“A perfect paper airplane.” ~ Ellen Hopkins
Semenjak kecil, saya lebih suka pesawat, terutama pesawat tempur ketimbang mobil-mobilan. Mainan pesawat yang saya maksud adalah miniatur, yang detailnya mirip aslinya.
Di masa masih duduk di bangku SMP, di tahun 90-an, salah satu merek miniatur pesawat atau mobil yang terkenal adalah Tamiya. Tapi Tamiya, bagi saya, adalah barang mewah. Paling-paling Ayah saya hanya mampu membelikan mainan pesawat tempur “die-cast” biasa, yang tidak begitu detail memperlihatkan bagian-bagian pesawat seperti aslinya.
Malah, kebanyakan, pesawat-pesawat mainan yang saya miliki terbuat dari plastik yang dibeli satu set dengan tentara, mobil jeep, untuk mainan perang-perangan. Tentu saja, tidak ada detail di dalamnya.
Tidak Ada Akar, Rotan pun Jadi
Pepatah tidak ada akar, rotan pun jadi rupa-rupanya berlaku dalam perjalanan hidup saya. Ketidakmampuan orang tua untuk membeli Tamiya yang harganya selangit tidak membuat hobi terhadap pesawat menjadi terhambat.
Beruntung, salah satu majalah dirgantara pada masa itu, yakni Majalah Angkasa, banyak memuat gambar serta foto pesawat tempur. Uniknya, majalah satu ini juga memberikan bonus, yakni pola-pola pesawat yang tinggal dirangkai menjadi paper model.
Saya biasanya mendapatkan majalah-majalah ini di pasar-pasar buku bekas. Di kota kelahiran saya, Bandung, pasar ini hingga kini masih ada, yakni di Palasari Buah Batu atau di sebelah Gedung PLN, yang berlokasi di jalan Asia Afrika.
Saya tak membuka Majalah Angkasa dari halaman pertama, tapi langsung menuju halaman tengah, halaman di mana bonus-bonus pola pesawat berada. Saya begitu girang jika di dalamnya terdapat pola-pola pesawat tempur seperti F-16, F-18 Hornet, atau pola-pola pesawat tempur milik Uni Sovyet, yakni Mig dan Sukhoi.
Lalu, kemudian saya bergegas ke warung di belakang rumah. Saya membeli kertas karton yang akan saya gunakan sebagai bahan untuk membuat pesawat model.
Selain kertas, saya juga membeli lem merek UHU untuk merekatkannya. Saya pun tak lupa mampir ke tempat fotocopy. Pola-pola pesawat di Majalah Angkasa biasanya tidak besar. Maka kemudian, di tempat fotocopy, saya meminta supaya pola-pola tersebut di-copy dan diperbesar dua kali dari aslinya.
Pada mulanya, di awal-awal pembuatan, saya sedikit bereksperimen. Saya membuat pesawat-pesawat kertas ini dengan kertas biasa, semacam kertas HVS 70 gram. Tapi, ternyata terlalu tipis, dan mudah sobek. Akhirnya, saya beralih ke kertas karton karena lebih kuat, tebal, dan tentu saja tahan lama.
Setelah semua peralatan, seperti kertas, gunting, cutter, serta lem telah lengkap, maka pola yang telah diperbesar akan saya tempelkan pada kartun. Untuk kemudian, langkah selanjutnya adalah dipotong dengan gunting atau cutter.
Setelah pola selesai digunting, lalu saya membubuhkan lem pada tiap-tiap rangkaian. Menempelkan tiap bagian atau rangkaian adalah seperti merajut mimpi. Satu per satu kertas yang sudah berpola saya rekatkan hingga pada akhirnya membentuk sebuah pesawat.
Di awal pembuatan pesawat model, sayap pesawat hanya kertas karton saja polos tanpa apa-apa. Hasilnya sungguh mengecewakan. Ia melengkung ke atas, persis seperti sayap burung. Untung ayah saya memberi ide. Ia selipkan stik kayu bekas ice cream. Hasilnya, sayap pesawat menjadi lurus dan kuat karena memiliki kerangka.
Tahap selanjutnya adalah membuat kokpit. Bagaimana caranya? Saya memotong botol bekas kecap atau saus.
Agar lebih melengkung dan cembung, saya membakar sedikit potongan kecil plastik itu agar mudah membentuknya menjadi sebuah lengkungan. Setelah semua terpasang, kaki rodanya saya buat dari korek api, dan roda atau bannya saya ambil dari bekas mainan mobil-mobilan yang sudah rusak.
