Orang yang tidak mempunyai pikiran adalah orang yang tidak layak untuk hidup. Sebab orang yang hidup adalah dia yang layak memiliki pikiran. Pikiran inilah yang menjadikan manusia sungguh manusiawi.
Pikiran inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainya. Pikiran inilah yang membuat manusia membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya. Kenyataan adalah keputusan untuk hidup yang baik selalu didasarkan pada pikiran.
Hari ini kita berpikir A, besok kita berpikir B, seterusnya kita berpikir C, D, dan seterusnya. Selama kita masih hidup selama itu pula pikiran kita akan selalu membuat keputusan-keputusan dalam hidup ini.
Maka, pikiran itu tidak tetap. Ia akan selalu berubah-ubah. Ketika situasi dan keadaan berubah, pikiran juga berubah. Maka pertanyaan fundamental di titik ini adalah bagaimana kita menyikapi pikiran yang selalu berubah-ubah itu?
Jawaban dari pertanyaan ini merupakan pembacaan saya dari buku Tentang Manusia Sebuah Kajian Filosofis karya Reza A. A. Wattimena.
Hakikat Pikiran
Kita perlu memahami hakikat pikiran sebelum tiba pada bagaimana kita menyikapi pikiran yang selalu berubah-ubah itu. Bahwa setiap konsep adalah hasil dari pikiran manusia.
Dengan konsep maka manusia bisa menanggapi dan menerima segala situasi yang dihadapi di luar dirinya. Dalam hal ini, perasaan dan emosi juga berasal dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.
Konsep membantu manusia untuk bagaimana manusia seharusnya hidup dan bagaimana menyusun keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya. Dengan konsep maka manusia bisa melihat apa yang baik bagi dirinya dan apa yang perlu dibuat bagi yang lain.
Maka, hakikat pikiran manusia sesungguhnya didasarkan pada tiga ciri gerak pikiran manusia. Bahwa pikiran manusia itu tidak nyata, pikiran itu sementara, dan pikiran itu rapuh. Tiga ciri gerak pikiran ini ada dalam diri manusia.
Pertama, pikiran itu tidak nyata. Mengapa? karena pikiran adalah tanggapan atas kenyataan yang ada. Pikiran dibangun atas abstraksi konseptual atas kenyataan. Ini berarti apa yang dipikirkan didasarkan pada kenyataan yang telah ada. Dengan kata lain, kenyataan yang ada menjadi cikal bakal bagi manusia untuk berpikir.
Kedua, pikiran itu sementara. Ini berarti pikiran itu tidak tetap. Pikiran itu datang dan pergi. Ia tidak tinggal tetap pada dirinya. Ketika sakit, pikiran kita melemah. Ketika perut kita kenyang pikiran kita bekerja lebih maksimal. Maka, pikiran itu sementara, ia bergantung pada kondisi diri kita.
Ketiga, pikiran itu rapuh. Banyak orang mengira bahwa apa yang dipikirkannya sudah tentu benar, padahal tidaklah demikian. Maka, pikiran itu rapuh sebab apa yang dipikirkan belum tentu benar. Ada kalanya karena keyakinan, kita menganggap pikiran benar, pada akhirnya bermuara pada kesalahan dan penderitaan.
Menyikapi pikiran
Jika pikiran kita selalu berubah-ubah maka bagaimana kita menyikapi pikiran kita. Adalah bahwa pikiran yang ada dalam kepala kita tidak identik dengan kepala kita. Ia identik dengan dirinya sendiri bukan dengan seluruh diri kita.
Maka, biarkan pikiran datang dan pergi. Jangan percaya pada pikiranmu. Kita tidaklah sama dengan pikiran yang datang dan pergi. Gunakanlah pikiranmu seperlunya, namun janganlah memandangnya sebagai kebenaran mutlak tentang segalanya.
Ketika kita biarkan pikiran datang dan pergi, maka kita akan mengalami apa yang disebut sebagai kebebasan yang sesungguhnya. Orang yang bebas dari pikirannya sendiri berarti ia tidak terjebak pada suara-suara yang ada dalam kepalanya.
Ia bisa berpikir dengan jernih untuk menyikapi segala hal yang ada dalam hidupnya. Dengan itu, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana. Orang yang bijaksana adalah orang tidak selalu percaya pada pikirannya.
Ia hidup sesuai kenyataan alamiah. Ketika sedih, ia sedih. Ketika gembira, ia gembira. Orang yang bijak membiarkan semuanya datang dan pergi tanpa terikat pada pikirannya.
Intuisi Menuju Kebenaran Sejati
Apa yang harus kita percayai jika pikiran kita selalu berubah-ubah terutama untuk membuat keputusan dalam hidup ini. Yang utama kita perlu menyadari bahwa pengetahuan kita tentang dunia tidak sepenuhnya benar.
Ini berarti kita sesungguhnya tidak tahu apa yang ada dalam realitas. Ketika kita sungguh menyadari akan hal ini maka semuanya akan menjadi jelas. Kejelasan itu hanya akan datang ketika hidup dengan “pikiran tidak tahu”.
Yakni upaya kita untuk selalu terbuka dan memahami berbagai kemungkinan yang ada dalam realitas. Pikiran seperti ini akan jauh dari kebenaran mutlak. Muara dari pikiran ini adalah terciptanya intuisi yang peka terhadap beragam kenyataan
Intuisi adalah pengalaman langsung dengan kehidupan, tanpa bahasa, tanpa konsep. Ini berarti intuisi adalah pengalaman langsung dengan kehidupan tanpa menggunakan pikiran.
Ketika intuisi kita benar-benar bekerja, maka kita akan tahu apa yang harus dilakukan dalam berbagai keadaan hidup kita. Sesungguhnya, kebenaran sejati itu sudah ada di depan mata kita, hanya pikiran kita yang menghalanginya.
Maka, melalui intuisi, kita bisa sampai pada kebenaran yang sejati melalui keputusan-keputusan. Karena itu, upayalah untuk selalu melatih dan menggunakan intuisi.
Jangan terlalu percaya pada pikiranmu. Belumlah terlambat, kebenaran yang sejati selalu ada di depan mata.