Saat ini jagad maya Indonesia tengah dipenuhi oleh slogan-slogan bela kalimat tauhid: Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.Tidak sedikit kawan saya di Facebook memajang foto profilnya dengan bingkai kalimat tauhid guratan huruf Arab. Atau setidaknya, teman-teman itu, menyerukan kalimat-kalimat bernada marah karena keyakinannya telah diusik oleh sekelompok orang. Juga ada yang lebih extrim yaitu video amatir yang beredar dengan golok dan pernyataan keras: “saya hidup dengan kalimat tauhid dan mati dengan kalimat tauhid”. 

Ya, mereka sedang marah. Dan marah itu adalah reaksi alamiah ketika eksistensi manusia terusik oleh ancaman dari luar. Seperti sudah kita ketahui, kemarahan itu dipicu oleh pembakaran bendera berwarna hitam bertuliskan kalimat tahuid Lailahaillallah Muhammadarrasulullah(bendera tauhid) oleh oknum Banser NU Garut pada hari Santri Nasional (22 Oktober 2018). 

Sebagai muslim, siapa yang tidak marah ketika kalimat tauhid—yang merupakan bagian paling fundamental dalam ajaran Islam—dibakar. Mungkin Anda, saya, dan kita adalah orang-orang yang masuk dalam kategori itu. Ya, marah terguratan dalam DNA kita. Tidak bisa dicegah, apalagi sudah dilekati dengan bumbu-bumbu argumentasi.

Tapi tunggu dulu. Sebelum amarah itu membakar kita terlalu jauh, mungkin kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan penting. Bukan untuk membela siapa-siapa, bukan juga melarang Anda untuk marah. Bukan. Hal ini tidak lebih hanya untuk, minimal bisa mengajak berpikir tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Itupun kalau Anda mau berpikir, jika tidak, abaikan saja tulisan ini.  

Pertanyaan yang patut diajukan tersebut setidaknya ada tiga hal: (1) Apakah benar bendera yang dibakar itu adalah bendera tauhid? (2) Mengapa bendera itu harus dibakar? (3) Apakah tindakan itu adalah bentuk penistaan agama? 

Berikut ini, ketiga pertanyaan ini akan saya jawab satu persatu. Tentu saja Anda boleh setuju atau tidak setuju dengan jawaban saya. Itu hak Anda.

Jebakan Simbolik: Antara Bendera HTI dan Bendera Tauhid 

MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai organisasi yang punya otoritas keagamaan dalam agama Islam di Indonesia telah menegaskan bahwa bendera hitam bertuliskan Lailahaillallah Muhammadarrasulullah(dalam aksara Arab) yang dibakar oleh oknum Banser NU di Garut itu bukanlah bendera HTI. Itu adalah bendera tauhid. 

Saya dalam hal ini bukan mau membantah kesimpulan MUI. Itu benar. Karena sejauh ini HTI dinyatakan tidak memiliki bendera. Hizbut Tahrir memang punya lambang utama yang digunakan di seluruh dunia, yaitu bendera tauhid, dilengkapi dengan bola dunia, dan tulisan Hizbut Tahrir dalam guratan aksara Arab. Hizbut Tahrir Indonesia yang sering digunakan—khususnya dalam publikasi di media-media—adalah gambar bendera tauhid dengan tulisan Hizbut Tahrir Indonesia (huruf capital) dalam huruf Latin. HTI tidak memiliki bendera Hal ini dapat dikonfirmasi dalam cuitan M. Ismail Yusanto (mantan jubir HTI) di Tweeter-nya (23 Oktober 2018):

Ada banyak pernyataan yg mengatakan bahwa bendera yang dibakar kmrn adalah bendera HTI, saya perlu tegaskan bahwa HTI tidak memiliki bendera. Yg dibakar dlm video yang beredar luas kmrn adlh Ar Roya (Panji Rasulullah), bendera berwarna hitam yang bertuliskan kalimat Tauhid. 

