Belakangan ini kajian tentang Jalaluddin Rumi boleh dikatakan begitu populer dan sangat bergairah. Kajian pemikiran dan ajaran spiritual sang Sufi Persia dapat kita lihat begitu mengemuka di tengah suasana saat ini yang diisitilahkan oleh Asef Bayat dengan "post-islamisme". Meskipun Rumi senantiasa dikaji dari zaman ke zaman, popularitasnya saya kira baru terasa akhir-akhir ini.

Keberadaan Rumi Institute dan ngajirumi[dot]com boleh dibilang merepresentasikan gairah tersebut. Ketika kajian Rumi diinstitusikan, berarti ada usaha serius dan terkelola dengan baik untuk mengkaji Rumi. Selain sebagai representasi, lembaga-lembaga yang fokus pada kajian pemikiran dan ajaran Jalaluddin Rumi itu juga sekaligus memproduksi pasang-naiknya popularitas Rumi di Indonesia.

Untuk Rumi Institute, sejak 2016 sampai hari ini, bergerak menyebarkan pemikiran dan ajaran spiritual Rumi melalui berbagai media, dari seminar ilmiah, penulisan dan penerbitan buku, hingga media sosial. Dalam sebuah wawancara dengan Republika (2016), Muhammad Nur Jabir selaku Direktur Rumi Institute mengatakan lembaganya menawarkan perspektif baru dalam memandang agama, yakni perspektif batin yang bagi Rumi inti dari agama adalah dimensi batinnya.

Tentu saja kajian Rumi di Indonesia sudah tak terhitung jumlahnya pada masa-masa sebelum ini, sekalipun tidak sepopuler sekarang. Saya teringat waktu kuliah dari tahun 2003 hingga 2007 di Jurusan Aqidah-Filsafat IAIN Antasari Banjarmasin (sekarang UIN), seorang rekan mengangkat Rumi dalam skripsinya, sementara mahasiswa-mahasiswa lain lebih terpikat kepada Filsafat Barat dan majelis pengajian aqidah dan tasawuf lokal.

Popularitas Rumi tidak hanya muncul dalam bentuk kajian-kajian akademik, melainkan juga menjadi bagian dari budaya populer. Di media-media sosial, tidak sedikit penggunanya membanjiri lini masa akun mereka dengan kutipan-kutipan kalimat bijak dan puisi-puisi Rumi. Dalam hal terakhir ini, Rumi tidak sekedar sebagai referensi tetapi juga peneguh identitas individu.

Sekularisasi Rumi?

Pada tahun 2016, beredar kabar Hollywood akan menggarap film biografi Rumi dengan Leonardo Dicaprio sebagai pemeran sang sufi. Rencana tersebut sontak menuai protes publik yang menyatakan Rumi adalah seorang Muslim dan bukan berkulit putih.

Sampai sekarang belum terdengar kelanjutan penggarapan film tersebut. Meski demikian, adanya rencana pembuatan film Rumi oleh simbol bisnis hiburan terbesar di dunia itu menunjukkan betapa Rumi sangat populer bahkan di Barat. Konon, Grup Band asal Inggris Coldplay banyak menimba inspirasi dari puisi-puisi Rumi dalam menulis lagu-lagunya.

Jagad maya juga sempat heboh dengan viralnya foto aktor ternama Brad Pitt yang menato lengannya dengan kutipan puisi Rumi. Ivanka Trump, anak mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, juga mengutip kalimat Rumi di postingan Twitter-nya pada tanggal 1 Maret 2020. Fenomena ini tentunya mengundang berbagai komentar.

Salah satu ulasan yang cukup menarik termaktub dalam kolom bertajuk The Orientalizing of Maolana Rumi (20 Mei 2020) yang ditulis oleh Sharghzadeh. Ia menyatakan bahwa beredarnya kutipan-kutipan Rumi di internet kebanyakannya palsu dan merupakan bagian dari proyek sekularisasi Maulana Rumi.

Sharghzadeh mengambil contoh kasus Brad Pitt dan Ivanka Trump yang sama-sama mengutip kalimat Rumi dengan terjemahan Inggris: “Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing there is a field. I’ll meet you there. When the soul lies down in that grass the world is too full to talk about” (Di luar gagasan tentang perbuatan salah dan perbuatan benar ada bidangnya. Aku akan menemuimu di sana. Ketika jiwa berbaring di rerumputan itu, dunia terlalu penuh untuk dibicarakan).

