya Uni Sofiet (Dibaca : Negara ketika Rusia dan Ukraina belum terpecah), dimana kala itu Ukraina menjadi pusat kekuatan Militer kebanggan Uni Sofiet hingga memasuki tahun 1991, Ukraina memerdekakan diri dan peristiwa tersebut dicatat sebagai perisitiwa "Jatuhnya Uni Sofiet 1991", sejak saat itu hingga sekarang ini, konflik dan perang dingin antar keduanya sama sekali belum berakhir.

Kendati pun menjadi Negara yang kuat dari segi Militer bahkan memasok senjata-senjata pertahanan Militer Amerika, Inggris dan Polandia, Ukraina yang sudah merdeka nyatanya lemah dari segi Perpolitikan, Ekonomi, Sumber Daya, dan lainnya, sedang di saat yang bersamaan, Rusia dengan segala kekuatan Perpolitikan, Ekonomi, Sumber Daya, dan lainnya justru meningkatkan mutu dan kualitas Militer mereka, serta sudah bukan rahasia lagi bahwa Rusia merupakan Negara "Terdigdaya" di Blok Timur hingga sekarang.

Berbeda dengan Rusia sebagai Negara terdigdaya di Blok Timur, puluhan tahun sudah lamanya Ukraina memainkan peran sebagai Negara yang independen dan "Tunggal" (Dibaca : Merdeka dari Rusia, juga tidak tergabung ke dalam NATO).

Menjadi perbatasan antara Blok Barat dan Timur tentu juga merupakan hal yang tidak mudah. Ukraina seolah terbagi menjadi 3 bagian dengan 3 kiblat Perpolitikan yang berbeda di antaranya ; Politik Ukraina, Politik ke Rusia-rusiaan, dan Politik ke Barat-baratan.

Tercatat di tahun 2014 silam, Presiden Viktor selaku pemimpin Ukraina kala itu dengan menerapkan sistem "Perpolitikan pro Rusia" justru dilengserkan secara bersama-sama oleh masyarakat Ukraina. 

Belum lagi polemik merdekanya 2 wilayah di Ukraina yaitu Donesk dan Luhansk yang digadang-gadang kini telah menjadi "Kelompok separatis" pro Rusia, serta Crimea yang ikut-ikutan "Digendong" oleh Rusia hingga kini menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh masyarakat pro Rusia.

Merasa terancam dengan situasi ini, tampaknya Presiden Zelensky selaku pemimpin Ukraina sekarang, mengharapkan pertolongan dari NATO (Dibaca : North Atlantic Treaty Organization) mengenai status Negaranya.

Sempat disampaikan juga oleh beberapa Pakar Politik Internasional, bahwasanya Presiden Zelensky menganut sitem "Perpolitikan yang ke Barat-baratan". 

Dan besar sekali harapan bahwa Ukraina nantinya masuk dan menjadi bagian dari NATO serta mendapatkan pertolongan dari Negara-negara Barat yang lain.

Hal tersebut seolah menyempurnakan "Kegeraman" Rusia pada Ukraina selama ini, terlebih pasukan Militer Ukraina yang disebut-sebut hasil didikan Amerika sudah mengambil posisi di perbatasan kedua Negara. 

Sehingga Presiden Putin sebagai pemimpin Negara Rusia pun mengeluarkan instruksi penyerangan tepat pada tanggal 24 Februari 2022 kemarin.

Tentu sangat bisa ditebak sekali, keinginan Presiden Putin adalah kembalinya "Keberpihakan" Ukraina terhadap Rusia atau setidaknya Ukraina tetap bermain tunggal dan tidak memilih bergabung dengan NATO.

Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada beberapa statement yang dikeluarkan oleh Presiden Putin pasca dilakukannya serangan, di antaranya ;

1. Presiden Putin mengatakan bahwa secara Budaya dan Sejarah, Ukraina memang merupakan bagian dari Rusia dan erat sekali dengan Rusia.

