Pluralisme merupakan salah satu isu yang masih menjadi perdebatan dan permasalahan yang urgen di negeri ini. Berbicara pluralisme tidak akan pernah selesai dengan hanya beberapa kali diskusi saja, melainkan dengan berkali-kali dan sumber literasi yang mumpuni agar kita tak gagal memahaminya.
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki komposisi etnis yang beragam. Mulai dari ras, suku, bahasa, aliran kepercayaan, kultur, adat-istiadat, warna kulit, dan sebagainya.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki potensi yang tinggi dalam hal keragaman, baik watak, organisasi, serta afiliasi ideologis. Namun demikian, tingkat pluralisme yang tinggi juga tak jarang memicu potensi konflik, perpecahan, dan kesalahpahaman yang tinggi juga.
Keragaman bangsa Indonesia juga diwarnai oleh hadirnya agama-agama besar dunia, seperti Islam, Kristen, Hindhu, Buddha, Katolik, Protestan, dan Konghucu. Tak dapat dimungkiri bahwa kemajemukan dalam bangsa ini memang sudah menjadi keniscayaan dari Tuhan, pemberian Tuhan yang harus kita lestarikan dengan bijak dalam menciptakan kerukunan sesama manusia di dunia ini.
Keragaman dan kemajemukan adalah sunnatullah yang perlu kita syukuri. “Jika Tuhan saja mengizinkan akan perbedaan di dunia ini, lalu kenapa kita yang hanya ciptaan-Nya malah mempermasalahkan apa yang sudah menjadi kodrat-Nya?”
Indonesia yang merupakan negara kepulauan juga menjadi salah satu penyebab perbedaan penghayatan dan pengamalan keagamaan yang berbeda, yang menyebabkan bangsa ini kian unik dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Pengamalan syariat Islam suatu daerah dengan daerah lainnya pasti memiliki perbedaan. Perbedaan ini adalah hal yang biasa, karena letak geografis serta budaya suatu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Sehingga memengaruhi praktik keagamaan masyarakatnya. Kondisi ini biasa disebut dengan “Islam Kawasan”.
Sebut saja praktik keagamaan daerah Minang yang memang masih begitu kental dengan slogan Adat Basandih Syarak, Syarak Basandih Kitabullah. Pandangan hidup masyarakat Minang ini menjadi adat dan kultur yang sangat kental dalam memengaruhi praktik keagamaan masyarakatnya.
Begitu pun dengan praktik keagamaan masyarakat Jawa yang masih sangat amat kental dengan nilai-nilai kejawaannya, dan kultur ini masih menjadi bagian yang tak terelakkan dalam pengamalan keagamaan mereka.
Walau begitu, pada hakikatnya tujuan kita sama. Yaitu sama-sama ingin menjalankan perintah Tuhan untuk mendapatkan ridho-Nya. Jika dalam Islam saja kita memiliki perbedaan dalam menjalankan praktik keagamaan apalagi dengan Indonesia yang memang negara plural. Dalam kondisi yang seperti ini, yang kita butuhkan adalah memahami, menghargai, menghormati, dan menjaga sikap toleran antarmanusia.
Tiga Tipologi Sikap Keberagamaan dalam Pandangan Teologis
Dengan konteks Indonesia dewasa ini, maka pluralisme adalah satu dari tiga tipologi sikap keberagamaan dalam pandangan teologis, selain dari sikap ekslusivisme dan inklusivisme.
Secara ekslusivisme, sikap keberagamaan ini merupakan bentuk praktik keberagamaan dari orang-orang yang memiliki pandangan bahwa agamanyalah yang paling benar, sedangkan agama lain salah, sesat, tak benar, dan sebagainya.
Sedangkan penganut keberagamaan secara inklusivisme, merupakan praktik keberagamaan yang memiliki pandangan bahwa keselamatan bukanlah monopoli agamanya, melainkan secara implisit semua penganut agama berbuat benar menurut agamanya masing-masing.
