Dua hari lalu, tepatnya 20 Juni 2018, Presiden Republik Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi) baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-57. Banyak ucapan, doa, dan harapan berdatangan dari berbagai pihak. Selain panjatan doa agar Jokowi dikaruniai kesehatan, rezeki, dan kemuliaan, para relawan juga tidak lupa berdoa agar tokoh idola mereka diberi kesempatan untuk menjadi presiden kedua kalinya di Pilpres 2019 nanti.

Diketahui bersama, pada Februari, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyatakan dukungannya untuk Jokowi maju kembali di Pilpres 2019. Hal itu sebagaimana diutarakan petinggi PDIP Pramono Anung melalui akun Twitter-nya, Jumat (23/2).

"Dalam Rakernas III hari ini, PDIP memutuskan pencalonan Jokowi jadi Calon Presiden untuk tahun 2019-2024. Bismillah, menang dan mendapatkan dukungan seluruh rakyat Indonesia #Bant3ngPilihJokowi #T3tapJokowi."

Selain itu, PDIP merupakan partai ke-8 yang mendukung Jokowi maju kembali di Pilpres 2019 setelah 7 partai politik lainnya yang mendeklarasikan dukungannya terlebih dahulu, seperti NasDem, Hanura, PSI, Golkar, PPP, PKPI, dan Perindo yang mendeklarasikan dukungannya pada Oktober 2017.

Namun, pencalonan tersebut masih terganjal siapa kandidat yang tepat untuk mendampingi Jokowi di kursi Cawapres. Pro-kontra pun kemudian saling bermunculan antara pihak yang berharap Jusuf Kalla (JK) bisa kembali dipasangkan dengan Jokowi dengan pihak yang menginginkan Jokowi maju tanpa JK.

Pihak yang berharap JK mampu mendampingi Jokowi untuk kedua kalinya beranggapan, JK merupakan sosok figur yang tepat, matang, berpengalaman, dan merepresentasikan Islam dari wilayah Indonesia Bagian Timur. JK merupakan pasangan yang sangat tepat untuk mendampingi Jokowi di tengah isu populisme Islam yang semakin menguat.

Selain karena faktor tersebut, bisa jadi dukungan terhadap JK berdasar pada tradisi politik masyarakat Indonesia sendiri yang lebih percaya kepada tokoh yang sudah matang secara pengalaman. Sementara pihak yang kontra terhadap pencalonan JK sebagai pendamping Jokowi menginginkan munculnya tokoh baru yang bisa mendampingi Jokowi sekaligus mengeliminasi tokoh-tokoh lama.

Bagi pihak yang pro untuk JK mencalonkan diri kembali, rupanya harus rela harapannya kandas. Sebab berlawanan dengan konstitusi seperti pada Pasal 7 UUD 1945 Amandemen mengamanatkan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Pasal tersebut secara tegas menyatakan jika JK sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk kembali menjabat sebagai Wakil Presiden. Sebagaimana diketahui bersama, JK sudah dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden, yakni pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004-2008 dan masa kepemimpinan Jokowi pada tahun 2014-2018.

Meskipun kemungkinan JK maju sebagai pendamping Jokowi sangat kecil, namun bisa saja tiba-tiba angin politik tertiup segar ke arah JK jika MK mengabulkan uji materi terkait persyaratan menjadi Presiden dan Wakil Presiden selama dua periode. Persyaratan tersebut tertuang pada Pasal 169 dan 227 (i) UU No. 7/2007 tentang Pemilihan Umum.

Terlebih, berbagai partai palitik seperti NasDem dan PDI-P seolah mendukung JK untuk kembali mencalonkan diri. Mereka tampak meyakinkan publik terkait kredibilitas JK sebagai politisi yang susah dicari.

Sebagai informasi tambahan, sebelumnya terdapat pihak yang mengajukan uji materi syarat jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke MK, yakni dilakukan oleh Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi dan Dewan Pimpinan Federasi Pekerja Singaperbangsa, Muhammad Hafidz. Gugatan tersebut diajukan bahwa JK tidak bisa kembali mencalonkan diri sebagai Wapres untuk ketiga kalinya. Karena itu, penggugat mengajukan gugatan terhadap Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dukungan-dukungan yang datang tentu bukan tanpa alasan. Sebab, berbagai riset menyatakan, tingginya elektabilitas JK untuk bersanding dengan Jokowi. Seperti hasil Survei Litbang Kompas yang menyatakan jika JK merupakan salah satu figur yang mendapat dukungan terbanyak dari responden untuk menjadi Cawapres mendampingi Jokowi di Pilpres 2019. Elektabilitas JK mencapai 15,7 persen dan unggul atas Cawapres potensial pendamping Jokowi lain, yakni Prabowo Subianto (8,8 persen), Gatot Nurmantyo (5,3 persen), dan Susi Pudjiastuti (4,8 persen).

