Meski rezim represif sudah tumbang sejak 20 tahun yang lalu, namun angka kekerasan berbau SARA di Indonesia bisa di bilang masih cukup tinggi.  

Konflik komunal bernuansa SARA adalah gejala sosial yang akar permasalahnya mengalami komplikasi. Beragam latar belakang yang menadasarinya membuat konflik SARA menjadi bahaya laten yang mengancam integrasi bangsa.

Beberapa hal di anataranya disebabkan oleh menguatnya kembali politik identitas di tengah situasi kepanikan masyrakat menghadapi ketidak stabilan ekonomi, sosio-politik dan keamanan nasional sejak era reformasi.

Ketika rezim Orde Baru, tumbang.  Pemerintahan baru, belumlah memiliki konsep yang jelas untuk menahkodai Indonesia Raya. Bersamaan dengan itu, ditengah situasi yang serba tak menentu, kelompok fundamentalis seperti mendapatkan momentumnya untuk tampil sebagai kontestan baru di kancah perpolitikan nasional.

Kelompok atau golongan ini tak segan-segan memainkan isu sentimen agama untuk menarik simpati masyarakat yang dulu, hak politiknya terpasung di bawah tekanan rezim Soeharto. Mereka, membangun wacana bahwa keadilan dan kesejahtraan nasional hanya bisa tercipta jika para pemimpinnya berasal dari golongan mereka. Seperti yang dikatakan oleh Thomas Meyer:

“Dari dalam mewakili strategi fundamentalisme yang berupaya untuk meyakinkan kita bahwa kejahatan yang timbul di dunia hanya dapat disembuhkan jika tuntutan kepastian yang dipegang oleh pemimpin-pemimpin fundamental dalam masing-masing kejadian, dapat berkuasa tanpa ketakutan dan kontradiksi.” (Thomas Meyer, 2017:17)

Perangkap tersebut cukup efektif menjebak masyarakat awam yang tidak mampu mengikuti ritme, dinamika perpolitikan Indonesia. Buktinya, kelompok ini sukses meraup dukungan  massa dalam waktu singkat dan merebut beberapa posisi strategis di kepemerintahan baik itu di eksekutif maupun legislatif, baik di daerah maupun pusat.

Tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok tertentu. Situasi ini jelas merupakan ancaman bagi keberlangsungan kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini tidak terlepas dari tipikal fundamentalisme mereka yang menjalankan strategi politiknya dengan cara yang lain dari pada yang lain.

Kelompok yang mencitrakan diri sebagai wakil dari golongan relijius ini cenderung memaksakan satu model ekspresi dan refrensi beragama, menjalankan suatu idiologi yang anti tradisional sekaligus anti moderenisme tapi menggunakan perangkat moderen untuk menggerakkan sistemnya, dan yang paling mengancam, kelompok ini menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuan politiknya.

Fenomena tersebut ditunjukkan oleh kerusuhan yang kerap terjadi di tanah air paska Orde Baru. Hampir semua konflik kekerasan atau tindakan intoleransi di Indonesia,  jika tidak dikatakan pasti, selalu terhubung dengan kelompok intoleran ini.

Betapa bentrokan berdarah antara Islam dan Kristen saat pembongkaran gereja di kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2015 dan kisruh Pilkada Jakarta tahun 2017 menunjukkan dinamika tersebut. Setidaknya memperlihatkan pola dan strategi yang dimainkan oleh kelompok ini.

Kasus kekerasan di Aceh Singkil pada tahun 2015, tidak bisa dinilai sebagai konflik yang murni karena perbedaan keyakinan semata. Juga tidak bisa hanya dinilai dari alasan masyarakat muslim Singkil untuk meligitimasi aksi represifnya karena—warga Kristen tidak bisa menghargai keberadaan Aceh yang dicitrakan sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam dalam sistem pemerintahan daerahnya —warga Kristen Singkil tidak menghiraukan pelarangan masyarakat muslim untuk tidak memperluas pembangunan gerejanya.

Sungguh kasus yang menyebabkan kerugian matrial dan sosio-kultural kedua belah pihak ini terkesan dipaksakan, ketimbang dinilai sebagai sebuah peristiwa yang terjadi secara alamiah. Pasalnya ada banyak keganjilan yang melatar belakangi konflik tersebut.

Mulai dari mencuatnya kembali, rumor yang beredar di kalangan Islam tentang peraturan bagi warga Kristen yang hanya diperbolehkan membangun 1 gereja dan 4 undung-undung (semacam gereja kecil mirip musalla dalam Islam)  yang sesungguhnya hanya dibangun dari persepsi masyarakat Isalam saja, yang sesungguhnya hanya berupa “sejarah oral” yang sengaja dieksploitasi oleh kubu Islam secara sepihak. Pasalnya tidak ditemukan teks, dokumen atau legal formal yang membuktikan aturan tersebut pernah ada.

