Jika kemajuan suatu bangsa dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, pernyataan sejarawan dan sosiolog Muslim terkemuka Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam karya magnum opus-nya Muqaddimah melontarkan observasi yang menyentak bangsa Arab. 

"Dengan beberapa pengecualian kecil, sebagian besar sarjana Muslim baik itu yang di bidang ilmu syariat agama maupun di bidang ilmu non-agama adalah orang-orang non-Arab ('ajam)," tulis Ibnu Khaldun. "Meskipun sebagian dari mereka keturunan Arab asli, mereka non-Arab dalam bahasa dan asuhan mereka, serta memiliki guru-guru non-Arab."

Penjelasan Ibnu Khaldun tentang hal tersebut dikaitkan dengan kondisi orang-orang Arab yang menganut pola hidup kebaduian (badawah) yang nomaden, tak menetap dan berpindah-pindah. Pola hidup ini tidak mengenal pengajaran atau penulisan. Orang-orang Arab tidak akrab dengan ilmu pengetahuan dan pengembangannya. 

Pola hidup mereka sangat kontras dan jauh dari pola hidup masyarakat menetap (hadharah). Ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam memperolehnya termasuk pengajaran itu berkembang dalam pola hidup hadharah (peradaban menetap/bermukim), yang waktu itu dijalani oleh orang-orang non-Arab.

Bahkan kata Ibnu Khaldun, orang-orang Arab yang sempat berhubungan dengan budaya hadharah dan meninggalkan pola hidup badawah pun melalaikan tugas belajar dan menguasai ilmu pengetahuan. Pada masa Daulah Abbasiyah (750-1258 M), saat peradaban Islam mencapai sebagian fase puncak kejayaannya, mereka lebih disibukkan dengan jabatan di pemerintahan. 

Secara lugas Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa orang-orang Arab menganggap bahwa "menjadi sarjana itu pekerjaan hina" (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Ahmadie Thaha, 2019, hlm. 1035).

Daftar karakter negatif orang-orang Arab akan bertambah panjang jika bagian lain dalam Muqaddimah dibeberkan. Sekadar menyebut sebagian yang diuraikan Ibnu Khaldun, misalnya jika sudah menguasai satu tempat, orang Arab cepat menghancurkannya. Watak orang Arab juga sulit menjalankan arbitrase dan menghentikan permusuhan. Bangsa yang dikuasai orang Arab seakan tak berbeda dengan situasi anarki. Peradaban semacam itu tak akan bisa terbentuk dan cepat runtuh.

Pandangan kritis terhadap gambaran orang-orang Arab seperti yang diuraikan Ibnu Khaldun memang harus dibaca dalam konteks sejarah saat ia dan karyanya itu muncul. Apakah cara pandangnya tentang orang dan bangsa Arab tepat dan masih relevan dengan kondisi sekarang itu tentu bisa menjadi bahan perdebatan. 

la dan karyanya hadir dalam era saat kejayaan peradaban Islam dan dominasi bangsa Arab sudah lewat. Kekhalifahan Abbasiyah sudah lama runtuh. Begitu pula kekhalifahan Umayyah di Spanyol. Negara-negara kecil muncul setelahnya dan terus-menerus bertikai dalam perang saudara.

Menurut Guru Besar bidang sejatah Prof. Azyumardi Azra (dalam kata pengantar buku ini), apa yang terjadi di dunia arab adalah tragedi kemanusiaan yang meningkat dan terus berlanjut sejar pasca Perang Dunia II hingga saat ini. 

Penyebabnya tiada lain dan tiada bukan itu ada tiga hal, pertama sektarianisme religio-politik, kedua kegagalan arab springs, dan ketiga atau terakhir adalah kurangnya perhatian dari pihak internal & eksternal untuk menyudahi tragedi-tragedi itu, seperti Liga Arab yang kurang kompak, kurangnya campur tangan atau kontribusi berarti dari OKI dll, termasuk ASEAN terutama Malaysia dan Indonesia sebagai mayoritas muslim di Dunia.

Perlu dicatatkan pula bahwa pandangan kritis terhadap orang orang Arab tentu tidak menafikan prestasi dan kontribusi berharga yang telah mereka torehkan dalam bentang peradaban dunia. 

Seperti dicatat Philip K. Hitti dimana ia adalah profesor di Universitas Princeton dan Harvard, ia menyimpulkan bahwa bangsa Arab pada masa kebangkitannya bukan hanya menjadi penguasa wilayah yang membentang dari pantai Laut Atlantik hingga perbatasan Cina. Mereka juga pembangun kebudayaan.

"Tidak ada satu pun bangsa pada Abad Pertengahan yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan oleh orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab," tulis Hitti dalam History of the Arabs.

Buku berjudul Mengapa Bangsa Arab Terpuruk ini mengangkat isu yang terus aktual dan diperbincangkan sejak lama hingga hari ini, termasuk menjadi bahan diskusi dan perdebatan oleh masyarakat Indonesia. Perbincangan tentang isu-isu bertema Arab semakin meningkat akhir-akhir ini seiring dengan bangkitnya konservatisme keber-agama-an di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini.

Tak dimungkiri, muncul pandangan di banyak kalangan, baik Muslim maupun bukan, bahwa ada semacam kesejajaran antara keislaman (ke-Islam-an) dan kearaban (ke-Arab-an). 

Walaupun dalam pendapat Nurcholish Madjid (Islam Doktrin dan Peradaban, 2019) bahwa pandangan itu tampak banyak didasarkan pada kesan daripada kenyataan, Jazirah Arab dihuni juga oleh warga Arab bukan Islam. Begitu pula kenyataannya adalah bahasa Arab bukanlah bahasa khusus orang-orang Muslim dan agama Islam, melainkan juga bahasa kaum non-Muslim dan agama bukan-Islam seperti hal-nya orang Yahudi dan Kristen.

Melalui buku ini sang author yakni Musthafa Abd Rahman (yang juga wartawan senior Kompas) berupaya menghadirkan potret terkini bangsa Arab dari kaca mata jurnalis Indonesia yang lebih dari tiga dekade tinggal dan mengamati dari dekat semua dinamika, perdebatan, hingga denyut kehidupan di kawasan Arab.

Tidak sulit menemukan benang merah dan koherensi gagasan meski tulisan-tulisan dalam buku ini meski pernah diterbitkan secara terpisah dalam rentang waktu antara November 2019 hingga awal tahun 2022 di kolom-kolom harian atau mingguan Kompas.

Menurut Redaksi Harian Kompas yang menulis di bagian pengantar, Musthafa adalah sedikit dari wartawan Indonesia yang meraih gelar akademik tertinggi yakni Ph.D. dan itu diraih saat masih aktif menjadi jurnalis.

Sang author (di bagian pengantar penulis) memberi kesaksian dengan menuturkan bahwa tugas jurnalistik yang diembannya selama lebih dari tiga dekade di Timur Tengah tak lepas dari visi salah satu pendiri Kompas yakni Jakob Oetama (1931-2020), dimana beliau menginginkan agar media yang dipimpinnya menempatkan jurnalisnya dan melaporkan isu-isu kawasan Timur Tengah dan dunia Arab secara langsung dari pusat lokasinya untuk memenuhi kebutuhan pembaca Kompas.

Selamat membaca! 


Identitas Buku

Judul: Mengapa Bangsa Arab Terpuruk

Penulis: Musthafa Abd Rahman, Penerbit: Kompas

Tahun Terbit: 2022, ISBN: 978-623-346-668-4

Jumlah Halaman: 226 Hal.