Kutipan tersebut diambil dari buku The Essential Rumi yang ditulis oleh Coleman Barks, buku yang boleh jadi meraih “penjualan terbaik” di Amerika. Barks mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Teheran, meski, imbuh Sharghzadeh, ia tidak pernah mempelajari Islam, Sufisme atau Persia baik secara akademik maupun otodidak. Namun itu tidak menghentikannya menerjemahkan kutipan puisi Rumi dan berhasil menjual lebih dari lima ratus ribu kopi buku-bukunya tentang Rumi.

Ketimpangan itulah yang kemudian membuat terjemahan Barks atas puisi-puisi Rumi terdistorsi dan menghilangkan unsur-unsur keislaman atau spesifiknya mistisisme Islam. Sebagai contoh, Sharghzadeh menerjemahkan kutipan puisi Rumi yang sama dari bahasa Persia sebagai perbandingan dengan terjemahan Barks:

Beyond Islam and Kufr there is a desert plain, in that middle space our passion reign. When the gnostic arrives there he’ll prostate himself, not kufr not Islam nor is there any space in that domain” (Di luar Islam dan kekufuran ada padang gurun, di ruang itulah gairah kita berkuasa. Ketika sufi tiba di sana, dia akan bersujud, bukan kekufuran, bukan Islam, juga tidak ada ruang dalam medan itu).

Omid Safi, Profesor Studi Timur-Tengah dan Islam di Universitas Duke, sebagaimana Rozina Ali tulis dalam kolomnya The Erasure of Islam from the Poetry of Rumi (5 Januari 2017), menyebut distorsi dan penghilangan unsur religius Islam dari puisi Rumi dimulai sejak era Ratu Victoria di Inggris (1837-1901).

Ketika itu para pembaca di Barat mulai memisahkan puisi mistis dari akar keislamannya. Para penerjemah dan teolog di masa itu tidak dapat menerima gagasan keterkaitan antara apa yang mereka sebut “agama gurun pasir” dengan karya-karya puisi, seperti karya Rumi dan Hafez. Coleman Barks mulai menulis kembali puisi-puisi Rumi dari buku-buku terjemahan yang memuat spirit Victorian tersebut, termasuk karya A.J. Arberry.

Sang Pembangun Jembatan

Apakah popularitas Rumi yang menggejala saat ini, baik dalam bentuk kajian keilmuan maupun budaya populer, mengandung distorsi terhadap ajaran-ajaran sang sufi atau merupakan gejala populisme biasa, tentu dapat diperdebatkan. Yang pasti, Rumi dan puisi-puisinya kini mendapat tempat di hati masyarakat global. Fenomena ini menjadi bagian dari apa yang disebut Asef Bayat dan Linda Herrera dengan Global Middle East (Bayat & Herrera [ed.], 2021).

Globalisasi Rumi, jika kami boleh menyebut demikian, tak lepas dari substansi puisi-puisi dan sosok Rumi itu sendiri. Sebagai seorang sufi, Rumi memang mengungkapkan ajaran-ajaran spiritualnya lewat puisi-puisi, suatu tradisi yang telah lazim di kalangan sufi.

Fatemeh Keshavarz yang menulis satu bab tentang Rumi dalam buku tersebut di atas dengan judul Rumi, The Bridge Builder mendedah bahwa para sufi adalah mereka yang percaya potensi manusia yang dapat terhubung langsung dengan Tuhan dan akhirnya menyatu dengan-Nya, tapi keistimewaan tersebut terhalang oleh kehidupan duniawi sehari-hari. Namun pada saat yang sama mereka tidak percaya pembelajaran agama yang terlalu terpaut pada buku-buku dapat membangkitkan kedekatan manusia dengan Tuhan.

Oleh karena itu, dalam mengungkapkan ajaran-ajaran mereka, para sufi tidak menggunakan bahasa yang terlalu teknis dan ambigu seperti kalangan ahli agama. Sebaliknya, mereka memerlukan suatu sistem bahasa yang dapat meliputi keindahan, kejujuran, kesederhanaan dan kerinduan alamiah manusia untuk berada dekat dengan Tuhan. Mereka menemukan kemampuan itu dalam puisi.

