Hujan adalah jeda kepada kita yang teramat sibuk. Kira-kira itu yang terlintas dalam kepala seorang laki-laki yang pandai rebahan. Ia membayangkan beberapa orang harus menepi, berdiri di samping gedung-gedung pertokoan, kios dan semua tempat yang bisa dijadikan berteduh.
Namun rupanya hujan tak sepenuhnya berkuasa atas segala jeda dan perhentian. Ia dikalahkan oleh jas-jas hujan, payung dan kenekatan beberapa orang yang tak pandai bernegosiasi dengan waktu.
Hujan adalah saat ketika kita mengetahui pandangan paling intim dari orang-orang di sekitar kita. Mereka protes kepada hujan yang menghambat segala kesibukan mereka. Tak terkecuali sepasang laki-laki dan perempuan yang begitu gusar menunggu hujan yang tak kunjung berhenti.
Seorang perempuan yang berpakaian kantoran bahkan mengeluarkan bahasa dalam bentuk mantra paling suci, memaki-maki hujan atas apa yang sedang ia alami. Ia protes karena hujan membuat dirinya terlambat ke kantor dan itu artinya ia akan mendapatkan sanksi berupa teguran bahkan sampai pada pemecatan.
Beberapa orang bahkan menyalahkan Tuhan atas hujan yang membuat mereka gagal ke kastil-kastil mereka. Mereka berujar bahwa Tuhan sendirilah yang membuat mereka gagal bersujud dan memuji-muji namanya. Di antara celotahan orang-orang yang hendak ke kastil, seseorang protes bahwa hujan membuatnya gagal mengunjungi tempat idamannya hari itu. Tak sabaran, ia memaki-maki atas nama hujan yang terjadi.
Hujan adalah saat yang terbaik untuk menghembuskan asap-asap yang telah dihisap dari sebatang sigaret. Adalah seorang laki-laki yang dengan santai menikmati sebatang rokok yang dijepit menggunakan jari tengah dan jari telunjuknya. Baginya, kenikmati itu lebih terasa ketika dicampur dengan segala protes dari orang-orang yang juga ikut berteduh karena hujan.
Ia mendengar semua protes dari orang-orang di sekitarnya. Ia menganggap bahwa celotehan tentang hujan adalah mereka yang sibuk dan yang tak memahami bagaimana semesta bekerja. Bukankah semesta menyediakan hujan, memberikan jeda atas segala kesibukan mereka untuk merenungi segala kehampaan yang tidak mereka sadari?
Dunia disibukan dengan segala hal yang kadang tidak kita pahami. Kita bekerja di bawah kontrol mereka, menghabiskan uang untuk mereka dan merasa bangga bahwa kita adalah mahkluk paling unggul. Kau tahu mereka itu siapa?
Adalah para kapitalis yang membuat kita bekerja di bawah kontrol mereka, memberi kita upah yang tak sewajarnya dan melalui iklan di berbagai media massa membawa kita pada pilihan yang absurd. Barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan seolah-olah adalah barang yang paling kita butuhkan. Dan ketika kita pada sampai pada tahap memiliki, kita sadar bahwa apa yang mereka iklankan adalah apa yang paling tidak kita butuhkan. Apa yang kita miliki adalah apa yang membuat mereka tetap kaya, kaya dan terus kaya.
Hidup memang seperti itu. Mungkin ia lebih baik dari ikan yang disimpan dalam sebuah kulkas, membeku dan siap dijadikan hidangan. Tetapi tahukah kalian, Hidup sudah seperti ikan yang disimpan beku dalam sebuah kulkas. Sama seperti celotehan orang-orang tadi, mereka tak pernah tahu arti dari hidup, arti dari hujan.
Ya… Hujan adalah tentang sebuah jeda. Hujan membuat kita berhenti pada segala rutinitas kita. Memberikan kita sedikit waktu, menarik napas dan merenunginya kembali. Ironisnya, beberapa orang mengutuk hujan dengan dalil kepentingan pribadinya.
Yang jelas, laki-laki yang menikmati sigaret tadi adalah laki-laki yang terlahir dari sepasang petani tulen. Baginya, hujan adalah cinta dari langit kepada sepasang petani. Cinta kepada sepasang petani artinya cinta kepada semua manusia yang ada di bumi.
Bukankah hutan yang menghasilkan oksigen membutuhkan air dalam bentuk hujan, sungai dan jenis lainnya? Bukankah kita adalah pengkonsumsi karbohidrat terbesar dunia dibanding binatang dan tumbuhan sendiri? Dan bukankah itu artinya kita membutuhkan hujan untuk menyuburkan karbohidrat yang kita tanam dalam bentuk padi dan jagung?
Untuk itulah hujan adalah tragedi tentang pandangan manusia. Hujan membuka realitas tentang kemanusiaan kita. Hujan adalah tragedi di antara manusia yang egois dan kepentingan untuk kesejahteraan bersama.
Segala yang telah kubaca adalah apa yang diungkapkan laki-laki penikmat sigaret tadi. Dengan emosi yang meledak-ledak, ia ungkapkan semua. Ia kecam segala hal yang tidak bisa ditangkap oleh mereka yang egois.
Meskipun laki-laki tadi terdengar seperti diktator, sepasang laki-laki dan perempuan yang berdiri di situ tetap pada pemikiran mereka bahwa hujan adalah kenangan. Perihal pandangan tentang hujan, hidup haruslah demokratis. Dan bagi mereka berdua, hujan turun menghidupkan segala ingatan dan membuat semua orang kembali tersesat dalam hal-hal yang menyenangkan.
Dibalik rasa gusar mereka ada rindu yang timbul diam-diam. Keduanya pergi pada suatu masa ketika semua nampak indah dan menyakitkan. Hujan menghadirkan suatu pengalaman yang menembus dunia kuantum. Logika adalah bentuk paling rendah dalam dunia kuantum sendiri. Dan mereka berdua bisa merasakan pengalaman indah dan menyakitkan bersama. Apa pun itu hujan adalah anugerah.
Menghidupkan kita yang telah dan akan hidup dan menghadirkan kembali ingatan akan keindahan dan segala yang menyakitkan. Yang menyakitkan adalah apa yang jarang diketahui oleh semua orang. Karena kita selalu pada usaha untuk menutupi apa yang tidak selalu membuat kita bahagia.
Yang menyakitkan adalah aku yang terbunuh. Saksi dari pembunuhan itu adalah hujan yang sederas rindu seorang Ibu kepada anaknya yang tak kunjung kembali karena dibunuh. Saksi dari pembunuhan itu adalah hujan yang sederas tangis diriku yang melihat diriku sendiri dan anakku mati dibunuh entah oleh siapa.
Perihal siapa yang membunuhku, Aku tak bisa menulisnya. Yang jelas hujan adalah saksi ketika diriku dimasukan dalam sebuah kantong plastik besar. Kantong itu tak berlumuran darah karena hujan telah membersihkan segala yang menempel di kantong itu termasuk darahku dan darah anakku. Aku tak pernah menyalahkan hujan yang tanpa sengaja menghilangkan bukti-bukti atas kematianku.
Namun satu yang kuyakini tentang hujan adalah ia telah mengalirkan darahku pada orang-orang yang peduli pada kemanusiaan, yang peduli pada cinta dan keadilan.