2. Presiden Putin mengeluarkan larangan NATO untuk ikut campur dan menolong Ukraina terlebih mengakui bahwa Ukraina adalah bagian dari mereka, karena jika sampai hal itu terjadi, ini akan memicu konflik dan perperangan yang lebih serius.

3. Presiden Putin menginginkan Ukraina untuk tetap netral dan tidak bergabung dengan NATO.

Lalu apa yang menjadi dasar bagi para Pakar Politik Internasional sehingga berani mengatakan bahwa Presiden Zelensky selaku pemimpin Ukraina sekarang, justru menganut sistem Politik yang ke Barat-baratan?

Selama masa pemerintahannya, Presiden Zelensky sangat serius sekali dalam memasok senjata pertahanan Militer milik Amerika, Inggris dan juga Polandia. 

Tidak hanya itu, pasukan Militer Ukraina pun juga dididik secara serius oleh pasukan Militer Amerika. DAN, pasca dilakukannya serangan oleh Rusia, Presiden Zelensky sempat mengeluarkan statement yang berisi kekecewaannya terhadap NATO.

"Hari ini saya bertanya kepada 27 orang Pemimpin di NATO. Apakah Ukraina akan masuk ke dalam NATO? Saya bertanya langsung dan semua orang takut sehingga tidak ada satu pun yang menjawab.."

Lalu yang tidak kalah menjadi perhatian pada bagian akhir, Presiden Zelensky menyampaikan bahwa,

"Negara mana yang akan memberikan kami jaminan keamanan itu?"

Jika ditanya siapakah yang memulai dan hal apakah yang menyebabkan perperangan ini terjadi, maka saya akan merangkumnya sebagai berikut,

Terlepas dari hasrat yang besar seorang Presiden Putin di penghujung masa jabatannya untuk mengembalikan Ukraina, sikap yang diambil oleh Presiden Zelensky memang turut memicu terjadinya perang ini. 

Reaksi spontanitas dari rasa panik dan terancam memicu Presiden Putin untuk segera meluncurkan serangan, belum lagi pengaduan masyarakat kelompok separatis pro Rusia yang merasa terancam dengan barisan pasukan Militer Ukraina yang sudah mengambil posisi di perbatasan.

Di samping itu, juga terlepas dari sistem Politik ke Barat-baratan yang dianut oleh Presiden Zelensky, saya juga mendapati reaksi spontanitas dari rasa panik dan terancam diakibatkan oleh merdekanya Donesk dan Luhansk serta pencaplokan wilayah Crimea yang akhirnya menjadi wilayah pro Rusia. 

Sehingga memicu Presiden Zelensky untuk memperbolehkan pasukan Militernya mengatur barisan dan bersiap atas serangan, serta meminta bantuan kepada NATO sekaligus mempertanyakan keanggotaan Ukraina dalam NATO.

Mengingat bahwa permasalahan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina tidak hanya yang dimediakan baru-baru ini, melainkan sudah mengakar sejak tahun 1991, saya juga merasa tidak puas dan tidak hanya akan menyudahi tulisan saya sampai di sini, sehingga berkemungkinan besar bahwa konflik Rusia-Ukraina akan terdiri dari beberapa part, untuk mengetahui bagaimana kelanjutannya.

Dan part ini akan saya tutup dengan menginformasikan tentang keberpihakan Negara-negara yang ada di Dunia. 

Untuk Indonesia sendiri, sepertinya para Pejabat Negara masih memilih untuk bersikap netral, sedangkan untuk Negara Pro Ukraina sebelumnya terdiri dari ; Amerika, Inggris, Polandia, serta Turki yang juga menyampaikan tentang keberpihakannya terhadap Ukraina. 

Lalu untuk Negara yang Pro Rusia, selain Donesk, Luhansk dan Crimea, juga ada Belarus, Myanmar, Suriah, Venezuela dan Kuba.