Maulana Rumi, yang juga seorang terpelajar, mengembangkan tradisi tersebut, melampaui segala tradisi yang melingkupinya dan melahirkan puisi-puisi yang segar, hidup, memikat dan mudah diakses para pembaca biasa. Tujuannya adalah melintasi batasan-batasan seperti kelas sosial, etnisitas, budaya, dan agama hingga mencapai kultur Hindu, Muslim, Kristen, Yahudi, dan bahkan Ateis sekalipun. Rumi menyebut bahasa puisi-puisinya dengan “bahasa cinta”.

Hal itu Rumi nyatakan dalam salah satu puisinya yang saya kutip dari tulisan Fatemeh Keshavarz yang telah ia terjemahkan oleh ke dalam bahasa Inggris:

To speak the same language is to share the same blood, to be related. To live with strangers is the life of captivity. Many are Hindus and Turks who share the same language. Many are Turks who may be alien to one another. The language of companionship is a unique one, to reach someone through the heart is other than reaching them through words. Beside words, allusions and argument, the heart knows a hundred thousand ways to speak.

(Berbicara dalam bahasa yang sama berarti berbagi darah yang sama, berhubungan. Hidup dengan orang asing adalah kehidupan tawanan. Banyak orang Hindu dan Turki berbagi bahasa yang sama. Banyak orang Turki yang terasing satu sama lain. Bahasa cinta adalah bahasa yang unik, menjangkau seseorang melalui hati ketimbang menjangkau mereka lewat kata-kata. Disamping kata-kata, kiasan dan argumen, hati tahu ratusan ribu cara untuk berbicara.)

Gagasan “bahasa cinta” Rumi nampaknya muncul dengan latar belakang kehidupannya di Konya di Anatolia Tengah, setelah keluarganya memutuskan untuk pindah dari Balkh pada 1207 dan berkelana melewati banyak kota-kota besar selama dua tahun lamanya. Konya adalah kota kosmopolitan yang terdiri dari tiga kultur yang saling tumpang-tindih: bahasa Turki sebagai bahasa publik umum, bahasa Arab sebagai bahasa pembelajaran dan praktek agama, dan Persia sebagai media ekspresi puisi.

Miliu tersebut lantas mempengaruhi semangat multikultur yang terkandung dalam puisi-puisi Rumi. Maka tak heran jika puisi-puisinya dapat diterima oleh khalayak global di masa sekarang. Lebih-lebih bagi masyarakat modern yang, menurut banyak pengamat religius, kehilangan makna eksistensial kehidupan.

Selain itu, tulis Fatemeh Keshavarz lagi, keterbukaan para Sufi terhadap kebebasan batin untuk melintas batas antara keyakinan dan keraguan, kekufuran dan keberimanan, menarik bagi nalar masyarakat global. Ini juga menjelaskan mengapa sebagian pecinta dan sarjana kajian Rumi mendeteksi adanya ketertarikan terhadap insting Rumi yang cenderung mendobrak batasan-batasan dan mendorong individu menjadi bagian dari masyarakat global.

Walhasil, kini kita menyaksikan “perayaan Rumi” yang telah menjadi budaya populer di tengah-tengah masyarakat dunia. Rumi menyadari puisi-puisinya dapat diinterpretasi dan dimanfaatkan oleh para pembacanya berdasarkan kepentingan dan ruang lingkup budaya dan historisitas masing-masing. Namun, Rumi telah memperingatkan dalam bait-bait puisinya:

If you try to pour the sea into a jug, it will only take enough for a day’s use.

(Jika kamu mencoba menuang lautan ke dalam sebuah kendi, itu hanya cukup untuk pemakaian sehari.)

Oleh karena itu, kita memerlukan interpretasi yang lebih luas dan menyeluruh terhadap puisi-puisi Rumi, agar jembatan yang dibangun Rumi semakin panjang dan kokoh. Saya kira, Afifah Ahmad, lewat bukunya Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik yang mencoba memaknai ajaran-ajaran Rumi dalam ruang lingkup kehidupan kontemporer, merupakan salah satu langkah yang hebat demi cita-cita sang Sufi.[]

Tulisan ini merupakan untaian paparan saya dalam Diskusi Buku Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik karya Afifah Ahmad yang diselenggarakan oleh Gusdurian Banjarmasin Penerbit Afkaruna dan Prodi Ilmu Akhlak dan Tasawuf UIN Antasari, 17 Juli 2021.