“Demokrasi adalah sistem yang buruk, namun kita tidak memiliki yang lebih baik dari demokrasi”
Rasanya, Socrates tidak berlebihan ketika mengucapkan potongan kalimat di atas. Demokrasi memang sebuah sistem yang masih memiliki banyak celah dalam teori maupun praktisnya. Sebagai pengantar untuk membedah persoalan-persoalan mendasar demokrasi, perlu digambarkan terlebih dahulu pro dan cons daripada demokrasi itu sendiri.
Pro demokrasi: everyone gets vote
Cons demokrasi: everyone gets vote
Semua orang mendapatkan suara adalah dampak positif sekaligus negatif dari demokrasi. Prinsip “siapapun bisa menjadi apapun” dalam demokrasi adalah pintu sekaligus celah yang dapat membentuk juga merusak demokrasi. Hal ini bisa kita lihat dari prinsip demokrasi modern di mana siapapun tanpa memandang latar belakangnya bisa mencalonkan diri sebagai legislator.
Jika kita bandingkan dengan cabang profesi lain, seperti misalnya dokter ataupun pilot. Dokter dan pilot harus melewati proses pendidikan dan pelatihan yang sedemikian rupa serta membutuhkan waktu sekian tahun untuk dapat menjalankan profesinya.
Hal ini diperlukan untuk membentuk kemampuan dan pemahaman mengenai ilmu kedokteran ataupun penerbangan sehingga meminimalkan potensi penyalahgunaan ilmu atau wewenang sebagai dokter dan pilot.
Lantas, mengapa pejabat publik dalam sistem demokrasi bisa berasal dari latar belakang apapun tanpa perlu melewati serangkaian proses sebagaimana yang dilalui oleh dokter dan pilot?
Gambaran seperti inilah yang menjadi persoalan mendasar demokrasi yang berasal dari pro serta cons demokrasi: everyone gets vote. Plato, sebagaimana yang ia tulis dalam “Republik” bahwa permasalahan dunia akan selesai ketika filsuf menjadi raja atau raja menjadi filsuf.
Plato, kemudian dipertegas oleh Hatta (2006) bahwa untuk membentuk philosopher king diperlukan pendidikan sedemikian rupa agar dapat menghasilkan calon negarawan/pejabat publik yang berkualitas.
Penjelasan di atas kemudian perlu diperiksa melalui pendekatan historis terhadap praktik demokrasi di masa Yunani Kuno. Kita akan menemukan praktik demokrasi kuno seperti yang digambarkan oleh Hatta (2018):
“Demokrasi kuno yang dipakai di barat merupakan sistem pemerintahan yang melibatkan seluruh rakyat yang sudah dewasa untuk menentukan undang-undang negeri dalam sebuah rapat raksasa.
Selain undang-undang, kekuasaan hukum dan kehakiman diputuskan juga secara massal. Hal ini dapat dilakukan karena dahulu negara barat masih kecil wilayahnya dan sedikit penduduknya seperti Polis di Athena dan Civitas di Roma”
Praktik demokrasi yang diterapkan oleh Athena ataupun Roma adalah praktik demokrasi pertama yang digunakan di dunia. Namun, praktik tersebut tidak relevan dengan kondisi hari ini di mana perkembangan negara semakin pesat sehingga sulit untuk melakukan musyawarah publik seperti yang digambarkan Hatta tersebut. Praktik demokrasi akhirnya bergeser menggunakan sistem perwakilan. Sistem perwakilan inilah yang kemudian melahirkan permasalahan baru.
Permasalahan yang baru adalah sistem perwakilan berpotensi mengakibatkan fenomena keterwakilan semu (pseudo). Kedudukan perwakilan rakyat yang berada di pemerintahan serta parlemen menjadi diskursus panjang yang sangat bisa diperdebatkan.
Apakah dalam praktiknya, perwakilan tersebut dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan rakyat yang diwakili? Apakah rakyat secara individu tetap dapat menjalankan hak politiknya secara mandiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang penafsiran yang berbeda mengenai sistem demokrasi perwakilan. Terlebih mengutip Farihah dan Sri (2015), keterwakilan ini bersifat semu jika perwakilan rakyat menganggap dirinya adalah representasi rakyat secara langsung sehingga kepentingan rakyat dapat diakomodir olehnya tanpa perlu konsultasi ataupun musyawarah dengan rakyat yang diwakili.
Padahal, khususnya di Indonesia, Hatta (2018) menggambarkan bahwa kebiasaan masyarakat Indonesia, yaitu musyawarah adalah akar daripada demokrasi politik sehingga musyawarah adalah “jantung” daripada praktik demokrasi. Namun, keterwakilan yang bersifat semu mengaburkan proses deliberasi tersebut.
Lebih jauh lagi, gap antara kondisi ideal yang diharapkan dengan menerapkan sistem demokrasi dengan kondisi faktual yang dihasilkan oleh demokrasi inilah yang berpotensi melahirkan demagog atau penguasa otoriter.
Jika rakyat tidak memiliki pemahaman dan edukasi politik yang memadai, maka demokrasi hanyalah “alat” yang dapat digunakan oleh segelintir pihak yang memiliki kepentingan yang berseberangan dengan demokrasi.
