Dalam gejolak modernitas, individu ataupun kolektif, adalah diri yang terombang-ambing dalam pilihan. Pada pilihan itu diri mudah tersepai, jikalaupun di pugar, bentuknya dapat balik semula tapi sudah patologis.
Pilihan kita pada dasarnya terpilihkan. Usaha memilih adalah memilih di antara yang dipilihkan, dan dalam semua pilihan pada dasarnya memuat suatu kepentingan agar dipilih. Kepentingan ini dapat disadari, juga dapat tidak. Kepentingan diri kita direpresentasikan pada suatu produk yang memuat kepentingan kita dan itulah tanda bahwa kita masih sadar, tetapi kepentingan yang umumnya lupuk dari kesadaran kita adalah ketergantungan diri dari produk tersebut dan ini lah dimensi patologisnya.
Manusia metropolitan adalah manusia yang hidup berdampingan 24 jam dengan komoditi. Mata, telinga, mulut, kesadaran dan perasaan yang dalam kehidupan metropolitan adalah mangsa bagi komoditi. Modernitas memama aspek spritual dan empiris manusia semata-mata hanya pada tekonologi.
Dalam kehidupan modernitas ini, manusia sebagai being-life, tidak lagi ada untuk hidup melainkan hidupnya ada karena komoditi. Interaksi kita tunduk pada aspek ekonomi tersebut, sehingga aspek spritual terhunus jauh tersembunyi.
Usaha mempertahankan aspek spritual atau kita sebut sebagai ruang privat, adalah kesadaran atas aspek empiris kita yang hanya di pandang tunduk pada ranah ekonomi, atau dalam terminologi Gyorgy Lukacs disebut sebagai reifikasi. Pertarungan itu bahkan mengasingkan diri kita, karena pilihan kita yakni tidak terjebak secara penuh pada ruang sosial.
Bila diri hanya di pandang hanya sebagai aspek sosial belaka, maka tindakan moral kita tidak memiliki tanggungjawab pribadi. Mungkin kita bisa katakan bahwa pada titik ini, manusia menjadi ganjil.
Di satu sisi dia adalah sosial, sisi lain adalah makhluk pengamat sosial. Hal ini patut untuk di sadari agar kita menyadari aspek ideologis dari modernitas. Ideologi tak lain adalah dogmatisme, sebab memaksa kesadaran subjek terduduk pada satu aspek. Bukankah kehidupan adalah pusparagam!?
Kehidupan ibarat balon gas, di tiup lalu di lepas, geraknya ke sana-ke mari. kita memang terhempas ke sana-sini guna melihat aspek-aspek yang lain. Pikiran kita tidak setebal tembok cina, tapi hanya setipis kertas. Pikiran ibarat kertas yang mudah sobek, tapi memiliki kelenturan.
Dengan fleksibelitasnya ini, pikiran mampu bertarung dengan fenomena yang sungguh tebal berlapis-lapis. Realitas adalah ruang yang berruang-ruang. Andai pikiran kita tidak tipis yakni fleksibel, dogmatisme dari modernitas tak mampu tersingkap, sebab tak memungkinkan adanya refleksi-diri.
Lalu mengapa manusia mampu menyingkap dogmatisme modern? Tak lain karena manusia bisa di sebut sebagai Sein-Licht. Sein-Licht saya artikan sebagai makhluk yang ada untuk menyingkap. Dalam silabel Jerman, Licht itu berarti cahaya. Cahaya pada umumnya kita artikan sebagai penerang, dan penerang tentu memperlihatkan kita hal-hal. Salah satu kategori dari manusia adalah Sein, yang berarti ada. Manusia ada karena untuk menyingkap. Jadi tujuan ada manusia adalah untuk menyingkap.
Tetapi penyingkapan ini hanyalah setengah, tak dapat penuh, sebab manusia itu bergenarasi. Jika manusia bergenerasi, berarti kenaifan kita terhadap absolusitas kebenaran yang kita temui pada kekaguman kehidupan modern harus dihancurkan, sebab pertanyaannya adalah apa guna kehadiran suatu generasi jika ada rintangan yang tidak bisa dipecahkan? Bukankah itu kesia-siaan? Lalu bukankah kehidupan juga mengandaikan rintangan? Juga bukankah tiap-tiap zaman bernafas dalam rintangannya sendiri? Saya optimis bahwa kehidupan ini indah dan tidak sia-sia!!!
Kehidupan modern sebaiknya kita pahami sebagai sebentuk optimis kita pada kehidupan yang cerah dalam nuansa kebersamaan. Nuansa kebersamaannya adalah sang klasik menari bersama dengan modern. Dalam nuansa kebersamaan itu, kehidupan ini menjadi sebentuk “sepenanggungang”. Bangkitnya dunia modern adalah kebangkitan pengetahuan teknis, yakni teknologi. Keseharian kita dalam bayangan teknologi adalah realitas dalam arti supervisial.
