“Boom, Boom, Boom” Suara letusan sahut menyahut terdengar telinga. Saya kira ada ban mobil truk yang meletus. Tampak beberapa anak-anak memegang sebuah benda silinder panjang di pinggir jalan. ”Apa itu dek?” Tanya saya singkat sambil menunjuk benda mirip meriam tangan pasukan elit Janissary pada game Age of Empire II. “Meriam spiritus, pak.” Jawab mereka sambil menekan tombol kecil berwarna hitam di pangkal meriam. “Boom” suara keras kembali terdengar.
Selain iklan sirop berwarna-warni di televisi, suara letusan nyaring di lingkungan sekitar rumah juga menjadi penanda kedatangan bulan Ramadan. Penggunaan petasan jenis tertentu dan meriam spiritus ini memang dilarang. Tentu saja akibat polusi suara yang cukup menjengkelkan.
Namun, kemunculannya acap kali tidak dapat dihindari. Bila kita ibaratkan dengan penyakit fisik, kemunculan benda-benda penyebab bising di telinga ini persis seperti sakit kronis.
Alih-alih ada upaya untuk melakukan pencegahan terhadap kemunculannya, tetapi baru diberantas ketika sudah tampak jelas penjual dan penggunanya. Larangan memang sering kali ada untuk dilanggar. Hal ini tentu saja seperti penyakit kronis. Alih-alih berusaha melakukan gaya hidup sehat untuk mencegah kemunculannya, malah kita lebih dominan melakukan pengobatan ketika gejala penyakit sudah mendera.
Petasan memang sudah menjadi tradisi di Indonesia. Tradisi ini datang dari negara Tiongkok dan dibawa masuk ke Indonesia oleh para pedagang. Awal kemunculan petasan bermula ketika muncul kepercayaan suara keras dapat mengusir roh jahat.
Penemuan bubuk mesiu menjadikan petasan lebih berkembang. Hingga akhirnya beberapa suku di Indonesia menjadikan petasan sebagai salah satu budaya. Misalnya, budaya membunyikan petasan saat merayakan atau mengadakan acara tertentu pada masyarakat betawi, acara pernikahan contohnya.
Bermain petasan atau meriam spiritus memang menyenangkan bagi anak-anak. Namun, mereka mungkin tidak atau belum paham dampak negatif tindakan mereka. Tidak hanya menimbulkan kebisingan, permainan tersebut juga berbahaya bagi kesehatan mereka. Deretan pemberitaan telah beredar terkait dengan efek luka bakar pada anak yang bermain petasan atau meriam spiritus.
Luka bakar adalah dampak kesehatan yang nyata. Kondisi ini langsung terjadi seketika. Namun, ada risiko kesehatan kronik lain yang dapat menimbulkan kerugian di kemudian hari. Risiko tersebut adalah ketulian.
Tuli atau pekak adalah kondisi ketika kemampuan pendengaran seseorang menurun atau tidak dapat mendengar sama sekali. Bunyi “boom” yang keras ketika anak bermain petasan atau meriam spiritus ini tentu berdampak terhadap telinga mereka.
Penelitian yang terbit pada jurnal Pediatrics menunjukkan bahwa sebanyak 17 persen anak dan remaja yang menjalani pemeriksaan pendengaran di Amerika Serikat mengalami gangguan pendengaran akibat bising. Data yang sama belum tersedia di Indonesia.
Namun, kami percaya angkanya juga akan cukup tinggi. Terlebih bila permainan meriam spiritus atau petasan yang berbunyi keras ini terus dilakukan. Kemungkinan pada masa depan kita akan sering mendengar anak-anak kita berkata “ha? Apa?” akibat kesulitan mendengar baik di rumah maupun di sekolah.
Pemerintah Republik Indonesia dari awal kemerdekaan mungkin sudah menyadari dampak negatif petasan bagi kesehatan dan lingkungan. Hal ini tampak pada munculnya larangan meledakkan dan memperjual belikan petasan melalui Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Dalam Undang-Undang tersebut terdapat pasal terkait bahan peledak. Dasar hukum ini digunakan pihak kepolisian dalam rangka penegakkan pelanggaran bermain petasan. Begitu pula yang membuat, menyimpan, dan memperjual belikannya bisa mendapat ancaman maksimal 12 tahun penjara.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat juga sudah menjabarkan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota berwenang melakukan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Bahkan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat ini harus dilakukan hingga tingkat kelurahan atau desa.
Namun, bila pada bulan Ramadan suara petasan masih terdengar. Barang tentu penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban masyarakat (Tantibmas) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri dan beberapa Peraturan Kepala Daerah lainnya tidak terlaksana dengan optimal.
Optimalisasi penyelenggaraan Tantibmas perlu dilakukan terutama terkait petasan dan meriam sprititus di bulan Ramadan. Upaya ini tentu akan berdampak rasa nyaman dalam beribadah dan beristirahat. Di sisi lain, budaya melanggar aturan masih terlalu kuat mengakar di Indonesia.
Jadi, perlu upaya untuk meningkatkan peran lintas sektoral dalam rangka pencegahan mereka yang menjual dan memainkan petasan atau meriam spiritus. Termasuk peran orang tua di rumah untuk melarang anak-anak bermain petasan atau meriam spiritus.
Bisakah kita membayangkan bahwa anak-anak kita nantinya harus selalu menggunakan sebuah benda di telinga mereka. Bukan sebuah earphone atau headset TWS yang lagi ngetrend saat ini, melainkan sebuah alat bantu dengar. Anak dengan gangguan pendengaran akibat bising akan mengalami penurunan fungsi dengar yang cukup parah.
Ya, bagi orang tua, kita punya pilihan. Melarang anak-anak kita untuk tidak memainkan benda dengan suara bising tersebut atau merelakan masa depan telinga anak kita. Rela untuk menggantikan fungsi pendengaran yang telah diberikan dengan sebuah alat agar tetap bisa mendengar.
Jadi, dari pada kita sulit memanggil anak kita pada masa depan mari kita cegah mereka untuk tidak mengalami tuli akibat petasan atau meriam spiritus. Ganti kegiatan permainan tersebut dengan permainan lain yang lebih aman dan mengasah bakat. Ingat bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Mencegah anak kita tuli lebih baik dari pada harus memakaikan mereka alat bantu dengar di kemudian hari.