Cuitan Yusanto ini dilengkapi dengan video berdurasi 59 detik yang menjelaskan dasar hadits Ar Roya dan Liwa Rasulullah yang bertuliskan kalimat tauhid: Lailahaillallah Muhammadarrasulullah

Sebagai orang yang bukan anggota HTI terus terang saja saya baru mengetahui kalau HTI itu tidak memiliki bendera dan mungkin banyak orang di luar sana yang seperti saya. Persoalannya, setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh HTI, bendera yang mereka bawa adalah bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid Lailahaillallah Muhammadarrasulullah  (dalam aksara Arab) berwarna putih. Pada lambang yang tercantum dalam media yang dipublikasi oleh HTI juga ada gambar bendera yang sama. 

Itu tidak salah. Jika itu benar-benara adalah Ar Roya (panji Rasulullah) siapapun dan dimanapun umat Islam bisa menggunakannya dengan bangga. Termasuk ISIS juga membawa bendera yang bertuliskan kalimat tauhid. Tapi di sini saya tidak mau masuk dalam perdebatan soal tafsir panji Rasulullah itu seperti apa yang benar. Biarlah itu dijelaskan oleh ahlinya.

Yang penting dijelaskan di sini adalah perspektif publik yang terjebak oleh simbolisasi bendera yang digunakan oleh HTI dalam setiap kegiatannya. Bendera adalah atribut yang lazim dimiliki oleh setiap organisasi dan selalu dibawa ketika organisasi itu menyelenggarakan kegiatan. Itu pandangan pada umum yang sudah lazim. Jadi ketika HTI membawa bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid tersebut, wajar jika publik memaknai atau mungkin mengandaikan begitu saja bendera itu sebagai bendera HTI. Tentu saja di sini publik tidak memiliki interest memeriksa AD/ART HTI. 

Jika ada yang mengerti bahwa bendera yang dibawa oleh HTI itu adalah bendera yang mirip panji Rasulullah, maka orang pasti beranggapan bahwa HTI mengadopsi model panji Rasulullah sebagai bendera yang menjadi atribut organisasinya. Siapa yang menyangka ternyata HTI tidak punya bendera dan mengklaim bendera yang mereka gunakan adalah Panji Rasulullah saja. Inilah jebakan simbolik yang membuat kasus pembakaran bendera ini menjadi pelik dan menimbulkan reaksi keras dari umat Islam yang mungkin tidak pernah dikader di HTI.

Dalam lingkup kekeliruan inilah bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid Lailahaillallah Muhammadarrasulullahitu dibakar oleh oknum Banser NU di Garut. Hal ini berdasarkan pada pengakuan pelaku pembakar bendera, mereka mengira bendera yang mereka bakar itu adalah bendera HTI.    

Persoalannya sekarang adalah jika pelaku mengira bendera yang mereka bakar adalah bendera HTI, apakah tindakan mereka dapat dibenarkan? Dan jika pelaku mengalamatkan pembakaran bendera itu kepada HTI, apa yang bisa dijelaskan dari peristiwa ini?

Pembakaran Bendera: Simbol Kuasa dan Penolakan Ideologis

Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin bisa menjadi nasi kembali. Kira-kira itu peribahasa yang cocok untuk persoalan ini. Bendera tauhid sudah terlanjur dibakartidak penting lagi itu bendera HTI atau bukan. Itu sudah melukai hati banyak umat Islam sebab di sana ada kalimat tauhid yang dijunjung tinggi dalam ajaran agama Islam. Oleh sebab itu, atas nama persatuan dan keberagaman, tindakan membakar bendera tauhid atau simbol agama apapun tidak dapat dibenarkan.

Namun terlepas dari kesalahan itu, kita tidak bisa serta merta mengabaikan alasan pelaku yang mengalamatkan tindakan pembakaran bendera itu kepada HTI, organisasi yang telah dibubarkan oleh pemerintah. Ada hal yang bisa kita jelaskan di sini. Mengapa dialamatkan kepada HTI?

