Biasanya ada dua alasan mengapa oposisi mengkritik program pemerintah. Pertama, kebijakan pemerintah tersebut memang layak dikoreksi. Kedua, karena kebijakan pemerintah mengancam posisinya. Alasan kedua inilah yang menyebabkan program Perhutanan Sosial dikritik oposisi.
Sebut saja Ketua Mejelis Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais. Ia mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo terkait bagi-bagi sertifikat, salah satunya untuk program Perhutanan Sosial, sebagai suatu pembohongan.
"Ini pengibulan. Waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektara, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?" kata Amien saat menjadi pembicara dalam diskusi 'Bandung Informal Meeting' yang digelar di Hotel Savoy Homman, Jalan Asia Afrika, sebagaimana yang dikutip Detik, 18 Maret 2018.
Nyatanya, program Perhutanan Sosial lebih dari sekadar bagi-bagi sertifikat lahan hutan melainkan pemberdayaan petani hutan yang selama ini terpinggirkan.
Reforma Agraria Sekaligus Revitalisasi Hutan
Pengelolaan lahan sekitar hutan sering kali menjadi konflik yang melibatkan antara pihak Perhutani, masyarakat, swasta, bahkan dengan negara. Untuk kesejahteraan rakyat, reforma agraria mesti menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah. Semangat reforma agraria ialah bagaimana lahan, termasuk hutan yang merupakan kekayaan alam Indonesia dapat diakses rakyat sehingga menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Lewat Perhutanan Sosial, reforma agraria dimunculkan. Dikutip dari laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, program nasional ini bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan dengan tiga pilar utama. Pilar tersebut adalah lahan, kesempatan usaha, dan sumber daya manusia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang saya jumpai pada awal Mei lalu mengatakan, reforma agraria yang berupa Perhutanan Sosial ini mengurangi kesenjangan pendapatan. Pendapatan petani hutan meningkat, bahkan ada yang mencapai omset miliaran rupiah.
“Sebelum pemerintahan Presiden Jokowi, 96 persen izin penggunaan kawasan hutan untuk bisnis dan usaha besar, sedangkan untuk masyarakat kecil hanya 4 persen. Tapi dengan program Perhutanan Sosial menjadi 69-71 persen untuk bisnis, sedangkan 29-31 persen untuk rakyat,” ujar Siti Nurbaya saat ditemui di kantornya.
Pemberian akses lahan kepada petani hutan ini sempat menuai kritikan karena dianggap akan menyebabkan pembalakan pohon tak terkendali. Nyatanya, hal itu justru sebaliknya. Bila mencermati Peraturan Menteri No 39 Tahun 2017, program Perhutanan Sosial justru mengembalikan fungsi hutan sebagai sumber kehidupan, baik dari segi ekologis maupun ekonomis.
Lahan hutan yang diberikan pada petani hutan hanya wilayah yang tegakannya kurang dari 10 persen. Lahan itu akan digunakan dengan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) kepada kelompok masyarakat selama 35 tahun. Lahan IPHPS dapat dimanfaatkan dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu, pemanfaatan air, energi, wisata alam, dan lain sebagainya.
Penanaman hutan untuk Program Perhutanan Sosial tak boleh sembarangan. Tanaman yang dikelola mesti tanaman berkayu sebagai bibit utama, seperti jati, sengon, petai, dan lain sebagainya. Di sela-selanya, tanaman buah atau komoditas menengah seperti kopi, teh, jeruk, dan terakhir cash crop seperti jagung, ketela, ubi, atau sayur-mayur agar petani hutan dapat menerima hasil secara cepat.
Dengan sistem ini, bayangkan, lahan hutan yang dulunya gersang karena tegakannya kurang dari 10 persen dapat kembali hijau berkat jerih payah petani. Program Presiden Jokowi ini tak hanya menyelesaikan masalah agraria, tetapi juga mengembalikan fungsi hutan tanpa mengabaikan kebutuhan rakyat.
Cikal Bakal Pusat Pertumbuhan Ekonomi
Sujiyem, petani asal Ngimbang, Palang, Tuban, kini bisa tersenyum lebar setelah mendapatkan hasil panen jagung melimpah dari program Perhutanan Sosial. Dia mengembangkan tanaman tumpangsari jagung di sela-sela tegakan pohon jati. Sekali panen, keuntungan Rp6 juta hingga Rp8 juta di depan mata. Dulunya, dia hanya buruh tani yang tak mempunyai lahan sendiri.
