Sistem informasi keluarga yang akuntabel dan terintegrasi telah menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan saat ini. Meningkatnya jumlah dan mobilitas penduduk, utamanya di kota-kota besar telah melampaui batas dari kewajaran normal. Implikasinya menimbulkan tidak adanya keterkendalian penduduk dalam mengakses layanan publik. Lebih dari itu, dampak yang lebih besar bisa mengarah pada titik singgung kehidupan sosial semakin tinggi, termasuk dalam hubungan keluarga.

Topik yang menjadi perhatian utama pemerintah dalam masalah penduduk dan kependudukan saat ini ialah bagaimana agar tidak terjadi salah kebijakan sehingga bonus demografi yang akan terjadi tahun 2030-2040 bukan menjadi masalah pembangunan. 

Tetapi banyak ahli yang menilai, jumlah penduduk bukan menjadi masalah utama apabila dikuti dengan pembangunan manusia baik menajamkan keahlian maupun menajamkan hati. Oleh sebab itu, sistem informasi keluarga sebaiknya bukan hanya bertujuan sebagai penyedia data dalam upaya pengendalian jumlah penduduk, tapi juga harus diarahkan sebagai informasi pendidikan dan perlindungan keluarga yang di dalamnya terdapat nilai, sikap dan apresiasi. Artinya sistem informasi sangat mungkin dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas berkeluarga.

Jika pengendalian diikuti dengan peningkatan kualitas dan akses perlindungan maka cita-cita Negara dalam memberikan kebahagiaan pada rakyatnya dapat dimulai dari membangun hubungan keluarga yang harmonis.

Banyak kajian sosial sudah menyatakan bahwa nilai, sikap dan apresiasi antar anggota keluarga merupakan sebuah kebutuhan. Sikap, nilai dan apresiasi adalah umpan balik. Umpam balik dalam kehidupan seseorang akan datang mengikuti setiap perilakunya. Seseorang akan mengevaluasi berbagai umpan balik yang diterimanya.

Jika umpan balik yang diterimanya cenderung positif maka gambaran diri yang terbentuk pun akan cenderung positif pula, sehingga ia merasa berharga, diakui sisi positif oleh kelompoknya. Sebaliknya, umpan balik yang cenderung negatif akan membentuk gambaran diri yang negatif pula pada diri seseorang, kecuali orang tersebut dapat secara positif menanggapi umpan balik yang negatif. Orang yang tidak mendapat umpan balik samasekali akan berkembang menjadi orang yang tidak punya kebanggaan tentang dirinya, tidak mempunyai orientasi hidup, dan merasa tidak berharga (Budi Andayani, buletin piskologi, 2002).

***

Wilayah perkotaan menuntut kondisi mobilitas sosial lebih banyak terjadi di luar rumah, dimana semua anggota keluarga memiliki kesibukan dan problemnya masing-masing; Ayah disibukan bekerja, ibu disibukan kegiatan sosial, bisnis atau keagamaan, anak disibukan kegiatan belajar, dan seterusnya. Apabila tidak disadari, kesibukan masing-masing tersebut bisa membuat terbatasnya interaksi. Pada tahap selanjtnya atau dalam beberapa situasi tertentu, kondisi semacam ini memungkinkan akan adanya pihak yang merasa dijadikan korban. Sehingga rentan terjadinya konfik yang mengarah pada kecemburuan bahkan sampai pada tahap kekerasan dalam keluarga.

Tidak dapat dipungkiri minimnya nilai, sikap dan apresiasi dalam hubungan berkeluarga beberapa gejalanya dapat dirasakan saat ini. Seorang anak kini cenderung enggan mau membahas topik-topik belajar pada orang tuanya, begitu juga sebaliknya yang dilakukan orang tua. Memutuskan sesuatu dilakukan sendiri-sendiri. Keluarga bukan lagi menjadi tempat diskusi ideal. Kecenderungan orang saat ini memilih “tertutup” karena menganggap anggota keluarga yang lain tidak akan mampu memberikan saran sebagaimana yang dibutuhkan. Inilah yang mendorong terjadinya konflik, baik konflik suami dengan istri, mertua dengan menantu, orangtua dengan anak, adik dengan kakak, dan seterusnya.

Dalam membangun sistem informasi keluarga yang terencana, penting menghadirkan umpan balik sebagai pemberian nilai, sikap dan apresiasi dari/dan kepada anggota keluarga. Apresiasi bukan melului terkatit prestasi, namun juga toleransi dan empati.

Cerita kecil: Air Mata Vincent 

Air mata Vincent kembali mengalir deras ketika konflik orangtuanya kembali meletus. Konflik itu menjadi kompleks ketika neneknya ikut campur membela ayahnya ditambah kedua kakaknya ikut terlibat membela ibunya. Seperti berkutub. Tapi ia tau bahwa kedua kakaknya pun sering berkonflik satu sama  lain.

Seperti anak kecil pada umumnya, Vincent yang masih duduk di kelas 4 SD membutuhkan ruang untuk berbagi. Ia butuh penilaian terkait hari-hari yang dijalankannya di sekolah. Ia juga butuh ada orang yang mau tau terkait sikap dia atas suatu permasalahan di kelompoknya. Dan ia butuh apresiasi atau pujian sebagai dukungan moril untuk menjadi lebih baik. Sementara semua anggota keluarganya menyibukan diri masing-masing untuk menghindari kondlik. Semuanya pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Mereka lebih banyak menghabiskan di kamar masing-masing.

Tidak hanya Vincent. Ayah, ibu dan kakak-kakaknya juga terjebak dalam pola yang sama. Sikap tertutup dalam keluarga adalah titik lemah dalam pembangunan keluarga. Implikasinya melahirkan apatisme dan egoism yang dapat menimbulkan tercerai berainya keluarga. Konflik akan semakin kompleks jika keluarga Vincent ternyata keluarga yang hidup jauh dari kata layak. Pelan tapi pasti Vincent akan dibesarakan dalam lingkungan keluarga yang penuh bukan hanya penuh ego dan apatis, melainkan kebencian. 

Bayangkan jika sistem keluarga yang seharusnya saling mencintai dan mengasihi berubah menjadi saling membenci. Dan bayangkan bagaimana sistem sosial kita jika hal semacam ini ada.

***

Tata kelola dalam implementasi program sistem informasi keluarga harus juga menyentuh hal-hal yang demikian. Sehingga tugas pokok dan fungsi pelaksana sistem informasi keluarga tidak melulu menyangkut pengendalian penduduk, keluarga berencana, dan seterusnya. 

Pembangunan nilai, sikap dan apresiasi dalam keluarga sangat penting menjadi bagian prioritas masuk dalam perumusan kebijakan atau program. Pemerintah harus hadir mengisi ruang hampa memberikan layanan edukasi dan perlindungan konkrit terhadap pihak-pihak yang lemah.

Hal-hal sederhana tentu bisa segera dilakukan. Dengan menggunakan sistem informasi dan teknologi kita bisa mengawalinya dengan mendistribusikan konten-konten inspirasi terkait dalam hubungan berkeluarga yang baik. Terlebih sekarang zaman menjamurnya konten kreator, seharus bisa membuat sesuatu pola edukasi yang lebih kena atau lebih tepat sasaran. Di samping pendataan yang akuntabel harus tetap dilakukan, akses perlindungan bisa mulai disosilaisasikan secara bersama-sama guna memamcu kinerja pelaksana program dan terwujudnya keluarga Indonesia yang harmonis penuh cinta.