HTI memang telah dibubarkan oleh pemerintah berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2017. Tetapi siapa yang bisa membunuh ideologi? Ia tetap hidup di dalam kepala sekalipun fisik organisasinya telah dilarang. Oleh sebab itu, kontestasi tafsir tentang hubungan Negara dan agama serta kekhilafahan masih tetap berlangsung. Nahdatul Ulama (NU) adalah ormas Islam yang boleh dibilang paling getol menghadapi wacana yang diproduksi oleh HTI untuk mengganti sistem dengan model pemerintahan khilafah. Dan sependek pengetahuan saya, polemik ini sudah berlangsung cukup lama dan masih berlangsung sampai sekarang ini.

Dengan demikian peristiwa pembakaran bendera ini harus dibaca dalam konteks pertarungan wacana antara HTI dengan NU. Mencabut peristiwa ini dari konteks sosialnya sama artinya dengan mencabut ingatan seseorang yang membuatnya  kebingungan memahami posisinya saat ini. Mustahil memahami suatu peristiwa dengan baik jika dilepaskan dari konteks sosial yang membentuknya. Misalnya, kita akan kesulitan memahami kekuatan tanda larangan daun kelapa (sasi) di kepulauan Kei yang bahkan dapat melarang pesawat mendarat di Bandara, tanpa melihat konteks sosial di masyarakat Kei itu sendiri.

Kembali lagi ke soal pembakaran bendera. Jika peristiwa ini dikaitkan dengan konteks sosialnya, pertaruangan wacana anatara HTI dan NU, maka kita dapat memperoleh gambaran yang terang terhadap peristiwa ini. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dijelaskan: Pertama, bahwa peristiwa ini tidaklah spontan seperti yang dikatakan Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas (Tempo.com, 24 Oktober 2018). 

Tidak ada peristiwa sosial yang spontan sekalipun itu terlihat seolah-olah spontan. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa tindakan massa memukuli pencuri yang kedapat di pasar adalah tindakan spontan. Tindakan seperti itu tidak akan terjadi jika sebelumnya orang-orang tidak punya pengertian bahwa mencuri adalah perbuatan yang salah. Demikian juga dalam kasus pembakaran bendera ini. Mustahil ada reaksi beberapa anggota Banser NU terhadap bendera tauhid ini (yang diduga sebaga bendera HTI) jika sebelumnya tidak ada kontestasi tafsir ke-Islman, ke-Indonesiaan, dan Kekhilafahan antara NU dan HTI. 

Kedua, pembakaran bendera adalah tindakan simbolik yang menggambarkan penolakan terhadap ideologi dan simbol-simbol HTI. Lebih-lebih karena HTI telah dibubarkan oleh pemerintah, maka pelaku pembakaran bendera menemukan dasar pembenaran yang lebih kokoh atas tindakannya. Pembakaran itu seolah ingin mengatakan bahwa: “kalian (HTI) sudah terlarang dan tidak punya tempat lagi di sini”.

Ketiga, peristiwa ini adalah ekspresi kuasa yang dipertontonkan oleh pelaku. Dengan bernyanyi sambil mengangkat kepalan tangan, pelaku membakar bendera dan ikat kepala bertuliskan Lailahaillallah Muhammadarrasulullah. Karena tidak mudah menyala, pelaku mencari kertas agar apinya tetap hidup menghangsukan bendera itu hingga habis. 

Di sini kuasa dan dominasi di pertontonkan oleh pelaku. Tidak ada ruang negosiasi di sini, ketika bendera itu muncul dalam kerumunan, anggota Banser mengambil bendera itu dan membakarnya. Wajar jika itu disebut spontanitas, tetapi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, spontanitas seperti itu hanya mungkin terjadi karena sebelumnya sudah terjadi penghancuran makna atas sesuatu itu. Sehingga keberadaan simbol-simbolnya menjadi sesuatu yang pantas ditiadakan. 