Selanjutnya mobilisasi massa Islam secara besar-besaran lewat media elektronik (aplikasi black berry dan pesan singkat/SMS) maupun media cetak (pamflet) agar Umat Islam secara keseluruhan baik Islam yang ada di kabupaten Aceh Singkil maupun di luar Aceh Singkil dihimbau untuk mendukung aksi unjuk rasa, dengan tuntutan pelarangan pembangunan kembali gereja GKPPD di Mandumpang, Kecamatan Suro yang terbakar pada tanggal 18 Agustus 2015. Padahal agenda sebenarnya dibalik mobilisasi masa tersebut adalah penggusuran 10 gereja atau tempat ibadah Umat Kristen.

Berikutnya, keganjilan terlihat di kubu Kristen Desa Dangurun, dimana kubu keristen diam-diam sudah terkonsulidasi dengan baik untuk mempersiapkan diri dengan senjata tajam,  untuk melawan jika gereja mereka dibongkar oleh massa Islam. Hingga bentrok tidak bisa terelakkan.

Peristiwa selanjutnya, barangkali belum hilang dalam ingatan kita bagaimana kisruh Pemilukada Jakarta tahun 2017 menguras energi seluruh elemen bangsa untuk menjaga stabilitas keamanan nasional.

Karena pesta demokrasi yang sedianya menjadi momentum untuk merayakan kebabasan memilih pemimpin, berubah menjadi panggung terbuka untuk “pesta intoleransi”. Dimana narasi-narasi kebencian dan diskriminasi terhadap etnis tertentu, untuk menjatuhkan saingan, tanpa malu-malu dipertontonkan oleh kubu yang didukung penuh oleh kelompok radikal.

Semerawutnya Pemilukada Jakarta 2017 sulit dinalar akal sehat. Karena dampak buruknya bukan hanya dirasakan warga Jakarta saja tetapi dampak buruknya juga meluas, menyasar warga di luar wilyah Jakarta bahkan ke daera-daerah yang jauh dari pusat sekalipun,  sehingga nyaris membelah Indonesia menjadi dua kubu yang berseberangan.

Perang Topat, Perang Damai. 

Pada dasarnya Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam suku bangsa. Dan masing-masing suku bangsa yang majmuk tersebut memiliki modal besar berupa akar tradisi atau kearifan lokal yang sarat dengan pesan perdamaian.

Modoal tersebut telah teruji oleh pendahulu masing-masing sebagai alat perekat elemen bangsa, baik itu lintas etnis maupun lintas agama. Selain itu modal tradisi ini juga cukup ampuh menangkal faham intoleran yang ingin mengrogoti keutuhan bangsa.

Hanya saja, butuh kesadaran kolektif dan kerja sama semua pihak untuk merevitalisasi kembali tradisi budaya yang telah terdegradasi oleh zaman.

Hal ini memang tidak mudah. Akan tetapi jika kekuatan yang tumbuh dari bawah (inklusif) ini tidak segera direvitalisasi, maka ancaman yang lebih parah dari peristiwa kekerasan yang sudah terjadi, bukan tidak mungkin akan segera menyusul. Ahmad Suaedi, mengatakan:

“Tradisi tradisi—tradisi yang hidup  di dalam masyarakat yang selama ini menjadi faktor penting bagi dialog dan harmoni, pelan-pelan terkikis dan digantikan dengan tradisi baru yang datang dari luar. Tradisi baru itu seringkali, justru menjadi faktor pemecah karena masyarakat tidak selalu siap menghadapi tatanan baru tersebut. Apa yang kemudian terjadi adalah ketegangan, konflik dan bahkan anarkisme, yang mungkin berlarut.” (Suaedi, 2017:9)

Seperti misalnya tradisi Perang Topat di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.

Bagi Umat Islam Perang Topat adalah puncak acara untuk meperingati Haul Waliyullah yang menyebar Islam di Lingsar. Sedang bagi Umat Hindu Perang Topat meruapakan puncak ritual setelah melaksanakan upacara puja wali sembah batara.

Perayaan “perang damai” yang diselenggarakan tiap purnama sasih, bulan ke tujuh (Penanggalan Suku Sasak) tiap tahunnya ini, merupakan cerminan toleransi antar umat beragama di Pulau Lombok.  Karena perang ini melibatkan dua entitas agama terbesar yang ada di Pulau Lombok, Agam Islam dan Agama Hindu.

Dan dikatakan “perang damai” karena baik bagi Umat Islam maupun Umat Hindu yang terlibat, berperang menggunakan ketupat (saling lempar ketupat) dilakukan dengan penuh kegembiraan, tanpa rasa permusuhan dan bukan untuk saling menghancurkan satu sama lain.

Karena esensi dari Perang Topat bukan pada perangnya. Melinkan Perang Topat merupakan momentum berkumpulnya masyarakat Lingsar untuk mengekspresikan rasa syukur seluruh warga Lingsar, baik Islam maupun Hindu atau agama yang lainnya, atas berkah Sang Maha Kuasa berupa limpahan air yang memberi kesuburan subak atau tanah di wilayah mereka.