Kertas sebagai medium tulisan, kini mulai tergusur sedikit demi sedikit dengan medium kaku, yakni Mr.Papper. Selayaknya sang Tuan, perintahnya adalah keharusan, dan sang Tuan tidak begitu mengandaikan nilai-nilai imajinatif, interaktif dan ekonomis. Begitulah Mr. Papper. Kertas yang pada umumnya kita temukan, yakni pulp dari kayu atau yang lainnya, bernilai imajinatif seperti dalam permainan origami, juga bernilai filosofis sebagaimana yang diterangkan paragraf enam.
Kertas dan papper machine, buku dan gadget, klasik dan modern, adalah dua pujangga yang bertarung sengit tuk menaklukkan sang kekasih, yakni Masyarakat. Kita memang akan naif bila menolak modernitas, tetapi kita akan lebih naif lagi bila asal-usul di hapus begitu saja, yakni sang klasik. Sejarah dipelajari bukan hanya untuk di mengerti belaka, tetapi mempelajarinya untuk membentuk sikap mawas diri agar diri memiliki daya penimbang untuk suatu tindakan yang ditujukan pada masa depan!
Gadget dan sejenisnya, sudah umum menjadi medium tulis-baca pada zaman ini, seperti saat saya menuliskan esai ini pada laptop made in Toshiba dan tepat pada saat ini juga anda membacanya melalui medium gadget atau sejenisnya. Mungkin HP Samsung, laptop azus, atau komputer dell?
Di sisi lain dari baca-tulis lewat gadget atau genusya, para penulis giat menyalurkan ide-ide filosofisnya pada lembaran-lembaran kertas yang terbentuk dalam suatu kata benda sekaligus kata sifat juga kata kerja, yakni Buku. Andai tak ada lagi kertas, bagaimana nasib Mizan, Pustaka Pelajar, Kanisius, GM, IndoLiterasi, Marjin Kiri, dan bagaimanakah eksistensi pegiat-pegiat literasi???
Intensitas cahaya basis teknologi memiliki konsekuensi pada makula dari mata. Makula, sebagaimana di lansir oleh Wikipedia adalah salah satu alat vital dari mata untuk menangkap cahaya. Pada inti makula ada yang disebut fovea dan dalam fovea terdapat sel-sel konus. Sel konus ini berfungsi untuk melihat sesuatu lebih jelas dan sebagai penerimaan persepsi warna. Degradasi makula menyebabkan gangguan pada mata, entah kebutaan atau kerabunan.
Suatu studi tentang efek gelombang elektromagnetik yang di teliti di Charotar University of Science and technology, menghasilkan suatu konklusi bahwa keseringan menggunakan perangkat mobile yang bercahaya intens dapat menyebabkan katarak dini. Mungkin kita bisa berkata, 'cahayanya kan dapat dikurangi'. Itu sudah betul, tapi melakukan itu saja tidak cukup untuk dibetulkan. Karena masih ada aspek lain yang butuh di pertimbangkan.
Sebagaimana paragraf tiga belas, hal-hal itu pula yang perlu menjadi pertimbangan kita. Konsekuensi somatik, psikologis, ekonomi dan sosial perlu kita perhatikan, atau sebagai sikap penangguhan kita pada sesuatu yang katanya bagus tapi terintip oleh rusak. Kita perlu prasangka, tapi prasangka yang terdidik. Prasangka tidak dipahami sebagai aspek impulsif saja, sebab prasangka berasal-usul. Pertanyaannya adalah mengapa kita berprasangka? Apa yang memungkinkan kita memiliki prasangka? Syarat apa yang memungkinkan hal itu?
Bila dicermati, prasangka adalah ketegangan antara percaya atau tidak, benar atau salah, indah atau jelek. Karena ketegangan inilah, menangguhkan sesuatu dimungkinkan. Dari penangguhan ini, rekonstruksi dan analisis muncul sebagai penerang prasangka agar tidak impulsif tetapi juga bernilai rasional dan praktis. Saya memahami kata praktis dari Habermas, yakni interaktif. Dengan kata lain, prasangka yang terdidik merupakan refleksi-diri atas kebanalan modernitas.
Tunggu apalagi? Ambil kertasmu, mari kita tata hari-hari pada tulisan yang tergeletak telanjang tak berdaya pada lembaran-lembaran kertas. Biar berdaya, Lipat kertasmu menjadi kupu-kupu, biarkan ia terbang bersama angin, biarlah angin beri sempat tuk berbicara pada hari-hari yang lain.
Dengan semua tetek bengek di atas, saya berucap: Mengapa kita menulis? Sebab tak semua mampu mendengar isi hati. Sekalipun jua kita menulis, tak semua mampu memahami isi hati. Lalu apa yang bermakna? Berbagi bentuk kehidupan!