Hal ini sama seperti simbol PKI, ketika simbol itu muncul di ruang publik, di hadapan para penentangnya, pasti muncul semacam tindakan spontan untuk menghancurkannya. Karena sebelumnya telah terjadi pengancuran makna atas PKI. Juga karena sebelumnya PKI telah ditaklukkan dan dibuang ke selokan sejarah. 

Jadi, tindakan sadis, tindakan ekstrim hanya mungkin terjadi pada sesuatu yang maknanya telah mengalami pembusukkan. Setidaknya pembusukan dalam kepala pelaku. Kira-kira seperti itu posisi HTI dalam kepala pelaku. Apalagi organisasi ini telah dibubarkan dan terlarang, maka kehadiran simbol-simbol yang identik dengan HTI adalah sesuatu yang perlu ditiadakan.

Argumen Penistaan Agama

Kini para pelaku telah diamankan oleh kepolisian. Tetapi persoalan ini telah menjadi milik publik dengan segala tafsirnya. Ada yang menyebut ini adalah penistaan agama, sebab telah membakar kalimat tauhid yang tertulis pada bendera tersebut. Jika Anda adalah orang yang berpikir demikian dan tidak ada lagi cara untuk melihat dari sisi yang lain, maka tulisan ini tidak akan berguna. Namun, jika Anda masih membuka ruang diskursus, izinkan saya melanjutkan penjelasan saya. 

Tauhid adalah intisari ajaran agama-agama monoteisme. Dan bagi umat Islam, kalimat tauhid adalah kalimat persaksian akan ke-Esaan Allah SWT dan kerasullan Nabi Muhammad saw. Jika kalimat itu dihinakan, tentu saja dapat melukai hati umat Islam.  

Tetapi, kita juga perlu memahami apa itu bendera. Bendera adalah potongan bahan yang biasanya terbuat dari kain yang berfungsi sebagai simbol suatu negara, perkumpulan, badan, dsb. Sebagai simbol dari suatu perkumpulan, bendera didesain dan dimiliki oleh perkumpulan yang membuatnya. Seperti apa desainnya itu mewakili nilai-nilai yang dihargai dan disepakati oleh kelompok yang membuatnya untuk dijadikan simbol bersama. Oleh sebab itu, bendera pasti merujuk pada harga diri dan kebesaran pemiliknya. 

Seperti dijelaskan oleh Buya Yahya dalam salah satu video ceramhanya, bendera Indonesia, misalnya. Warna putih dan merah pada dasarnya tidak punya arti sakral sebelum dijadikan sebagai bendera. Tetapi ketika gabungan dua warna itu dijadikan sebagai bendera dia memiliki arti sakral yang menjadi harga diri pemiliknya, Bangsa Indonesia. Jika bendera itu dibakar, pasti orang Indonesia akan marah karena simbolnya telah dinistakan. 

Jadi sekali lagi, bendera adalah simbol sakral bagi pemiliknya saja. Jika bendera Amerika Serikat yang dibakar, maka yang wajar tersinggung adalah orang Amerika, bukan orang Indonesia atau Thailand. Ketika bendera HMI dibakar, yang wajar tersinggung adalah HMI, bukan PMII atau KAMMI.

Nah, yang jadi persoalan adalah ketika atribut bendera suatu perkumpulan menggunakan kalimat tauhid sebagai simbolnya? 

Menurut Buya Yahya dalam video yang sama, maka kalimat tauhid itu menjadi sekadar bendera yang melambangkan harga diri dan kebesaran pemiliknya. Oleh sebab itu, ketika ISIS membuat bendera dengan mengadopsi kalimat tauhid sebagai lambang bendera, itu tetap saja adalah bendera milik ISIS, bukan milik keseluruhan umat Islam yang menjunjung tinggi kalimat tauhid itu. Ketika PPP menggunakan logo bangunan suci Kakbah, itu tetap menjadi simbol PPP, bukan simbol keseluruhan umat Islam yang sama-sama menyucikan Kakbah.  Demikian juga ketika HTI menggunakan atribut bendera dengan kalimat tauhid sebagai simbolnya, itu juga menjadi milik HTI, bukan milik organisasi Islam lainnya sekalipun sama-sama mengangungkan kalimat tauhid itu. 

