"lebih tinggilah derajat sebagai manusia, bila engkau kekal dalam bangsamu saja”.

(Kalau Tak Untung)


Menurut Nurgiyantoro, Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.

Psikologi sastra memiliki tujuan untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung melalui pemahaman terhadap tokoh-tokoh, misalnya, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan yang lain yang terjadi dalam masyarakat khususnya dalam kaitannya dengan psikologi.

Dalam kehidupan, manusia memiliki lebih dari satu lakon (peran) yang tercipta dari identitas diri masing-masing. Identitas diri ini terbentuk dari sebuah proses pembentukan kepribadian. Pembentukan merupakan pembuatan, penciptaan, pendirian, penjadian, penyusunan.


Kepribadian Hanafi

Hanafi adalah tokoh utama dalam novel salah asuhan, ia merupakan bangsa Melayu. Hanafi merupakan orang yang berpendidikan, tidak lain hal itu karena sang Ibu yang ingin Hanafi untuk bersekolah tinggi. 

Maryam (ibu Hanafi) adalah seorang ibu yang sabar dan selalu menerima Hanafi, bagaimanapun keadaan Hanafi. Berawal dari pendidikan, Hanafi mulai mencintai kebudayaan Belanda, perangainya semakin hari, semakin terlihat seperti orang Belanda. 

Pakaiannya, perabotan rumahnya, cara ia berbicara, pergaulannya telah mencerminkan kesukaannya terhadap bangsa Belanda. Kepribadian Hanafi tentunya menjadi buah bibir masyarakat setempat, perilakunya yang tidak sopan saat bertemu sanak saudaranya hingga saat ia akan menikah. Dapat dilihat melalui kutipan berikut.

“Ah, ya. Bu, sudah berapa kali saya berkata, bahwa saya kaku berhadapan dengan orang-orang serupa itu. Tidak tentu saja apa yang akan diucapkan.”

Dari kutipan tersebut Hanafi sedang membicarakan keluarganya. Ia berpendapat bahwa mereka itu orang kampung, dan mereka orang tak pandai. Sungguh perangai Hanafi sangat buruk, meskipun orangtuanya serta saudara-saudaranya tidak mengenyam pendidikan tetapi mereka berperilaku sopan. 

Hanafi pandai berkata-kata, kelakuan buruknya itu tak ia anggap buruk. Ia malah berpandangan bahwa dengan menjadi orang Belanda, ia menjadi orang yang sopan, dapat bergaul dengan yang lain serta dapat diterima oleh orang belanda tersebut.

Perilaku Hanafi yang keras, kejam kepada istrinya itu ia lakukan tanpa rasa kasihan. Istrinya yang sangat sabar mengasuh anaknya, melakukan pekerjaan rumah, hingga menunggu Hanafi pulang dari Betawi. Tapi ternyata Hanafi telah mengirimkan Surat, yang isinya ia ingin berpisah dari Rapiah. 

Sungguh menyakitkan bagi Rapiah ketika membaca surat tersebut. Tetapi, Rapiah tidak pantas berdamping dengan seorang Hanafi yang berperangai seperti itu. 

Hanafi bukan hanya kejam tetapi ia juga orang yang keras kepala juga tidak bisa menjaga emosinya. Saat berpisah dari Rapiah, Hanafi menikah Corrie. Hidup mereka dari awal sudah banyak dijauhi orang-orang sekitar terutama orang Belanda. Dari awal mereka menikah, hidup mereka seakan hanya berdua saja. Hingga tiba saat Hanafi melakukan fitnah terhadap Corrie. Dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Aku menuduh engkau berlaku hina di dalam rumahku ini!” demikian kata Hanafi dengan suara keras, sambil berdiri di muka Corrie yang masih duduk mengigit-gigit serbet. “Tidak usah pertanyakan ini dan itu, bukti sudah sampai cukup!”

Dari kalimat tersebut dapat dilihat bahwa Hanafi mengucap kata sebelum berpikir dahulu, akibatnya ia kehilangan istrinya. Dengan banyak pengorbanan yang ia lakukan sampai berpindah kewarganegaraan walaupun pada akhirnya tidak diakui oleh bangsa Belanda serta merasa diasingkan dari orang Melayu sendiri.

Kebencian orang-orang terhadap Hanafi bukan hanya karena ia berpindah kewarganegaraan tetapi karena perlakuan terhadap istrinya Rapiah maupun Corrie. Penyesalan memang berada di akhir, hingga akhir hayat Hanafi.