Setelah semuanya selesai, tahap akhir adalah pengecatan. Pada mulanya, saya memakai cat poster, namun hasilnya kurang begitu memuaskan. Lagi pula, cat poster harganya lebih mahal. Pada akhirnya saya memilih cat kayu. Cat kayu membuat pesawat kertas menjadi mengkilat dan persis logam. Terkadang Ssya mem-vernis agar warna catnya lebih mengkilap.
Perkembangan terakhir, saya tidak puas hanya segitu saja. Saya kemudian membeli –jika masih ada uang– dempul untuk mobil. Hasil akhir dari dempul mobil adalah seperti plastik. Dus, saya akan mengoleskan dempul mobil tersebut pada pesawat yang sudah jadi.
Hasilnya menakjubkan. Pesawat kertas kemudian menjelma menjadi pesawat plastik. Langkah selanjutnya, tinggal mengamplas dan mengecatnya seperti biasa.
Dari semenjak SMP hingga SMA, puluhan pesawat model berhasil saya buat. Mulai dari pesawat tempur Perang Dunia II semacam P-51 Mustang, Mitsubishi Zero-nya Jepang, dan pesawat angkut militer Hercules. Sementara pesawat militer modern yang berhasil saya buat adalah F4 Phantom, F-16, F-18 Hornet, dan pesawat-pesawat tempur made in Sovyet seperti MIG 15, MIG 17, hingga pesawat tempur legendaris MIG 21 Fishbed.
Sebagian besarnya saya gantungkan di kamar menggunakan benang plastik berwarna bening, sehingga pesawat-pesawat tersebut terlihat sedang mengudara. Melihat mereka bergelantungan di kamar sungguh memuaskan hati. Mereka –pesawat-pesawat itu– seperti sedang melakukan dog fight atau pertempuran udara.
Sebagiannya lagi saya bawa ke sekolah. Beberapa teman sekolah tertarik memiliki, sehingga ada yang kuberikan gratis, dan sebagian lainnya saya jual. Masa-masa ini ketika banyak waktu luang, saya menghasilkan satu pesawat model per minggu. Hanya dengan kertas, karton, dan lem sudah sangat membahagiakan.
Origami
Berbicara soal karya seni kertas, sesungguhnya bukan fenomena baru. Mungkin kita pernah mendengar kata Origami, seni lipat kertas yang berasal dari negeri Sakura. Seni yang semula hanya berkembang di Jepang ini kini menjamur ke antero dunia.
Origami (折り紙, dari ori yang berarti “lipat”, dan kami yang berarti “kertas”, merupakan seni tradisional melipat kertas yang berkembang menjadi suatu bentuk kesenian yang modern. Bahan yang digunakan adalah kertas atau kain yang biasanya berbentuk persegi. Sebuah hasil origami merupakan suatu hasil kerja tangan yang sangat teliti dan halus pada pandangan.
Saya sedikit mencari tahu mengenai seni Origami. Secara umum, untuk membuat origami, kita bisa menggunakan kertas biasa. Namun kebanyakan origami di Jepang menggunakan kertas khusus untuk origami.
Perbedaan antara kertas biasa dan kertas origami hanyalah dari segi desain dan warna saja yang sangat beragam sehingga membuat origami menjadi makin indah dan sama sekali tidak berhubungan dengan teknik, seperti lipatan kertas menjadi lebih mudah dan sebagainya.
Selain origami, yang sekarang sedang naik daun juga adalah seni kardus (art cardboard). Kardus yang semula digunakan sebagai alat pelindung atau packing, dan dibuang ketika sudah tidak terpakai lagi, kini ternyata bisa dibentuk atau dibuat beragam barang. Di YouTube, banyak channel yang memperlihatkan tutorial membuat beragam barang dari kardus bekas.
Intinya, jika kita kreatif, banyak hal yang dapat dibuat dari kertas. Kertas tidak melulu sebagai media menuangkan tulisan. Fungsinya lebih dari itu. Saya pribadi berhasil membuktikannya.
Sayangnya, kreativitas anak bangsa masih belum terdengar gaungnya dalam pemanfaatan media kertas. Padahal, seperti dicontohkan sedikit di tulisan ini, Jepang dapat menjual seni Origami-nya ke antero dunia. Semoga ke depan generasi muda Indonesia juga bisa menghasilkan karya-karya kreatif dari media kertas seterkenal Origami!
Referensi:
https://beautyofflowers.wordpress.com/2014/03/23/pengertian-origami/