Tetapi HTI mengklaim itu adalah ar-royah (Panji Rasulullah) bukan bendera mereka. Mungkin itu benar. Tetapi menurut Gus Nadir, ISIS juga mengklaim desain bendera miliknya adalah yang sesuai dengan panji Rasulullah. Lalu siapa di antara mereka yang benar?

Intinya menurut Gus Nadir, bendera milik HTI atau milik ISIS sama-sama adalah hasil konstruksi berdasarkan informasi dari tafisr hadits-hadits yang menjelaskan tentang panji Rasulullah. 

Tetapi mari kita coba menguji satu sudut pandang lainnya. Anggap saja kita sepakat bahwa panji Rasulullah itu menyerupai bendera yang digunakan oleh HTI. Namun, ketika HTI sebagai suatu organisasi hendak menggunakan bendera itu sebagai atribut organisasi, maka itu bermakna bahwa HTI mengadopsi Panji Rasulullah sebagai atribut organisasinya. Sehingga kembali lagi kita merujuk kemakna bendera tadi. Jadi bendera itu kini merupakan atribut organisasi bernama HTI. Narasi-narasi seperti apapun yang bermain di belakang penggunaan simbol itu adalah narasi yang dibagun dan disepakati oleh kelompok atau organisasi yang menggunakannya, bukan kesepakatan bersama umat muslim di seluruh dunia.   

Lagi-lagi HTI bermain simbol di sini. Ketika atributnya dibakar, maka mereka kembali mengatakan bahwa HTI tidak punya bendera, yang dibakar itu adalah bendera tauhid yang menjadi panji Rasulullah. Tapi saya adalah orang yang tidak percaya jika organisasi besar dan transnasional seperti HTI tidak memiliki bendera. Hanya saja HTI tidak mengakui bahwa bendera yang mereka gunakan mengadopsi panji Rasulullah. Sebagai sumber otoritas, mereka lebih nyaman merujuk langsung, bahwa bendera yang mereka gunakan adalah panji Rasulullah. 

Model argumen yang sama juga muncul ketika tafsirnya tentang khilafah di bantah. Mereka juga menggunakan logika yang sama, berarti Anda membantah perintah Allah SWT. Jika Anda pernah terlibat diskusi dengan anggota HTI, pasti pernah merasakan argumen seperti itu. Saya sudah merasakannya berkali-kali.

Jadi, ketika pembakaran bendera itu dialamatkan kepada HTI, bagi saya tidak dapat dikatakan sebagai penistaan agama. Sebab yang dibakar adalah atribut organisasi, bukan atribut agama. Tentu saja tindakan arogansi membakar bendera itu tidak dapat diserima secara etis dan bisa ditindak secara hukum yang berlaku, tetapi kita harus membedakannya dengan penistaan agama. 

Yang membakar itu adalah muslim juga, sehingga menjadi tidak logis jika muslim menista agamanya sendiri. Membakar bendera dengan yang ada kalimat tauhidnya memang cukup riskan, tapi apa boleh buat, sekalipun di sana ada kalimat tauhid, kita harus tahu bahwa itu telah berfungsi sebagai simbol bendera suatu organisasi, bukan lagi sebagai substansi ketauhidan itu. Pembakar tauhid yang sebenarnya adalah mereka yang mengucapkannya tapi tidak menjalankannya. 

Akhirnya mungkin di sini saya perlu sedikit lebih tegas bahwa yang harusnya tersinggung di sini adalah kelompok pemilik atribut bendera itu: HTI dan simpatisannya. Jika yang lain ikut pula tersinggung, itu wajar-wajar saja, tetapi perlu dipertanyakan, bagaimana kiranya kita memahami makna bendera yang menjadi atribut organisasi pada masa kini?