Persamaan etnis dan budaya cenderung menciptakan relasi yang erat antarnegara. Hal tersebut sesuai dengan hubungan antara Indonesia dengan Suriname, mengingat mayoritas penduduk Suriname adalah suku Jawa yang dikirim ke Suriname pada era penjajahan.

Hubungan bilateral antara Indonesia dan Suriname sendiri mulai terjalin sejak 1951 ketika Suriname masih berada di bawah kekuasaan Belanda, meski sempat merenggang antara tahun 1958 – 1964. Hubungan antara kedua negara kembali membaik pada 1964 dengan dibukanya kembali perwakilan Indonesia di Suriname pada tingkat Konsulat Jenderal. 

Hingga kini kedua negara terus mempererat berbagai kerja sama bilateral, serta melakukan berbagai pertemuan antarwakil negara.

Kesamaan etnis antara penduduk Indonesia khususnya Suku Jawa dengan masyarakat Suriname menjadikan bidang sosial budaya sebagai salah satu potensi kerja sama yang relevan dan menjanjikan. 

Potensi tersebut direalisasikan oleh pemerintah Indonesia dengan melaksanakan program seperti kerja sama Sister City tahun 2011 – 2014 khususnya antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Distrik Commewijne dengan tujuan untuk melestarikan dan mengenalkan budaya Jawa.

Dalam program kerja sama Sister City tersebut dilaksanakan berbagai kegiatan seperti dihadirkannya delegasi kesenian Suriname dalam acara Jogja Java Carnival tahun 2011. Pameran juga digelar di Karta Pustaka Yogyakarta pada bulan Juni di tahun yang sama dengan ditampilkannya dokumentasi dan arsip-arsip Suriname dari masa ke masa.

Tak hanya di Indonesia, program Sister City juga dilaksanakan di Suriname, seperti diresmikannya Java Village di Distrik Commewijne pada bulan Oktober 2013. 

Java Village ini berupa bangunan rumah panggung dari kayu khas Jawa dengan tujuan untuk memberikan suasana daerah asal bagi masyarakat keturunan Jawa di negara tersebut. Rumah khas Jawa yang dibangun tersebut tidak hanya berupa bangunan kosong, tetapi juga diisi dengan berbagai perlengkapan seperti alat rumah tangga, alat pertanian, wayang, hingga mainan anak-anak.

Program dilanjutkan dengan dilaksanakannya pameran bernama Indofair pada September 2014 yang diikuti oleh lebih dari 30 perusahaan Suriname dan 6 perusahaan Indonesia untuk menempati tiap-tiap stand

Barang yang dipamerkan dalam acara tersebut berupa produk-produk Indonesia yang beragam seperti kerajinan, pakaian motif batik, perhiasan, furniture, makanan dan minuman, serta pertunjukan wayang dan batik fashion show.

Tak hanya Pemerintah Kota Yogyakarta, kerja sama serupa juga dilakukan oleh pemerintah Kota Bantul dengan ditandatanganinya Letter of Intent kerja sama sister city antara Bantul dengan Paramaribo Utara Pada September 2014 dalam kunjungan Bupati Bantul ke negara tersebut. 

Program-program yang diselenggarakan pun hampir sama dengan yang telah dilaksanakan oleh Pemkot Yogyakarta seperti pengenalan potensi daerah Bantul khususnya di sektor kerajinan gerabah melalui pameran. Tak hanya sebatas dikenalkan, Bupati Bantul juga mengirimkan tenaga ahli pembuat tikar dan kerajinan batok kelapa ke Suriname.

Kerja sama Sister City ini dinilai berhasil dengan banyaknya partisipasi masyarakat khususnya Distrik Commewijne dalam berbagai pertunjukan serta banyaknya produk-produk kerajinan yang terjual. 

Namun, kedua program kerja sama Sister City tersebut diketahui telah berakhir pada awal tahun 2020. Kedua negara berencana untuk melakukan revitalisasi dan mengajukan proposal rencana kerjasama lebih lanjut, tetapi belum terealisasi hingga kini.

Sebagai “saudara tua”, diketahui Indonesia dan Suriname juga sering mengadakan perayaan peringatan migrasi masyarakat Jawa ke negara tersebut. Pemerintah Suriname sendiri telah menetapkan tanggal 9 Agustus sebagai hari peringatan penduduk asli, termasuk hari dimana pertama kali masyarakat Jawa tiba sekitar 132 tahun yang lalu. 

Sedangkan di Indonesia juga diadakan peringatan serupa, meski acara terbaru berupa peringatan 130 tahun masyarakat Jawa ke Suriname pada Agustus 2020 lalu harus dilaksanakan secara terbatas akibat pandemi Covid-19.

Disisi lain, pemerintah Indonesia juga menjangkau bidang pendidikan dalam kerja sama sosial budayanya, yakni dengan membuka kesempatan bagi pelajar Suriname untuk mengikuti Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI).  Namun, dalam periode 2015 – 2019 baru terdapat tujuh pelajar Suriname yang mengikuti program tersebut.

Seperti yang kita tahu, budaya-budaya tradisional saat ini seakan telah memudar khususnya diantara generasi muda. Kerja sama sosial budaya yang telah dilakukan antara Indonesia dengan Suriname ini merupakan langkah positif, baik dalam menjaga hubungan bilateral sebagai entitas negara, maupun sebagai bentuk pelestarian budaya lokal bagi generasi penerus itu sendiri.

Namun, pada perkembangannya pelaksanaan kerja sama di bidang sosial budaya antara Indonesia dan Suriname ini kebanyakan hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa. 

Situasi ini menyebabkan jangkauan dari pengenalan budaya dan pengetahuan mengenai Suriname pun kurang menjangkau wilayah-wilayah lain di Indonesia.  Dari sisi masyarakat Suriname pun mereka hanya akan tau mengenai suku Jawa, bukan Indonesia secara keseluruhan.

Oleh karena itu, hal ini perlu menjadi evaluasi kepada pemerintah Indonesia untuk melibatkan lebih banyak etnis dalam kerja sama budaya dengan Suriname, agar memenuhi konsep hubungan bilateral sebagai entitas negara kesatuan.