“Kami baru menerima SK Perhutanan Sosial bulan November 2017 lalu di Madiun. Dalam waktu lima bulan, kami sudah panen jagung. Alhamdulilah, bisa untuk kebutuhan keluarga sehari-hari,” ujar Sujiyem seperti diliput JPNN.com , Jumat, 9 Maret 2018.
Program Perhutanan Sosial yang digagas di era Presiden Jokowi tak hanya mengatasi kesenjangan, tetapi juga merangsang pusat pertumbuhan ekonomi baru. Ada tiga lingkaran pertumbuhan yang berpusat pada perhutanan sosial. Pertama, lahan perhutanan sosial itu sendiri dan petani hutan yang mendapatkan manfaat langsung.
Petani hutan yang semula tak mempunyai lahan, bahkan kadang hanya menjadi buruh tani tanpa pendapatan yang memadai, bisa mendapatkan penghasilan untuk keluarganya. Mereka bisa menyekolahkan dan memberi kebutuhan gizi bagi anak-anaknya.
Kedua adalah desa-desa yang lokasinya beririsan langsung dengan IPHPS. Desa-desa ini akan mendapatkan keuntungan dari perputaran uang dan hasil produksi perhutanan sosial. Para off-taker datang ke desanya untuk mendapatkan pasokan hasil perhutanan sosial, sehingga kebutuhan akomodasi di desa memunculkan sumber pendapatan baru, mulai dari tempat makan, tempat tinggal sementara, hingga kebutuhan lain. Hasil perhutanan sosial bisa digunakan untuk membangun infratruktur desa secara mandiri.
Roda ekonomi desa bergerak sejalan dengan berkembangnya perhutanan sosial yang ada di wilayahnya. Apalagi kalau perhutanan sosial mampu menimbulkan pusat pertumbuhan ekonomi baru setelah didirikannya industri pengolahan di desanya sendiri, seperti pabrik pengolahan kayu lapis, industri makanan, pabrik pakan ternak, atau pupuk sisa pengolahan hasil hutan.
Artinya, petani hutan tak perlu menjual produknya dalam bentuk mentah melainkan olahan. Dari sinilah kebutuhan tenaga kerja akan semakin luas, sehingga pemuda-pemuda desa tak perlu lagi ke kota untuk mencari pekerjaan dan pendapatan. Kelak, ketimpangan antara desa dan kota akan semakin mengecil.
Bantuan dari pemerintahan Presiden Jokowi bukan hanya berupa lahan perhutanan, tetapi juga menghubungkan skema pembiayaan, seperti perbankan dan investor dari perusahan negara. Pemerintah juga mendekatkan dengan off-taker atau pihak yang menerima produk perhutanan sosial, baik Badan Usaha Milik Negara maupun swasta.
Tercatat, dilansir dari Kantor Berita Antara, sejumlah perusahaan plat merah siap menyerap hasil produksi para petani hutan. Misalnya, seperti PT Perkebunan Nusantara akan menyerap tembakau dan tebu. Sedangkan Bulog akan menyerap padi dan jagung dari Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) di Probolinggo. Selain itu, Perusahaan Umum Perikanan Indonesia siap menerima tambak udang di IPHPS Muara Gembong, Bekasi.
Bila berhasil, dampak perhutanan sosial tentu akan dinikmati oleh banyak orang. Hitung saja, rata-rata petani hutan mendapatkan pinjaman lahan selama 35 tahun sekitar 1-2 hektare. Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan 12,7 juta ha sebagai lahan perhutanan sosial.
Artinya, akan ada sekitar 6-12,7 juta petani hutan yang menerima manfaat langsung. Angka tersebut belum termasuk keluarga petani atau orang-orang yang menerima efek tak langsung dari program Presiden Jokowi ini.
Tentu, masih banyak kekurangan di pelaksanaan Perhutanan Sosial, terutama terkait peningkatkan kapasitas petani hutan agar menjadi pengusaha yang kompeten dan profesional. Tantangan lain ialah mengajak perusahaan plat merah dan partikelir untuk bergabung di program Perhutanan Sosial sebagai sumber pembiayaan maupun off-taker.
Terlepas itu, masih banyak orang yang tak ingin agar Perhutanan Sosial ini berhasil. Entah karena kepentingan menguasai hutan secara sembunyi-sembunyi dari negara akan terganggu ataupun karena khawatir program ini menuai simpatik dari rakyat. Saya rasa, kritik oposisi terhadap program Perhutanan Sosial seperti yang disampaikan Ketua Mejelis Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais termasuk salah satunya.