Ancaman inilah yang sering kali tidak disadari. Snyder (2020) menyebutkan;
“Pengawasan dalam sistem demokrasi sering kali membuat kita terlalu sibuk mengawasi potensi ancaman dari orang lain tanpa menyadari bahwa ancaman terhadap demokrasi bisa saja datang dari diri kita sendiri.”
Ancaman dari diri kita sendiri adalah jika tingkat pemahaman dan edukasi politik masyarakat rendah maka hal itu berbanding lurus dengan kualitas demokrasi yang dijalankan.
Ketika “everyone gets vote” namun masyarakat tidak memiliki pemahaman dan edukasi politik yang baik maka suara masyarakat hanyalah dipandang sebagai angka bukan sebagai hak politik.
Hal inilah yang kemudian jika dikontekstualisasikan dalam demokrasi elektoral menyebabkan terjadinya praktik politik uang, politik identitas, dan sederet permasalahan lainnya yang menyebabkan demokrasi terjebak dalam elektoralisme (Natsir & Ridha, 2018).
Lebih lanjut, Levitsky dan Ziblatt (2021) menyebutkan kondisi ini yang justru dapat melahirkan kiamat bagi demokrasi:
“Hari ini demokrasi mati tidak lagi hanya melalui jalur kekerasan seperti kudeta, konflik bersenjata, ataupun revolusi ekstremis namun hari ini demokrasi mati melalui jalur konstitusional lewat pemilu dan perumusan kebijakan di mana legitimasi demokrasi dipakai untuk melanggengkan kekuasaan, mematikan oposisi, hingga menyengsarakan rakyat.”
Pada masa perang dunia ataupun perang dingin, demokrasi di suatu negara mati melalui proses-proses konflik seperti revolusi, kudeta, dan juga pemberontakan. Namun, di era modern, demokrasi justru mati melalui penggunaan demokrasi itu sendiri.
Kondisi ini dapat kita lihat sebagai dua mata pisau demokrasi sekaligus menegaskan seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa demokrasi masih memiliki celah yang sangat lebar dalam pelaksanaannya.
Sejarah telah membuktikan bahwa banyak demagog atau pemimpin otoriter lahir justru dari sebuah sistem yang demokratis. Levitsky dan Ziblatt (2021) menempatkan Adolf Hitler dan Benito Mussolini di masa lampau serta Donald Trump di masa kini sebagai demagog dan pemimpin otoriter yang lahir dari sistem demokrasi.
Lebih jauh dari itu, Aristoteles dalam Hatta (2006) juga menyebutkan bahwa ini adalah konsekuensi dari demokrasi dimana “keahlian” dikalahkan oleh “jumlah”. Jika memang demagog tersebut yang mendapatkan jumlah suara terbanyak maka dialah yang akan memimpin sekalipun itu terjadi negara demokrasi.
Persoalan-persoalan mendasar demokrasi ini tentunya membutuhkan solusi untuk dapat menutup celah penyelewengan praktik demokrasi. Salah satu solusi yang cukup efektif adalah membentengi sistem demokrasi dengan norma-norma demokrasi.
Levitsky dan Ziblatt (2021) mencontohkan norma demokrasi yang menjadi benteng demokrasi di Amerika Serikat. Norma demokrasi tersebut adalah sikap membatasi diri dan saling toleransi.
Sikap menahan diri berarti pengendalian diri yang sabar, legowo, dan toleran atau tindakan tidak menggunakan suatu hak legal walaupun secara teknis sah-sah saja untuk menggunakan hak tersebut agar tidak merusak sistem yang ada.
Saling toleransi merujuk ke gagasan bahwa selama pesaing-pesaing kita bermain sesuai aturan konstitusional, kita harus menerima bahwa mereka punya hak yang setara untuk hidup, bersaing berebut kekuasaan, dan memerintah.
Norma demokrasi ini terbukti dapat menjaga demokrasi di Amerika Serikat walaupun mendapatkan upaya penyerangan terhadapnya mulai dari lamanya masa jabatan F.D. Roosevelt, skandal Watergate oleh Richard Nixon, dan terpilihnya Donald Trump.
Namun, di Indonesia sendiri nampaknya kita belum mempunya solusi untuk membentengi demokrasi. Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya penyelewengan demokrasi mulai dari masa orde lama, orde baru, hingga reformasi.
Sebagai penutup, rasanya demokrasi perlu ditinjau kembali secara teori maupun praksisnya sehingga celah demokrasi dapat diantisipasi sehingga mampu menciptakan demokrasi yang ideal dan paripurna.
Referensi:
Farihah, L., Sri, D. (2015). Demokrasi Deliberatif dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Penerapan dan Tantangan ke Depan. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan.
Hatta, M. (2006). Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hatta, M. (2018). Demokrasi Kita: Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat. Bandung: Sega Arsy.
Levitzky, S & Ziblatt, D. (2021). Bagaimana Demokrasi Mati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Natsir, M & Ridha, M 2018. Terjebak Elektoralisme: Catatan tentang Demokrasi Indonesia Dua Dekade Terakhir. Jurnal Politik Profetik, vol. 6, no. 2, hh. 235-248
Snyder, T. (2020). Tentang Tirani. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.