Awal membaca buku ini mungkin terkesan aneh, unik, dan nyeleneh, sebab dimulai dengan kalimat pembuka: “Buku kenang-kenangan masa kecil ini kutulis untuk memperingati seekor anjing peliharaanku.” (hlm. 1)

Kupikir awalnya ia gila. Untuk apa menulis untuk hari peringatan anjingnya? Toh anjing tak akan membaca tulisannya.

Namun, karena ungkapan menjengkelkan itu membuatku, atau boleh jadi pembaca lainnya, penasaran dan terus membacanya. Kemudian, di paragraf berikutnya terasa karya Gerson Poyk ini membuatmu melintasi pulau Jawa ke sebuah pulau yang indah yang bernama Rote. Ia bercerita tentang dirinya, keluarganya, sampai pada tetangga-tetangganya.

Sudah tentu, dibalut dengan kepiawaiannya merangkai kata, ia mengisahkan kehidupan masa kanak-kanak yang dijalani di pulau Rote.“ Anak-anak membawa jagung goreng kering (tanpa minyak), makan pagi dengan jagung, ubi, singkong, dan lainnya. Begitu juga makan siang, tak satu pun yang membawa uang jajan.” (hlm. 31)

Pembaca disuguhkan pengalaman si penulis sebagai anak yang tidak resah walau tak memiliki uang jajan. Penulis kisah ini bernama Gerson Poyk atau Be’a (panggilan kesayangan bagi orang Rote). Ia dilahirkan di Bajawa, sebuah kota kecil di Kabupaten Ngada (Flores). Kebiasaannya memungut kertas yang biasanya diabaikan orang.

Menurut penuturan penulis, kertas-kertas dengan ketikan mulai pudar seolah membuat imajinasinya berkembang. Be’a menyenangi tamasyanya dengan bahasa. Ia  mendamba memiliki kehidupan yang mengembara. Ia tidak ingin terikat dengan kampung halamannya. Sebab, Be’a ingin melihat dunia secara luas.

“Suatu hari ketika aku bermain-main di halaman sekolah, melayang selembar kertas yang sudah kotor. Aku mengambilnya dan membaca tulisan yang rupanya sobekan dari ilmu bumi. Aku membaca tentang keadaan luar sana, barangkali aku menjadi pengembara karena sejak kecil gemar membaca.” (hlm. 88).

Dari kalimat itu saja membuatmu tersindir. Aku merasakan sukma Be’a sangat menghayati setiap kata.

Ia memang bukan anak orang kaya, maka yang bisa ia lakukan waktu kecil hanya mengembara dari kata satu ke kata lainnya. Pemaknaan kata itu membuat kesedihan pembaca bisa ikut terlarut. Kenestapaan Be’a yang hanya bisa membaca sobekan kertas terasa menyesakkan dada.

Lebih naas lagi ketika ia menceritakan tentang ayahnya.  Ayah Be’a harus mendekam di penjara selama 3 tahun karena dituduh melakukan affair dengan istri orang. Semenjak saat itu, kehidupannya berubah. Si kecil Be’a dan keluarganya berpindah-pindah dari sanak saudara yang satu ke sanak saudara yang lain.

Ia dan ibunya akhirnya dapat tinggal bersama, sementara yang lainnya dititipkan ke saudara. Ketika akan tiba masa baginya untuk bersekolah, ibunya menitipkan ia ke pendeta. Hanya dengan berbekal baju di badan.

Ia mulai menyesuaikan diri dengan kesembilan anak asuh lainnya. Ia mencari kesenangannya sendiri dengan bermain.

“Suatu ketika pulang berenang dan bermain-main perahu, aku jongkok lagi depan Karaba yang mengupas kelapa tua. Seperti biasa, ia membiarkanku memungut-mungut kikisan kelapa yang terlempat ke tanah.” (hlm. 49).

Petualangan masa kecil Be’a, berpindah kembali ke sanak saudara yang lainnya. Rumahnya yang jauh dari sekolah, membuat ibunya kembali memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada saudaranya.

Be’a menjadi sosok yang tangguh. Be’a kecil harus keluar sekolah lebih awal untuk membuat makanan gurunya. Sebab, ia menumpang di tempat tinggal gurunya sebagai imbalannya ia mengerjakan pekerjaan rumah.

Tidak hanya itu, Gerson membagi cerita lainnya mengenai  pulau Rote. Ia mengisahkan masa kecil nan indahnya. Meski ia tidak dapat membeli mainan karena keterbatasan uang. Tapi, ia mampu mengakalinya dengan mengolah mainannya sendiri. Ia dapat memanfaatkan pelepah pisang atau pun sampah dari kulit jeruk bali dalam membuat mainan kreasinya sendiri.

“Banyak hal menarik di kota Ruteng, begitu banyak permainan dan perbuatan yang menyenangkan seperti membuat kuda dari pelepah pisang, membuat perahu mobil-mobilan dari kulit bali, juga membaut mainan kapal terbang dari kertas.” (hlm. 126)

Kisah ini barangkali dapat membuat kita tersindir. Sebab, hanya bisa sibuk memain gawai pintarnya.

Semasa kecil, impian Gerson Poyk ingin menjadi sopir stomwals dan menjadi aktor, tetapi ia kini memilih pekerjaan yang lebih berat seperti ungkapannya. “Aku membaca setiap hari, menulis setiap hari. Ini lebih berat daripada sopir stomwals." (hlm. 127).

Curhatan ini membuat pembaca membayangkan betapa berat hidup menjadi seorang sastrawan. Tapi, semuanya berbuah manis, sebab kini Gerson Poyk namanya masyur.

Bahkan, orang ini sampai ada dalam Ensiklopedia Indonesia. Karya-karya sudah diterbitkan dalam pelbagai bahasa. Ia menulari bakatnya pada anak pertama yang bernama Fanny Jonathans Poyk. Anaknyalah yang nanti akan diwarisi buku-buku yang telah ditulis semasa hidupnya.

Judul: Nostalgia Flobamora
Penerbit: PT. Actual Potensi Mandiri
Penulis: Gerson Poyk
Terbit: 2015
Tebal: vii + 217 hlm
ISBN: 978-602-71276-7-8