Semua orang bebas memilih jalan perjuangan dalam hidupnya. Dia boleh memilih aktivis, jurnalis, pendidik, dan apapun. Saya memilih jalan politik sebagai perjuangan, prepare to be a leader, saya siap menjadi pemimpin sejak melangkahkan kaki di kampus. (Anwar Sadad)

13 April 2022, saya mengikuti tadarus politik di waroeng asela, sebuah warung di bibir pantai Camplong, Sampang. Anwar Sadad, salah satu figur politik Jawa Timur hadir sebagai pemantik. Dalam acara yang dihadiri oleh ratusan milenial itu, Sadad selalu menekankan untuk bisa menjadi generasi yang memiliki kompetensi. Menurutnya, dasar dari kompetensi itu adalah membaca.

            Sebagai orang yang hobi menulis, saya sangat setuju, sebab bagi penulis butuh banyak bahan bacaan untuk bisa dijadikan referensi dalam tulisannya. Semakin banyak bahan yang dibaca, semakin banyak pula ide bisa didapat. Idealnya, penulis dengan bacaan banyak akan melahirkan karya lebih kaya dan berwarna dibanding yang sedikit. Namun, bukan tidak mungkin hal itu juga berlaku pada penulis dengan sedikit bacaan yang memaksimalkan kualitas pembacaannya.

Kualitas pembacaan memang sangat penting bagi penulis. Kualitas tersebut bisa diukur dari seberapa dalam pengenalan dan pemahaman penulis akan objek bacaannya. Tidak ada jaminan bagi seseorang yang telah membaca 15 buku tentang kopi, misalnya, lebih paham dibanding orang yang hanya membaca empat atau lima buku jika kualitas pembacaannya buruk. 

Meski, sekali lagi, idealnya, banyaknya bahan bacaan lebih baik daripada sedikit bacaan. Jadi, semuanya kondisional tergantung kemampuan si penulis.

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pembacaan adalah dengan memperbanyak frekuensi kegiatan membaca. Misalnya, jika kita terbiasa membaca buku sekali lalu merasa paham, cobalah mulai saat ini ditambah sebanyak dua kali, tiga kali, atau bahkan sampai sepuluh kali. 

Bukankah kita akan semakin paham? Apalagi jika membaca dengan menggunakan kacamata hermeneutika dan semiotika, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan pemaknaan yang berbeda di setiap kali menamatkan bacaan. Dengan begitu, tak perlu banyak bacaan untuk menulis, cukup satu saja asalkan disertai pembacaan yang mendalam.

Membaca bukan hanya untuk para penulis saja, pemimpin yang baik harusnya selalu membaca. Aldous Huxley seorang filsuf asal Inggris selalu mengingatkan “jika mau betul-betul belajar tentang manusia, perbanyaklah baca buku”. Salah satu unsur dalam kepemimpinan adalah kemampuan dalam “mempengaruhi orang” kemampuan ini tidak bisa hanya didapatkan melalui pengalaman saja, butuh pembacaan yang lebih untuk bisa melakukannya.

Kemampuan memahami orang-orang yang dipimpin, kepandaian dalam memilih orang kepercayaan untuk lingkaran terdalam kekuasaan, dan kepintaran mengendalikan beragam karakter manusia dalam pelbagai situasi sesungguhnya merupakan bagian dari “kepintaran membaca” yang menjadi kunci keberhasilan seorang pemimpin.

Membaca untuk menjadi pemimpin hebat

Membaca, diskusi, dan menulis adalah dasar terbentuknya kepribadian Anwar Sadad, dirinya memberikan semangat kepada para milenial untuk terus mengasah dan membaca buku. Sadad juga memberikan argumen tentang kompetensi. 

Baginya pemimpin yang hebat adalah mereka yang memiliki kapasitas intelektual lebih. Hanya orang yang memiliki kapasitas lebih dan kompetensi yang bisa berkompetisi.

Voltaire, seorang filsuf asal Perancis yang mengatakan “Orang yang memegang kekuasaan tidak punya waktu untuk membaca buku. Orang yang tidak membaca buku, tidak pantas memegang kekuasaan.” Seekstrem itukah kriteria seorang pemimpin ketika harus dikaitkan dengan kitab dan buku? Apakah politik kekuasaan memang harus dihubungkan dengan lembaran-lembaran naskah literasi?

Bagaimana bisa? Karena komponen politik yang lain di luar manusia sebagai pelaku politik sesungguhnya hanyalah alat, yang gerakan dan manuvernya dikendalikan oleh para manusia. Kekuatan kemampuan seorang pemimpin membaca bahkan dilontarkan secara lebih ekstrem oleh Harry Golden.

Menurutnya, ”Para diktator itu takut kepada buku, seperti mereka takut kepada meriam”. Jika seorang pemimpin pintar membaca buku, ia akan menjadi pemimpin yang ”ditakuti” lawan politiknya sekaligus disegani orang-orang yang dia pimpin.

Bagi Sadad, Politik pada dasarnya adalah mengkonsolidasikan kekuatan untuk memilih seseorang agar kepentingan Bersama bisa tercapai (kesadaran dan partisipasi). Meskipun realitanya saat ini di Indonesia konsolidasi kekuatan itu lebih mengarah pada transaksional (mobilisasi).

Namun terlepas dari itu, Sadad memberikan semangat kepada para milenial yang hadir untuk terus belajar dan semangat untuk membaca, diskusi, bahkan jika harus, mampu menulis dengan baik dan benar. Sebab menurutnya, kultur dalam dunia politik Indonesia tidak akan lama lagi, seiring berjalannya waktu akan memberikan tempat bagi mereka yang memiliki kompetensi. Peralihan politik ideologi/background akan tergantikan politik potensial, maka untuk bisa mengikuti peralihan itu, Sadad berpesan untuk perbanyak baca buku, seringlah berdiskusi, dan mulailah menulis.

Terlebih model pemilihan pemimpin secara langsung oleh rakyat seperti yang terjadi di Indonesia masa kini dan di Amerika Serikat sejak masa lampau; karakter, kemampuan dan bahkan gaya serta prinsip-prinsip kepemimpinan seseorang bisa kita "baca" dari apa-apa yang dia tulis.

Karakter pemimpin bisa ditelaah dari lontaran ide yang menjadi opini dan dipublikasikan di berbagai media cetak, baik itu koran, majalah, bahkan juga buku. Segala sesuatu yang tertuang dalam waktu lama merupakan sebuah cermin kompetensi dan konsistensi. 

Dari ide-ide itu kita bisa melihat kapabilitas jika suatu ketika si penulis ide harus memimpin. Ini yang biasa kita sebut dengan ”melihat kompetensi”. Dari ide-ide yang tersebar dalam kurun waktu panjang tersebut, kita bisa melihat keteguhan prinsip seorang calon pemimpin. Wallahu a’lam..