Ketika saya bersama keluarga melewati lampu lalu lintas saya perhatikan banyak pengemis yang menadahkan tangan. Ada yang sudah tua, ada yang penyandang disabilitas, ada juga yang masih usia anak-anak.

Saya jadi teringat bagaimana keluarga mereka. Apakah anak-anak tersebut tidak dicari orang tuanya? Mengingat saya sendiri pasti khawatir bila anak-anak saya belum sampai di rumah bila sudah jam pulang sekolah.

Saya juga pasti menyempatkan menelpon orangtua walaupun hanya sekedar menanyakan kabar mereka hari itu. Biasanya bila ada rezeki berlebih pasti kita akan memberi sedekah kepada kerabat kita yang penyandang disabilitas.

Melihat anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas yang berada di lampu lalu lintas tersebut untuk beberapa lama, mungkin bisa disimpulkan bahwa keluarga mereka sudah tidak ada ataupun abai akan keadaan mereka

Akan tetapi, apakah selain keluarga tidak ada dinas sosial ataupun pemerintah daerah yang turun tangan memperhatikan nasib mereka? Padahal berdasarkan Pasal 34 UUD 1945, anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Selain itu, ada Undang-undang No. 8 Tahun 2016 dan Undang-undang No.19 Tahun 2011 tentang penyandang disabilitas serta konversi hak-hak penyandang disabilitas tersebut. Ada juga Perpres No.75 Tahun 2005 tentang pelaksanaan aksi di bidang penyandang disabilitas.

Fenomena pengemis di lampu merah ini rasanya jarang saya jumpai sewaktu masih kecil, apalagi tempat tinggal saya bukan merupakan kota besar. Sewaktu kecil saya hanya melihat maraknya pengemis di kota-kota besar melalui televisi.

Berkebalikan dari urbanisasai, fenomena pengemis ini semakin hari semakin menjalar ke kota-kota kecil. Kini di 34 provinsi di Indonesia pasti kita temukan pengemis, yang biasanya mangkal di lampu lalu lintas.

Bila kita lihat pertumbuhan ekonomi Indonesia ataupun provinsi-provinsi di dalamnya yang selalu bernilai positif, maka bermakna bahwa perekonomian semakin maju, jumlah uang beredar makin bertambah, pekerjaan makin beragam dan tingkat pengangguran semakin baik.

Akan tetapi mengapa fenomena pengemis ini makin marak padahal tren kemiskinan di Indonesia semakin menurun? Mungkinkah penanganan pengemis ini tidak berkorelasi dengan pengaturan kondisi sosial ekonomi secara makro?


Kondisi penduduk lansia di Indonesia

Membaiknya tingkat kesehatan membuat pergeseran struktur umur di Indonesia menuju ke arah penduduk tua. Hal ini ditunjukkan dari semakin meningkatnya komposisi penduduk lansia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) membuktikan hal ini.

Selama lima puluh tahun terakhir, persentase penduduk lanjut usia di Indonesia terus meningkat, dari 4,5 persen (hasil Sensus Penduduk tahun 1971) menjadi 10,7 persen (hasil Sensus Penduduk tahun 2020).

Mirisnya, 9,99 persen lansia tinggal sendiri padahal mereka membutuhkan perawatan. Masih menurut BPS, pada tahun 2021, sebanyak 42,22 persen lansia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir, bahkan 22,48 persen diantaranya tidak bisa bekerja.

Selain itu, sebanyak 43,29 persen lansia di Indonesia tergolong penduduk miskin dan 36,56 persen lansia tinggal di rumah tidak layak huni. Selain pengemis, bahkan kehidupan manula secara umum pun masih memerlukan perhatian pemerintah.


Potret anak usia dini di Indonesia

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2018 terdapat 8,31 persen anak usia dini yang hanya tinggal dengan salah satu orang tua, yaitu 1,27 persen tinggal dengan ayah saja dan 7,04 persen tinggal dengan ibu saja.

Bahkan terdapat 2,67 persen anak usia dini yang tidak tinggal dengan ayah maupun ibunya, melainkan diasuh oleh anggota rumah tangga lainnya. Hal ini tentu saja berpengaruh pada kondisi mental sang anak hingga dewasa.

BPS juga merilis bahwa pada tahun 2021, sekitar 0,03 persen anak usia dini di Indonesia pernah menjadi korban kejahatan. Terdapat juga 18,12 persen balita di Indonesia yang berpeluang menjadi terlantar.

Selain itu, tercatat 13,40 persen anak usia dini hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan, kekerasan dan penelantaran tentu saja dapat mendorong si anak menjadi korban eksploitasi secara ekonomi seperti praktek mengemis. Mereka ini berhak mendapat perlindungan dari pemerintah.


Kondisi disabilitas di Indonesia

Angka Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) BPS menyatakan pada tahun 2015 sebesar 6.36 persen penduduk usia 10 tahun ke atas mengalami gangguan penglihatan dan 3,35 persen mengalami gangguan pendengaran, serta 1,52 persen mengalami kesulitan bicara.

Tingkat kesulitan di atas dapat berupa kesulitan ringan, sedang, hingga tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Baik dikarenakan kondisi sejak dilahirkan, maupun karena kecelakaan, kesehatan dan juga faktor usia.

