Pada 13 Juli 2019, stasiun MRT Lebak Bulus jadi saksi bisu bertemunya dua seteru politik, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Tempat yang biasanya dipadati penumpang itu kini jadi sorotan warta politik Indonesia. Setelah situasi bangsa terbelah oleh perhelatan Pilpres baru-baru ini, perjumpaan itu serupa pusaran air yang menarik semua perbedaan politik pada satu titik.
Perjumpaan itu menimbulkan banyak tafsir, juga pro dan kontra. Ada yang terharu melihat pertemuan itu, ada yang menafsirkannya sebagai upaya negosiasi kursi menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf, ada yang berharap istilah cebong dan kampret segera lenyap, ada yang memuji sikap kenegarawanan Prabowo. Namun lebih dari semua itu, ada yang tidak senang dengan langkah Prabowo.
Di satu sisi, ada asa yang disemai di sana: bahwa jalur politik boleh berbeda, ada koalisi pemerintah, ada koalisi oposisi. Itu sesuatu yang harus ada dalam demokrasi. Tapi semua itu untuk satu tujuan, kemajuan bangsa Indonesia. Begitu kira-kira asa yang mengalir di sana.
Di sisi lain, ada kelompok yang tidak menaruh asa di sana. Mereka tidak lain adalah para pendukung Parabowo Subianto yang selama ini mengusung Islam populis sebagai platform politiknya atau yang menyebut diri sebagai Persaudaraan Alumni (PA) 212.
Mereka berdalih bahwa tindakan Prabowo menemui Jokowi tersebut dilakukan tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan partai koalisi dan para pendukung. Mereka mengancam akan menarik dukungan dan meninggalkan Prabowo Subianto.
Tapi apakah mereka akan tetap eksis tanpa momen politik yang terbelah dan tanpa patron politik sekuat Prabowo Subianto?
Populisme Islam di Indonesia, menurut Vedi R. Hadis, berbeda dengan populisme Islam di Timur Tengah. Di Timur Tengah, gerakan populisme Islam mendapat dukungan dari elite-elite pengusaha sebagai patronnya.
Di Indonesia, populisme Islam tidak mendapat dukungan elite-elite pengusaha sekuat di Timur Tengah. Populisme Islam di Indonesia, selama ini, eksis justru karena didukung oleh kekuatan oligarki yang pada saat yang sama membutuhkan dukungan elektoral dalam sebuah momen politik.
Dalam relasi seperti itu, gerakan populisme Islam di Indonesia menjadi leluasa bergerak dalam panggung politik. Sebaliknya, elite yang menjadi patronnya diuntungkan oleh dukungan massa yang cukup banyak. Benar-benar relasi mutualisme. Sulit membayangkan hubungan seperti itu akan saling meninggalkan.
Dengan meninggalkan Prabowo Subianto, berarti gerakan populisme Islam akan kehilangan patron oligarkinya. Jika hal itu benar-benar terjadi, populisme Islam di Indonesia akan mengadapi kesulitan dalam meraup dukungan.
Hal ini seturut dengan pernyataan pengamat politik dari Populi Center, Rafif Pamenang Imawan. Ia menyatakan bahwa perjumpaan Jokowi dan Prabowo membuat gerakan populisme Islam kehilangan dukungan.
Tapi, menurut juru bicara PA 212, Novel Bamukmin, sikap tegas terhadap Prabowo akan diputuskan pada Ijtimak Ulama ke-4 yang direncanakan akan dilaksanakan pada awal Agustus mendatang. Di sini, mereka akan memutuskan langkah politik selanjutnya, apakah akan tetap satu barisan dengan kubu Prabowo atau benar-benar meninggalkannya.
Jika Ijtimak Ulama ke-4 memutuskan akan meninggalkan Prabowo Subianto, maka gerakan Populisme Islam di Indoneaia akan menghadapi tantangan baru. Tanpa sosok patron yang berseteru sekuat Prabowo, narasi Populisme Islam akan tampak biasa saja. Tidak ada daya dobrak yang menyihir kesadaran banyak orang.
Tanpa bersembunyi di balik kekuatan oligarki, gerakan populisme Islam akan tampak telanjang. Tidak ada tameng untuk menyamarkan kehendaknya, mengubah sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariat Islam secara penuh.
Demikian halnya dengan kuasa oligarki. Tanpa narasi populis, ia akan tampak telanjang memperlihatkan dirinya.
Perkara ini selalu diingatkan oleh Prof. Salim Haji Said bahwa persoalan ideologi antara Pancasila dan Islam, sampai saat ini, sebenarnya belum selesai. Masih ada tarik-menarik pemikiran soal dasar negara, apakah Pancasila ataukah Islam. Persoalan itu masih akan mewarnai wacana politik di Indonesia untuk waktu yang panjang.
Sekali lagi, tanpa patron, populisme Islam akan kehilangan daya tariknya. Tapi mereka akan tetap eksis dalam panggung politik dengan meminjam narasi-narasi populis, seperti ketidakadilan hukum, utang negara, kriminalisasi ulama, ummah yang terpinggirkan, dan lain sebagainya.
Dengan narasi seperti itu, gerakan populisme Islam akan tetap muncul ke permukaan, sekalipun tidak akan semenarik dalam sebuah perhelatan politik elektoral.
Populisme Islam, menurut Vedi R. Hadis, adalah suatu aliansi lintas kelas yang membawa agama Islam sebagai identitas pemersatu. Hubungan di dalamnya bersifat tidak seimbang, penuh kontradiksi, dan rentan. Karena itu, untuk menjaga eksistensinya, populisme membutuhkan konflik dan kontroversi.
Karena kebutuhan akan konflik dan kontroversi, kehilangan patron yang berseteru adalah bencana bagi populisme Islam yang dibangun oleh PA 212. Wajar saja jika langkah politik Prabowo menemui atau "berdamai" dengan Jokowi, seterunya di Pilpres, begitu mengecewakan kelompok PA 212.
Tapi apakah Prabowo akan rela berpisah dengan PA 212?
Jika Prabowo hendak mengambil jalur oposisi, dukungan kelompok PA 212 masih sangat dibutuhkan. Hal ini disinyalir dari pernyataan politikus Gerindra, Andre Rosiade, bahwa Prabowo akan menemui pendukungnya yang marah karena pertemuannya dengan Jokowi.
Dalam bernegosiasi dengan PA 212, Prabowo Subianto masih memiliki daya tawar, yakni pemulangan dan pembelaan terhadap imam besar mereka, Habib Rizieq Shihab. Dengan tawaran itu, PA 212 akan sulit meninggalkan Prabowo Subianto.