JK sendiri menyatakan kemungkinannya untuk kembali maju menjadi Cawapres mendampingi Jokowi secara tersirat. "Nanti kita pikirkan [jika konstitusi mengizinkan JK menjadi wapres lagi]. Tapi konstitusinya kan berbunyi begitu. Nanti kita perhatikan, lihat," (Tirto.id).

Pada 21 Juni 2018, di Istana Wapres, JK juga kembali menanggapi terkait dukungannya terhadap Jokowi dengan sangat diplomatis. JK hanya menyebut jika presiden dan wakilnya harus selalu kompak. "Ha-ha-ha... ya kalau antara presiden dan wakil otomatis harus kompak, kan. Kalau beliau ingin melanjutkan, tentu sangat penting sekali," (Detikcom).

Track Record Populisme Jokowi 

Pada Pilpres 2014, kedua kandidat Calon Presiden, yakni Jokowi dan Prabowo Subianto, sama-sama menggunakan isu populisme. Melihat arah angin politik global dan nasional, nampaknya isu populisme masih akan digunakan pada Pilpres 2019 mendatang, baik oleh Prabowo maupun Jokowi sendiri. Sayangnya, dibandingkan dengan Jokowi, Prabowo kalah populis dan susah membangun kredibilitasnya di antara kaum miskin Indonesia. Karena, secara latar belakang, Prabowo berasal dari keluarga yang sejahtera, dan juga militer.

Dibandingkan dengan Jokowi yang manusia biasa pada umumnya, yang meski tidak kaya namun juga tidak miskin, tetapi mencerminkan rakyat pada umumnya dengan tubuh kecil ataupun bahasa Inggris yang pas-pasan. Namun, justru karena itu, Jokowi dianggap pro rakyat hingga muncul slogan “Jokowi adalah kita”.

Jika dibanding dengan presiden-presiden lainnya, Jokowi adalah presiden pertama yang tidak mempunyai tradisi sebagaimana presiden sebelumnya. Dia bukan berasal dari kalangan konglomerat ataupun berdarah biru, bukan berasal dari keluarga politikus seperti Megawati, bukan militer seperti SBY, bukan berasal dari keluarga birokrasi, atau bahkan juga tidak memiliki massa Islam banyak sebagaimana Gus Dur.

Jokowi hanya pengusaha mebel biasa. Bahkan, semasa kuliah, ia tidak memiliki latar belakang sebagai aktivis seperti BEM, GMNI, PMII, dan berbagai gerakan mahasiswa lainnya. Jokowi hanyalah mahasiswa biasa di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.

Sepak terjang Jokowi dimulai sejak menjadi Walikota Solo. Ketika Gubernur Jawa Tengah kala itu Bibit Waluyo mencacinya dengan ucapan "bodoh", ia membalasnya dengan mencoba rendah hati dan mengatakan jika dirinya memang masih bodoh dan masih harus banyak belajar ke banyak orang. “Dibilang kayak gitu, ya nggak apa-apa,” ujar Jokowi kepada wartawan di Balaikota Surakarta 7 tahun lalu.

Ungkapan Bibit bermula dari keinginan Bibit Waluyo yang ditolak oleh Jokowi untuk mengizinkan pendirian mall di lokasi bekas pabrik es Sari Petodjo di Solo. Karena pabrik tersebut merupakan cagar budaya sekaligus dekat dengan pasar tradisional.

Sebelum itu, Jokowi juga dikenal publik luas karena keberhasilannya memindahkan ratusan PKL tanpa paksa ketika berbagai kepala daerah lainnya melakukan pemindahan dengan cara gusur paksa. Tak hanya itu, ia juga menjadi sorotan ketika mendukung pembuatan mobil esemka.

Setelah selesai dengan tugasnya sebagai Walikota Surakarta selama dua periode, ia kemudian memenangkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Tak lama kemudian, ia naik menjadi Presiden Republik Indonesia ke-7 pada tahun 2014.

***

Populisme dimaknai sebagai sebuah paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Populisme sendiri lahir bukan tanpa sebab. Ia lahir karena adanya ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan, instistusi sosial dan politik negara, ataupun adanya ketimpangan keadilan dan kemakmuran.