Masih berdasarkan BPS, sebanyak 3,76 persen penduduk usia 10 tahun ke atas mengalami kesulitan berjalan dan 1,31 persen mengalami kesulitan menggenggam. Hal ini dikarenakan tidak mempunyai tangan atau kaki maupun karena kesulitan gerak


Selain itu, di Indonesia terdapat 2,82 persen penduduk usia 10 tahun ke atas mengalami kesulitan mengingat dan 1,02 persen mengalami kesulitan mengurus diri sendiri. Kondisi ini biasanya dinamakan keterbatasan mental/cara berfikir.


Solusi disabilitas di Indonesia

Negara harus hadir dalam kehidupan para penyandang disabilitas maupun para lansia ini. Selain itu, negara juga harus ikut bertanggung jawab dalam mengarahkan masa depan anak usia dini yang merupakan generasi penerus bangsa.

BPS merilis Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya dari 3,88 (kategori rendah) pada tahun 2015 menjadi 5,59 (kategori sedang) pada tahun 2020.

Kemajuan TIK secara global dan juga di dalam negeri harusnya dapat mendorong inklusi pekerjaan dan Pendidikan untuk kaum disabilitas. Sistem pembelajaran/pekerjaan jarak jauh dapat memudahkan kaum disabilitas yang memiliki kesulitan gerak dan berpindah tempat.

BPS pada tahun 2022 melaksanakan sensus penduduk yang merupakan lanjutan dari sensus penduduk tahun 2020, sensus penduduk ini dinamakan SP2020 Lanjutan. Salah satu cakupan SP2020 lanjutan ini menitikberatkan pada karakteristik disabilitas penduduk.

Dengan adanya direktori terbaru penduduk penyandang disabilitas per provinsi dan per kabupaten maka upaya penanganan dan pemenuhan kebutuhan mereka akan lebih terarah. Pemerintah pusat juga akan lebih mudah merencanakan dan mengevaluasi proses kebijakannya

Data disabilitas penduduk ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk pendirian sekolah khusus, tempat perawatan khusus, maupun pelatihan kerja/keterampilan khusus untuk penyandang disabilitas. Tentunya dengan memperhatikan kesiapan keuangan dan SDM pemerintah daerah.


Solusi Lansia di Indonesia

Penduduk lansia merupakan beban bagi pembangunan, akan tetapi negara lain sudah membuktikan bahwa lansia yang terjaga kesehatannya dapat menjadi modal ekonomi apabila masih tetap produktif. Kondisi ini dinamakan bonus demografi kedua.

Oleh karena itu, pemerintah harus berfokus pada penanganan kesehatan lansia. Negara juga wajib hadir bagi lansia yang tidak produktif. Pemerintah dapat lebih meningkatkan pelayanan dan cakupan pelayanan di rumah jompo.

Selain itu pemberian subsidi harus terus didorong dan di kontrol penyalurannya. Program subsidi seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Perlindungan Sosial/Kartu Kesejahteraan Sosial (KPS/KKS) harus tepat sasaran.

Selama ini pemerintah juga telah membangun program khusus lansia seperti Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI), Sentral Layanan Sosial (SERASI), Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT), perawatan lansia di rumah (home care), family support lansia.

Selanjutnya juga ada program pendamping sosial profesional lansia serta dukungan teknis lansia. Namun dampaknya belum terasa di masyarakat terutama di daerah kecil dan terpencil. Mungkin hal ini bisa lebih direncanakan apabila data lansia tersedia hingga level desa.

SP Lanjutan yang dilaksanakan Mei-Juni Tahun 2022 ini merupakan langkah awal pendataan kondisi rinci semua kelompok umur, termasuk lansia di dalamnya. Dengan tersedianya data rinci kesehatan dan ketenagakerjaan maka kebijakan lansia akan lebih optimal dilakukan.


Solusi Permasalahan Anak di Indonesia

Investasi Pendidikan dan kesehatan baik fisik maupun mental untuk anak usia dini mutlak diperlukan dalam pembentukan modal manusia Indonesia di masa depan. Ini dapat dijadikan strategi pemerintah dalam mempersiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045.

Pendirian tempat penitipan anak, sekolah informal, rumah singgah untuk anak terlantar, maupun panti asuhan harus disesuaikan dengan kebutuhan di tiap daerah. Pemerintah pusat dapat membantu apabila pemerintah daerah belum siap secara optimal.

Kebutuhan daerah ini dapat mengacu pada hasil SP Lanjutan yang akan memuat karakteriktik rinci individu, termasuk penduduk anak anak usia dini yang tersaji lengkap hingga data tingkat kecamatan. Diharapkan kebijakan pemerintah terasa hingga pada level bawah sekalipun.


Penutup

Penyebab seseorang mengemis adalah kemiskinan, keterbatasan fisik, malas untuk bekerja keras, maupun mental terbiasa menerima penghasilan tinggi dari mengemis. Kemiskinan dan keterbatasan dapat dirubah dengan kebijakan pemerintah.

Akan tetapi mental malas juga tidak mudah berubah. Hal ini membuat pengemis akan terus ada di lampu merah. Hanya saja diharapkan pemerintah dapat mengurangi ataupun menekan jumlah pengemis ini hingga tidak sampai bertambah.