Disebutkan dalam Muhammad: A Prophet for Our Time, bahwa masa-masa Muhammad berada di Madinah, perang merupakan sebuah kejahatan berat, tetapi terkadang perlu. Perang berguna mempertahankan nilai-nilai yang pantas misalnya kebebasan beribadah. Namun, peperangan di Madinah tidak meninggalkan pluralisme. Sinagoga serta Gereja sebagai simbol keberagaman dalam proses peperangan, harus tetap dilindungi.

Pluralisme di Madinah dihadapi dengan wahyu yang tegas mengenai kebebasan beribadah agama lain. Di Indonesia, pluralisme justru banyak dihadapi dengan egoisme. Banyak tempat peribadatan di Indonesia diserang dengan alasan non-hukum. Media massa kerap kali memberitakannya sebagai laku kelompok Muslim ekstrimis. Kita bisa mafhum, sebab lewat tindak-tanduknya, kelompok Muslim tertentu sudah banal melakukan kekerasan.

Menurut Karen Armstrong, pertempuran atau jihad yang tak kenal belas kasih bisa menggiring kepada tindakan-tindakan yang justru melanggar prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh sang pejuang. Hingga akhirnya, tak satu pihak pun dapat mengklaim tatanan moral yang lebih tinggi. Mereka yang mengaku sebagai Muslim (ekstrimis), tak akan mendapat posisi yang lebih baik dalam kehidupan karena secara otomatis telah identik dengan kekerasan.

Penyerangan sepihak atas nama agama tidak dapat disebut benar. Apalagi penyerangan terhadap sarana beribadah agama lain. Menurut wahyu yang disampaikan kepada Muhammad, Allah telah memberikan kemampuan bagi sebagian besar manusia untuk membela diri. Jika Allah tidak memberikan kemampuan tersebut, tentu biara dan gereja Nasrani, serta sinagoga-sinagoga telah dirobohkan oleh keMahaKuasaanNya.

“…Karena jika Allah tidak memberikan kemampuan kepada sebagian manusia untuk membela diri mereka terhadap yang lain, tentulah telah dirobohkan (semua) biara dan gereja Nasrani, sinagoge-sinagoge dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Al-Hajj ayat 40)

Pada masanya, Muhammad tidak memiliki perselisihan ideologis dengan orang Yahudi. Muhammad bahkan mengutuk siapapun yang menyakiti atau menghancurkan orang Yahudi atau Kristen. Maka dari itu, dalam kekaisaran Islam kelak, orang Yahudi akan menikmati kebebasan beragama sepenuhnya dan Islam tak pernah identik dengan anti-Semitisme.

Bukti-bukti tersebut merupakan afirmasi terhadap sikap humanis Muhammad. Perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hal yang penting baginya karena tampaknya Muhammad tak sebatas hanya menganggap bahwa hidup dunia adalah sementara. Hidup dunia bukanlah jalan yang melulu harus dihadapi dengan memerangi Liyan. Muhammad tampaknya juga menganggap bahwa bersentuhan secara positif dengan Liyan merupakan sebuah bentuk jihad dan penyerahan diri.

Dari wahyu-wahyu yang disampaikan Muhammad, kita dapat melihat betapa lentur dan besarnya pemakluman agama Islam terhadap keberadaan agama lain—yang di zaman ini justru seringkali dianggap sebagai musuh. Terhadap musuh pun, Al-Quran menekankan pentingnya pemberian maaf dan pengampunan, bahkan pada saat konflik bersenjata.

Ketika musuh meminta damai, kaum Muslim harus meletakkan senjata mereka. Pembacaan terhadap sabda dalam Al-Qur’an tentu saja memerlukan tafsir yang mempertimbangkan konteks sosial budaya setempat. Madinah bukan Indonesia. Namun, Islam punya konsep universal mengenai perdamaian dan kekerasan. Suatu nilai positif yang dijunjung oleh sebuah agama besar seharusnya dapat diterapkan di segala kondisi.

Nilai abstrak tentang perdamaian harusnya dapat diterapkan dan tetap aktual di Indonesia. Ketika kelompok ekstrimis Muslim menyerang keluarga Ahmadiyah di Sampang, Madura—dan menewaskan beberapa orang di antaranya—apakah tidak lebih sesuai agar masalah tersebut diselesaikan dengan duduk membicarakannya dengan saling hormat?

Ketika Muhammad berperang dengan suku Quraisy, Muhammad mematuhi ajaran Al-Qur’an untuk tidak memerangi seluruh suku Quraisy. Orang-orang yang netral sepanjang konflik tersebut, serta kaum Muslim yang memilih untuk tetap berada di Mekkah tidak boleh diserang atau dilukai dengan cara apapun.

Bercermin dari tradisi politik Muhammad di Madinah, dapat dipetik hikmah bahwa nilai-nilai luhur keagamaan dapat menjadi landasan etis bagi pengelolaan ruang publik dari kebangsaan yang multikultur. Muhammad mematuhi ajaran Al-Qur’an bukan hanya karena Ia merupakan pilihan Allah SWT, melainkan juga karena secara personal Ia memahami persoalan pribadi dan publik keagamaan.