Sudah 4 tahun saya anteng di rumah saja, setelah resign mengabdi di sebuah sekolah dasar. Kemudian saya putuskan masuk kembali ke dunia pendidikan. Awal masuk ke sekolah, saya benar-benar merasa sesuatu. Bagaimana tidak ? Empat tahun lebih di rumah hanya diisi dengan kegiatan ngurus anak, rumah, dan sedikit-sedikit mencoba menu-menu baru. Agak terlena memang.
Kembali ke lingkungan sekolah artinya bertemu dengan administrasi yang harus dikerjakan tiap hari. Sedangkan saya? Jari-jari ini kok terasa sangat kaku ya ketemu kotak-kotak huruf dan layar terang itu. Ditambah lagi, saya berada di pertengahan generasi Y, sekaligus diantara generasi kelahiran 1960-an dan kelahiran 1990-an.
Walaupun, tentu saja saya meski banyak bersyukur masih memiliki setengah kemampuan generasi muda, sekaligus mewakili setengah ekstra kerja seperti generasi yang lebih senior.
Bertemu dengan generasi muda malah jadi cambuk buat saya. Ayo belajar lagi, belajar terus. Selama mau dan niat, pasti bisa berkembang. Meski ada embel-embel cari sertifikat, paling tidak ada tambahan ilmu yang nyantol. Walaupun mencantolkannya itu perlu galah yang tinggi dan bikin cengeng kepala. Cengeng ya bukan cengeng. Dibaca seperti huruf ‘e’ pada ‘ikan lele’.
Sebagian orang di lingkungan saya adalah kelahiran 1960-an, Guru Senior. Mereka yang masih sering melafalkan ‘bek praktis’, padahal maksudnya ‘best practice’, membuat saya terkagum-kagum. Bagaimana mereka bisa dan mau berusaha terus mengejar kelayakan.
Meski gedubrag-gedubrug, meski timbul tenggelam. Sekali lagi demi kelayakan menjadi Guru yang Mempesona, karakter guru yang digadang-gadang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Lucunya, Guru Senior ini menganggap saya itu mumpuni. Padahal tidak sama sekali.
Pernah suatu waktu, salah satu Guru Senior, sebut saja Bu Mir, begitu bersemangat. Dengan usianya yang sudah 56 tahun, beliau berusaha mengisi aplikasi kinerja yang baru dimunculkan pemerintah. Pertama, mengisi pelan-pelan.
Saya juga mengisi tentu saja. Bersama-sama. Tiap ítem beliau bertanya. Dengan sabar saya jelaskan. Sampai finish. Besoknya sama-sama lagi. Mengisi lagi. Dijelaskan lagi. Besoknya juga, besoknya lagi, dan lagi. Heran? Tentu saja.
Tapi kemudian saya berpikir. Mungkin saya akan sama dengan beliau jika posisi pada tahun kelahiran yang sama. Bayangkan. Lahir dari jaman batu ketemu jaman awang-awang.
Kecilnya hanya main mandi-mandian di kali, tanpa listrik, tanpa TV, tanpa uang. Sepedapun masih jarang. Kemudian ndilalah sekarang berada di jaman serba jaringan. Akibatnya ya itu, gemumukan. Gelagapan, gugup, begitu. Dan itu wajar.
Saya saja yang setengah muda sekaligus setengah tua, masih sering kalang kabut kalau harus berhadapan dengan teknologi baru. Mengedit video pembelajaran dan mengunggah di youtube, misalnya. Butuh waktu lama untuk melakukannya. Nah bagaimana dengan Bu Mir? Merekam video saja hampir tidak pernah, apalagi mengeditnya dan harus mengunggah di youtube. Belum lagi harus berbagi link.
Pernah di kegiatan KKG, Kelompok Kerja Guru, dibimbinglah kami suatu metode pembelajaran. Di dalamnya ada kegiatan membuat video pembelajaran. Hasilnya harus dilaporkan satu minggu kemudian. Bu Mir dengan enteng menyebut, “Mbak Winda aja yang buat.” Nah loh!
Tidak dipungkiri, banyak juga Guru Senior yang bisa mengikuti perkembangan zaman, tapi bukan berarti Bu Mir-Bu Mir yang lain berjumlah sedikit. Belum lagi ada yang ‘pintar’ menangkap peluang.
Di saat Guru Senior kewalahan, datanglah sang Pahlawan. Okelah saling mendapatkan keuntungan. Di saat butuh bantuan, pertolongan datang, ada imbalan. Tapi ya itu, patokannya lebih sering mematuk. Untuk mengisi aplikasi sekian. Untuk mengerjakan ini sekian. Tiap bulan ada saja anggaran rumah tangga yang harus disisihkan.
Menilik sedikit pada kurikulum yang baru, Kurikulum Merdeka Belajar, jika saja merdeka artinya disesuaikan dengan daya setiap individu guru, itu mendinglah. Mungkin agak meringankan kerja keras para Guru Senior. Tidak perlu terburu-buru. Beda tipis artinya antara semangat belajar dan terburu-buru belajar.
Biarkan Guru Senior mengikuti perkembangan teknologi sesuai dengan kemampuannya, tapi pelan-pelan saja. Mereka sepertinya tidak tampak lelah, tapi nyata terseret-seret di zaman serba maya ini.
Mereka adalah sosok pejuang tangguh. Meski jelang usia pensiun, mereka tetap berjuang memenuhi kewajiban. Mencerdaskan bibit-bibit penerus bangsa, yang bisa jadi lebih ahli dalam membuka handphone atau menggunakan aplikasi.
Menjadi sepuh itu manusiawi. Menambah ilmu adalah kewajiban. Mengikuti perkembangan zaman adalah pilihan. Tentu tidak berlebihan jika menyebut mereka panutan.
Sudah sepatutnya, sebagai kaum yang lebih muda, saya angkat topi untuk mereka. Atas semangat dan dedikasi yang tinggi, demi bangsa dan anak negeri. Tapi tak cukup hanya kata-kata saja. Saya akan lebih semangat berkarya. Bersyukur masih diberi kemudahan. Tidak malu untuk mengejar ilmu. Tidak sungkan berbagi pengetahuan. Karena ilmu yang kita miliki akan lebih manfaat jika bisa dibagikan kepada yang membutuhkan.