Aku melihatnya di atas panggung. Dengan kemeja kotak-kotak yang dilipat bagian lengannya. Di depannya sebuah piano siap dimainkan. "Ganendraaa," semua penonton riuh bertepuk tangan. Bersahut-sahut menyebut nama seorang di atas panggung itu.

Perpisahan sekolah dirayakan dengan meriah. Semua anak perempuan merias wajahnya dan anak laki-laki menyemprotkan parfum lebih banyak ke badannya. Ada 400 kursi tertata rapi berbalut kain putih dan biru dongker. Sebuah kartu ucapan diselipkan pada bingkisan kecil yang ditaruh di atasnya.

"Eh foto foto, eh fotoo," semua sibuk berpose di depan kamera ponsel yang beragam merk-nya. Aku duduk tenang di sebelah Sum, gadis pendiam yang hari ini hanya memakai kebaya putih dan tidak merias wajahnya sama sekali. Rambutnya yang lurus sebahu dibiarkannya terurai.

Ia tersenyum sopan ke arahku. Aku membalasnya. Kami tidak begitu akrab karena sebelumnya hanya saling kenal nama saja. "Kamu cantik," katanya tiba-tiba. "Kamu juga," perempuan biasa saling memuji.  Seolah-olah memuji adalah budaya baik bagi perempuan yang patut dilestarikan.

Dari atas panggung mengalun dentingan piano sebagai intro lagu Adele berjudul Someone Like You. Gane membawakannya dengan apik sekali. Membuat gadis-gadis itu menyalakan kameranya dan meletakan salah satu telapak tangan mereka di dada berhias payet warna-warni. 

Aku ingin mengangkat kamera ponselku. Tapi, aku tidak berani melakukannya. Gane terlahir sebagai anak yang populer di sekolahnya. Seperti pusat tata surya, segala sesuatu tentang Gane, selalu menarik perhatian, dan aku seperti planet terjauh yang antara ada dan tiada. 

Tapi perasaanku tumbuh sejak lama padanya, mengakar dan liar. Tidak terhitung berapa pagi aku menunggunya di pinggir jendela kelas agar bisa melihatnya melewati gerbang dan memarkir sepeda motor. Hodie biru yang selalu dipakainya setiap hari Rabu dan Kamis yang ku hapal aroma parfumnya.

Gane punya sorot mata yang tajam. Pernah dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh seluruh perwakilan kelas XI, aku mewakili kelasku untuk hadir. Kami duduk melingkar di aula dengan jarak antara aku dan Gane hanya 2 meter saja. "Namamu siapa, ya?" tanyanya. 

Bukannya menyebutkan nama, aku malah mengangguk-anggukan kepala. "Namamu Sel," bisik teman di sebelahku. "Hah?" aku melongo seperti orang bodoh. Aih, bisa-bisanya aku menunjukkan ketidak elegan-an ku sebagai kesan pertama Gane mengenalku.

Semua orang tertawa, tapi tidak dengannya. Bahkan ia tidak berusaha bertanya lagi. Seorang gadis di sebelahnya membantu menyebutkan namaku, "Selin." Ia juga tidak bertanya apapun lagi padaku. Forum diskusi yang ku lewati hanya dengan menjadi pendengar yang baik. 

Lupakanlah! Tidak pernah ada yang mau mendengar saran dariku. Lagipula aku memang tidak punya saran untuk disampaikan. Biasanya, beberapa orang saja yang akan mendominasi dari topik pembicaraan dalam forum diskusi. Aku memang tidak tahu banyak, tapi bukan berarti tidak tahu banget.

Lagipula tidak masalah juga, sih. Toh, ini hanya kebetulan saja teman-teman di kelas menunjukku menjadi perwakilan. Mereka sedang sungkan berkumpul setelah jam pulang sekolah karena ada acara pesta ulang tahun salah seorang teman yang harus dikunjungi. 

"Kamu nggak apa-apa kan ngga ikut?" kalimat pertanyaan yang lebih tepat disebut permohonan. Aku mengangguk. "Eh, tapi nggak apa-apa sih kalau mau ikut juga," kalimat yang nadanya terdengar hanya basa-basi saja. "Nggak apa-apa. Aku nanti siang jadi perwakilan kelas ikut diskusi saja," jawabku.

Ada sorak terpancar dari wajah mereka. Seolah akan tetap terasa lengkap pesta ulang tahun walaupun tanpa sesorang Selin hadir bersama untuk menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. "Kenapa mereka harus bernyanyi dan bertepuk tangan? Kenapa saat membuat harapan, kita malah memadamkan apinya?" 

Belakangan aku sudah tidak suka pesta ulang tahun lagi, ku pikir karena aku mulai mengerti bahwa saat ulang tahun, selain harapan baru yang boleh kita buat, kita juga menerima kenyataan bahwa banyak hal hilang dalam hidup. Ya, lilin yang padam itu.   

Sum, gadis di sebelahku seperti terlahir dari dunia yang sama sepertiku. Dunia yang tidak jauh lebih bising dari suara angin yang meniup daun tua itu. Sekolah kadang jadi tempat yang asing, tempat dimana rasanya kami selalu tertinggal. Melangkah lamban sekali, saat teman-teman lainnya jedag-jedug di usia 17.

"Kamu menyukainya?" suara Sum dekat sekali di telingaku. "Ah? Tidak," jawabku. Ia memasang wajah tidak percaya. "Semua gadis di sekolah ini menyukainya," katanya lagi. Aku mengangguk-angguk sepakat.

"Jadi kamu juga kan?" mata Sum sedikit memburu.

Ini acara perpisahan. Orang-orang merayakannya dengan suka cita sekaligus rasa takut kehilangan. Konon katanya, setelah ini kami harus punya sayap lebih lebar lagi, dan berjalan dengan arah yang tidak lagi sama.

Gane selesai dengan penampilan terbaiknya. Membuat seluruh hadirin memberikan standing applause untuknya. Aku melakukannya juga. Lihatlah matahari tidak terbenam di barat lagi, ia turun dari atas panggung.

"Aku menyukainya Sum," kataku. Ku pikir tidak masalah jika ada satu saja manusia di bumi ini tahu aku telah lama jatuh cinta. Sebagai Pluto yang jauh, jauh untuk sampai pada mataharinya.