Di negara-negara Barat, populisme muncul akibat kekecewaan terhadap politik liberal. Sementara di negara-negara berkembang seperti Indonesia, kekecewaan tersebut disebabkan oleh janji-janji modernisme.

Di masa Jokowi, populisme fokus pada figur Jokowi sendiri yang didasarkan pada kemuakan rakyat atas negara yang penuh dengan korupsi. Ketika Jokowi muncul, masyarakat seolah menemukan sosok yang bisa menjadi cermin atas mereka, yang diharapkan mampu memiliki kebijakan yang pro dengan rakyat miskin. Akhirnya, kemuakan tersebut ditransformasikan menjadi partisipasi elektoral mendukung Jokowi pada Pilpres 2014 lalu.

Munculnya relawan Jokowi yang tidak terikat oleh organisasi partai politik merupakan salah satu contoh gerakan-gerakan populisme sebagaimana yang muncul di negara-negara lainnya. Dari mulai awal pencalonan, kampanye, hingga pelantikan presiden, berbagai lapisan masyarakat menyatu dan seolah bersepakat untuk memenangkan sang tokoh demi kebaikan bersama, untuk tokoh yang dianggap akan membawa perubahan dan memberantas korupsi warisan orde sebelumnya.

Populisme Jokowi semakin menguat ketika ia melakukan pendekatan blusukan untuk mengetahui problem rakyat secara langsung. Selain mendapatkan respons positif dari rakyat, diplomasi blusukan tersebut juga terbukti mampu mencairkan hubungan dengan negara-negara lainnya dengan cara mengajak kepala negara maupun kepala pemerintahan negara lain untuk mengetahui kondisi rakyat Indonesia secara langsung.

Misalnya, dengan mengajak para pemimpin negara lainnya untuk jalan-jalan ke Pasar Tanah Abang. Hal ini tentu saja mendapat sorotan dari media-media luar negeri dan memberikan efek positif, baik untuk Jokowi sendiri maupun negara Indonesia.

Dengan pendekatan blusukan, Jokowi langsung mengetahui problem yang terjadi di akar rumput, tidak dengan menggunakan laporan-laporan yang sering kali sudah dimanipulasi oleh para pejabat lainnya. Dengan cara ini pula, Jokowi menyerap aspirasi rakyat dan mengetahui kemauan mereka sehingga mendapatkan solusi yang diinginkan oleh kedua pihak antara pemerintahan dan rakyat.

Dengan pendekatan inilah Jokowi mendobrak anggapan sebelumnya tentang pejabat yang mewah, angkuh, gagah, birokratis, formal, serta berjarak dengan rakyat.

Tantangan Jokowi di Pilpres 2019

Setelah kemunculan Jokowi sebagai figur nasional, populisme Indonesia kemudian bergeser menjadi populisme kanan yang bercorak Islam. Fenomana ini menguak ketika diadakan pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 yang membuat beberapa ormas masyarakat FPI muncul dan dianggap membawa aspirasi rakyat kebanyakan.

Selain FPI, momen tersebut juga memunculkan gerakan keagamaan serupa, seperti GNPF-MUI (kini berganti nama menjadi GNPF-Ulama). Terbukti, GNPF mampu mengorganisir massa hingga jutaan umat dan berkumpul untuk melakukan serial demontrasi besar-besaran. Massa tersebut menuntut pemerintah untuk memenjarakan Ahok yang Kristen dan Cina untuk segera dipenjarakan karena dianggap telah menista agama Islam.

Menguatnya populisme Islam di Indonesia merupakan tantangan tersendiri untuk Jokowi di Pilpres 2019 nanti, bagaimana menarik massa dari basis Islam. Hal ini terutama karena Jokowi sangat dekat dengan Ahok, dan partai politik pengusung Jokowi, PDI-P, juga merupakan partai yang mengusung Ahok di Pilkada DKI Jakarta tahun lalu.

Sedangkan Gerindra, yang diketuai oleh Prabowo, merupakan partai politik yang dekat dengan FPI. Mereka telah berhasil "mengalahkan" Ahok-Djarot dengan membonceng populisme Islam.

Dari sini bisa dipahami mengapa PDI-P dan Jokowi sendiri melirik JK untuk Pilpres selanjutnya demi mengambil suara Islam dan masyarakat dari Indonesia Timur. Namun, jika seandainya niat tersebut terhalang konstitusi, saya rasa Jokowi masih siap untuk memenangkan pertarungan di Pilpres 2019 melihat sepak terjang, popularitas, dan elektabilitas yang masih tinggi, terutama pada poin pembangunan infrastruktur yang masih harus diteruskan.