Identitas: Melayu atau Belanda

Sebuah identitas perlu dimiliki agar dapat mengetahui kebudayaan serta ciri khas yang terdapat pada setiap orang. Kebudayaan yang ada pada asal diri lahir perlu diketahui sedikit banyaknya. Dengan pengetahuan tentang identitas diri , orang lain akan lebih menghargai budaya yang ada. 

Tiap orang boleh menyukai kebudayaan lain tetapi ada baiknya lebih mengenal kebudayaan sendiri karena hal tersebut merupakan identitas diri. 

Tiap orang boleh bergaya seperti orang Belanda tetapi tetap menjalankan adat istiadat daerahnya. Menghargai kebudayaan orang lain adalah tugas tiap orang, hal tersebut membuat tiap kebudayaan dapat dihormati. Identitas, terutama kewarganegaraan tentunya akan menjadi permasalahan apabila orang tersebut tidak diakui ketika berpindah kewarganegaraan.

 Hanafi adalah contoh seorang yang ingin menjadi warga negara Belanda, meskipun ia telah berpindah kewarganegaraan, ia tetap dianggap orang Melayu. Karena bagaimanapun orang-orang mengenalnya bukan orang Belanda tetapi asli orang Melayu. 

Bagaimanapun ia ingin mengubah identitas, tidak ada yang akan memberikan pengakuan terhadap kewarganegaraan yang baru.

“Jadi engkau sekarang sudah menjadi orang Eropa! Cristian, sungguh manis bunyinya, nanti namamu Chris saja lagi, Chrisje, Christy, sungguh manis-tapi…….”

Dari kutipan tersebut Hanafi telah mengubah kewarganegaraannya, dan namanya menjadi Christian Han. Senang hati Hanafi telah diakui oleh Departemen B.B. tapi dalam masyarakat, dia hanyalah seorang Melayu yang menikahi Bangsa Eropa.

 Dalam pandangan bangsa Barat apabila laki-laki dari Timur menikah dengan Perempuan Bangsa Barat, perempuan tersebut dianggap hina karena menjatuhkan derajat mereka. Terjadilah situasi di mana Hanafi dan Corrie dijauhi oleh orang-orang, baik itu orang Belanda maupun Betawi. 

Hanafi yang dari kecil diasuh oleh orang Belanda, menjadikan ia paham betul bagaimana perilaku, cara berpakaian hingga hal-hal kecil lainnya. 

Jiwa hanafi yang mudah terpengaruh membuat ia lebih bangga menjadi orang Eropa ketimbang menjadi orang Melayu. Teman Hanafi yang bernama Piet, ia berpendapat bahwa, orang lebih menghargai ketika kita menjadi diri kita sendiri. Dapat dilihat melalui kutipan berikut.

“Han, engkau sungguh seorang terpelajar, tapi di dalam rasa dengan rasa itu engkau seolah-olah buta dan tuli. Tidak dapat diterangkan selanjut-lanjutnya insaf lah engkau, pada rasa bangsaku, engkau masih Bumiputera, dan engga lah mereka menerima engkau, bila engkau menyerukan diri memasuki bangsa itu.

Pada pendapat mereka, lebih tinggilah derajat mu sebagai manusia, bila engkau tinggal kekal di dalam bangsamu saja, tapi menyatakan perpindahan saja terhadap kepada bangsanya, bangsa Eropa. 

Jika engkau melakukan sedemikian niscaya kehormatannya kepadamu akan lebih besar, dipandangnya dirimu sebagai seorang Bumiputera yang sopan dan terpelajar. 

Tapi secara yang engkau lakukan sekarang, sekali-kali tiada lah disukainya. Itulah semua rasa dan perasaan itu tidak dapat dikemudikan, walau oleh yang mengandung perasaan itu sekalipun.”

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa, seseorang lebih dihargai saat menjadi dirinya sendiri, tidak berpura-pura menjadi orang lain. 

Hanafi yang meniru berbagai gaya hidup orang Eropa pada akhirnya ia kembali ke tanah kelahirannya di Kota Anau. Hanafi memang telah berganti kewarganegaraan tetapi akhir hidupnya dikuburkan di tanah kelahirannya, bukan di kuburan orang Eropa.


Daftar Pustaka

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gama Press, 2007.

Ratna, Nyoman Kutha,Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia.Jakarta: PT. Gramedia, 2006.

Moeis,Abdoel, Salah Asuhan, Jakarta:PT Balai Pustaka. 2009.