Beberapa orang mungkin belum pernah mendengar kata ‘phubbing’. Istilah ini cukup popoler di kalangan milenial seiring dengan meningkatnya penggunaan gawai.
Phubbing merupakan kependekan dari phone-snubbing yang berarti tindakan acuh tak acuh seseorang pada sebuah lingkungan karena lebih fokus pada gawai daripada membangun sebuah percakapan.
Phubbing digambarkan sebagai perilaku individu yang mengabaikan lawan bicara dan lebih asyik memainkan gawainya di depan lawan bicara secara sengaja. Perilaku seperti ini secara tidak langsung akan menyakiti perasaan lawan bicara karena merasa tidak dihargai.
Fenomena phubbing tentunya sering kita temui pada kehidupan sehari-hari. Bahkan, tanpa kita sadari, mungkin kita juga pernah melakukannya. Beberapa kasus mungkin bisa dijadikan contoh atau gambaran dari fenomena ini.
Pertama, saat berkumpul dengan teman-teman. Biasanya tujuan kita berkumpul adalah untuk berdiskusi, bertukar pikiran, berbagi cerita ataupun bersenda gurau. Masing-masing dari kita rela menyempatkan waktunya untuk berkumpul.
Saat berkabar di media sosial, semua orang semangat dan setuju untuk melakukan acara ini. Namun, setelah bertemu, mereka justru terlihat sibuk dengan gawai masing-masing. Nuansa keakraban pun menjadi terganggu dengan hal ini. Kumpul bersama teman menjadi terabaikan karena masing-masing sibuk untuk mengunggah status dan story di media sosial.
Jika dilihat dari media sosial, mungkin mereka terlihat sebagai orang-orang yang suka bersosial dan membangun hubungan yang baik dengan teman. Hal ini sangat berbeda dengan kenyataannya bahwa mereka tidak melakukan interaksi sosial dan lebih mementingkan gawai mereka. Istilah “menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh” sangat sesuai dengan kondisi seperti ini.
Contoh lain adalah saat kita bertemu dengan pasangan untuk sekadar jalan-jalan atau makan bersama. Perlu adanya keterbukaan dan hubungan yang baik sebuah pasangan. Dengan berbagi bercerita dengan pasangan tentu akan lebih mengenal satu sama lain.
Namun, bagaimana jika pasangan kita sibuk bermain gawai saat kita bercerita? Pasti kita akan merasa cemburu dan kesal karena tidak diperhatikan. Rasa curiga dan berpikiran bahwa pasangan kita berselingkuh juga kerap menghantui pikiran kita.
Obrolan yang tidak menarik bisa jadi pemicu sikap phubbing yang dilakukan pasangan kita. Walaupun kita tidak menunjukkan rasa marah, pantaskah pasangan kita melakukan phubbing? Tentu saja tidak pantas karena apabila hal ini terjadi terus-menerus, tentu kita akan kesal dan membawa hubungan di ambang kehancuran.
Setelah hubungan kandas, barulah pasangan kita menyesali perbuatannya. Ya, begitulah penyesalan selalu datang di akhir.
Momen penting seperti Hari Raya Idulfitri juga menjadi terancam dengan adanya fenomena phubbing. Momen yang seharusnya dihiasi dengan kegiatan silaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan tetangga menjadi berbeda dengan adanya fenomena ini.
Setiap orang sibuk untuk bermaaf-maafan dan mengucapkan selamat hari raya melalui gawai masing-masing. Tak jarang mereka justru lupa untuk bermaaf-maafan dengan orang terdekatnya. Rasa bahagia yang harusnya ada pada hari raya justru tergantikan dengan rasa marah para orang tua yang melihat anaknya sibuk dengan gawai.
Walaupun sudah diingatkan berulang kali, mereka tetap melakukannya. Mereka tak bisa lepas dari gawai, seakan-akan ada ‘magnet’ yang menarik mereka untuk dekat dengan gawai.
Padahal apa yang dilihat pada gawainya adalah sesuatu yang maya atau bahkan tidak penting. Sedangkan di hadapannya terdapat sesuatu yang lebih penting, yaitu bersilaturahmi dengan sanak saudara dan mendekatkan diri dengan Tuhan di momen penting ini.
Adanya fenomena phubbing tentunya membawa dampak negatif bagi pelaku. Phubbing dapat membuat seseorang kecanduan terhadap gawai. Rasanya sulit untuk melepaskan gawai saat kita sudah kecanduan. Meskipun yang dilihat pada gawai bukan sesuatu yang penting, tetap saja jika sudah kecanduan seseorang akan rela membuang-buang waktunya di depan gawai.
Selain itu, phubbing juga dapat menimbulkan sifat individualisme. Karena terbiasa sibuk dengan gawai masing-masing, mereka lupa untuk menghargai dan bekerja sama dengan orang lain. Individualisme dapat membuat seseorang menarik diri dari lingkungannya dan terkesan anti sosial. Mereka tentunya akan kesulitan untuk berbaur dan bersosialisasi dengan banyak orang karena terbiasa sendiri dan menutup diri.
Terkadang phubbing juga membuat seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Orang lain akan merasa malas dan emosi dengan seseorang yang bersikap phubbing. Akibatnya, mereka akan menjauh dan enggan untuk membagun hubungan atau komunikasi yang baik dengan orang tersebut.
Di masa pandemi, kita memanglah harus berhubungan dengan gawai karena hampir semua kegiatan dilakukan secara daring. Mungkin awalnya terasa aneh melihat seseorang harus berada dihadapan gawai seharian penuh.
Namun, hal ini sekarang terlihat normal untuk dilakukan. Di samping itu, ingatlah bahwa kebiasaan ini akan berdampak pada diri kita saat keadaan sudah normal kembali. Akankah kita menjadi seorang yang phubbing setelah pandemi ini berlalu? Tanyakan hal ini pada diri kita sendiri.