Serta praktik keberagamaan secara pluralis memiliki pandangan bahwa semua agama benar dan sama. Oleh karena itu, seorang pluralis beranggapan bahwa tidak semestinya antarumat beragama yang berbeda bersikap ekslusif dan saling melontarkan klaim kebenaran (truth claim).
Sebenarnya permasalahan Islam dan pluralisme agama dalam bangsa ini tak semestinya kita cemaskan. Yang perlu kita jaga adalah merawatnya secara sadar dan terbuka.
Kalaulah kita mampu berlapang dada untuk menerima kemajemukan dan perbedaan ini, serta kita benar-benar mampu memahami makna dari pluralisme itu dalam praktik keberagamaan kita sehari-hari, menerapkan sikap adil kepada setiap individu, maka tak aka ada perpecahan yang timbul akibat perbedaan agama.
Kedamaian akan tercipta kalaulah kita mampu melihat pluralisme ini dari penglihatan Tuhan. Sehingga permasalahan ini tak mengundang stigma-stigma yang membuat bangsa ini kian terpecah. Karena masih banyak pekerjaan lain yang harus kita kerjakan bersama demi kemajuan bangsa ini.
Selama ini kita sibuk berteriak-teriak di jalanan, media sosial, dan sebagainya untuk menegakkan Islam yang rahmatanlilalamin, namun kita gagal dalam substansi yang sesungguhnya. Selama ini kita sibuk menyuarakan Islam secara normatif, namun kita lupa dengan Islam secara historis.
Bukankah kita ingin menunjukkan ke permukaan bahwa Islam itu adalah cinta, bahwa Islam itu adalah damai, bahwa Islam itu adalah lembut dan bukan ganas seperti yang terpatri dalam pemikiran kebanyakan minoritas saat ini? Inilah kesalahan kita yang gagal menunjukkan identitas keberislaman kita selama ini. Sehingga kita sendiri yang mencoreng wajah Islam kita.
Memaknai pluralisme yang sesungguhnya kita harus memiliki literasi yang luas, tak cukup dengan pemahaman yang ala kadarnya sehingga terkungkung dalam satu pemikiran saja. Sehingga kesan yang muncul adalah klaim kebenaran sendiri.
Persoalan pluralisme menjadi permasalahan yang bisa membahayakan kehidupan religius dan spiritual manusia. Kedangkalan kita dalam memaknai arti pluralisme agama selama ini telah menciptakan mindset bahwa pluralisme agama adalah liberal, sekuler, bebas, dan sebagainya.
Mengelola dan merawat keberagaman di negeri ini tidak cukup hanya sekadar memahami atau mengakui akan kemajemukan tersebut secara pasif dan apatis. Untuk memahami pluralisme agama, kita perlu melibatkan emosi dan sikap yang pluralis juga. Kita harus mampu membuka diri dan melihat pluralisme dari sudut pandang mereka juga. Sebagaimana bunyi dari sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Begitu juga kita dalam melihat pluralisme di bangsa ini, kita harus mampu bersikap jujur, adil, dan empati dalam menempatkan keragaman, kemajemukan, serta perbedaan tersebut sesuai tempatnya. Menumbuhkan semangat dan sikap toleransi, saling menghargai, menghormati, dan mengakui akan keberadaan orang lain, agama lain, dan perbedaan-perbedaan lainnya, seperti kita mengakui eksistensi diri kita sendiri.
Sudah sepantasnya kita menyikapi pluralisme agama ini dengan memandang yang lain berdasarkan standar dan sudut pandang mereka sendiri serta memberikan kebebasan bagi kaum minoritas untuk menjalankan agamanya secara terbuka.
Saya jadi teringat dengan nasihat seorang dosen saya ketika diskusi dalam perkuliahan waktu itu. Beliau mengatakan kajilah filsafat itu dari kacamata Filsafat juga, jangan kaji filsafat dari kacamata Ilmu kalam, karena jika itu terjadi maka yang timbul hanyalah perbedaan yang tak berkesudahan.