Baru-baru ini, warga Maluku dikejutkan dengan penelitian terkait Orang Maluku Mulai Tinggalkan Sagu dan Beralih ke Beras.
Penelitian yang dilakukan oleh Wardis Girsang, sebagai peneliti Sagu dari Fakultas Pertanian Universitas Pattimura(Unpatti) Ambon, membuat warganet, khususnya di Maluku, terguncang. Mereka banyak meluangkan waktunya untuk mendiskusikan terkait hasil penelitian yang ada.
Sebagaimana dikatakan Wardis, perubahan ini dikarenakan program pemerintah untuk mengatasi krisi pangan melalui program raskin yang saat ini lebih dikenal dengan rastra atau beras sejatera. Hal ini yang menyebabkan masyarakat lebih memilih konsumsi beras dibandingkan pangan lokal.
Padahal, jelasnya, sagu memiliki kadar kalori yang hampir sama dengan jagun dan beras. Sagu juga lebih mudah dibudidayakan.
Pada prinsipnya, sagu merupakan makanan pokok yang kaya karbohidrat. Ia termasuk tanaman yang tidak serumit padi atau sawit dalam hal merawat, apalagi sampai tingkat pemupukan yang menghabiskan banyak waktu untuk memperoleh hasil maksimal. Bahkan kita tidak pernah mendengar ada petani sagu yang gagal panen; itu belum pernah terjadi.
Namun, setelah politik beras dicanangkan pemerintah pusat, sagu perlahan-lahan terancam di kalangan masyarakat Maluku. Ditambah lagi semenjak mengguritanya politik beras, seolah-olah memunculkan krisis identitas yang berlebihan.
Misalnya: banyak anak muda yang malas ke kebun; sagu tidak lagi dijadikan sebagai konsumsi pokok; budaya pengharapan raskin menjadi ketergantungan masyarakat.
Senyata, data Direktorat Jenderal Perkebunan RI menyebutkan, produksi sagu di Maluku pada tahun 2017 telah mencapai angka 11.905 ton per tahun.
Sementara data resmi Dinas Pertanian Maluku di tahun yang sama menyebutkan, luas areal tanaman sagu di Maluku terbesar ada di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang mencapai 35.717 Ha, sedangkan produksinya 9.323 ton. Kepulauan Aru luas 323 Ha, produksi 0,1 ton; Seram Bagian Barat (SBB) luas 229 Ha produksi 5,2 ton; dan Maluku Tengah luas 175, 4 Ha, produksi 27,4 ton..
Dengan total produksi sebanyak itu, sagu kiranya menambah nilai lebih bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tetapi, pada implementasinya, masyarakat memilih meninggalkan sagu dan beralih ke beras.
Politik beras di Maluku memang sudah lama terjadi, semenjak pembuangan Tahanan Politik (Tapol) ke Pulau Buru pada tahun 1969 sampai 1976 silam. Diceritakan para Tapol, mereka diajarkan untuk membuka lahan-lahan mati dan ditanami padi yang dikirim dari Pulau Jawa. Dari sinilah asal muasal politik beras di Maluku.
Akan tetapi, proses politik beras itu tidak begitu berdampak secara luas bagi sejagat masyarakat di Maluku. Hanya mereka yang berada di sekitar area Tapol yang bisa merasakan nasi. Sedangkan di pulau-pulau lain, seperti Ambon, Seram, dan pulau-pulau di Maluku Tenggara, sagu masih mendominasi di meja makan.
Politik beras kembali menunjukkan taringnya di masa pemerintahan Presiden SBY dengan program andalannya, yakni Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang kerap kali mendatangkan mara bahaya bagi masyarakat di desa-desa.
Dikatakan, MP3EI berpotensi memicu masalah sosial akut dan memperparah degradasi lingkungan. Konversi lahan pertanian dalam program MP3EI tidak didukung dengan tinjauan mengenai dampak lanjutan. Kemudian, MP3EI terkesan tutup mata dengan seluruh konflik lahan yang ditimbulkan dari peraturan pembebasan lahan yang tumpah-tindih.
Itulah kenapa di Pulau Seram, Provinsi Maluku, banyak sekali terjadi konflik lahan antara masyarakat adat dengan perusahan. Masyarakat adat yang mempertahankan lahan adatnya, berisikan pohon-pohon sagu sebagai ibu kehidupan, ingin digusur dan digantikan dengan sawit.
Padahal, bila diteliti cepat-cepat, sagu adalah tanaman yang kaya akan mamfaat. Dari akar sagu hingga ujung daunnya dapat dipergunakan bagi kebutuhan manusia dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Tak hanya itu, sagu adalah tanaman yang menyimpang banyak cadangan air. Patinya banyak dan tahan dengan perubahan iklim. Tidak seperti padi yang rentan terhadap hama dan penyakit dan banyak menghasilkan gas metan ke udara sehingga memengaruhi pemanasan global. Oleh sebabnya, sebagai makanan pokok, mestinya sagu bisa terus memperkaya ragam pilihan makanan pokok warga.
Anehnya, Pemerintah Provinsi Maluku telah menetapkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu. Namun penerapannya belum diperhatikan secara serius.
Pembiaraan ketidak-berfungsinya aturan seperti demikian merupakan langkah Pemerintah Provinsi Maluku melegalkan masyarakatnya untuk mengonsumsi beras ketimbang sagu sebagai local wisdom.
Ditambah lagi pada Mei 2015 kemarin, Presiden Joko Widodo mencanangkan Penanaman Padi serta Peresmian Bendungan Way Leman di Pulau Buru.
Saat memberikan sambutan, Presiden Jokowi menyampaikan tekadnya untuk menjadikan Buru sebagai penghasil beras terbesar di Maluku. Jokowi menyebutkan, Bendungan Way Leman yang diresmikan merupakan bagian dari usaha untuk mencapai target Pulau Buru sebagai lumbung beras Maluku.
Maka jangan heran bila nilai konsumsi orang Maluku mengalami pergesaran nilai.
Bila pencanaan politik beras terus menggurita dan tidak ada upaya perlawanan untuk tetap mempertahankan sagu sebagai indentitas filosofis orang Maluku, bisa saja 5 - 10 tahun ke depan anak cucu kita tidak lagi memakan Papeda dan kuah Sambal Colo-colo. Mungkin bisa, tapi kita akan impor dari Provinsi Riau, yang sedang mempromosikan sagu mereka ke kancah Internasional.