Laki-laki yang meninggalkan perempuan di bawah pelengkungan janur kuning adalah pengundang kutukan. Langkah kakinya akan selalu berantuk batu. Napasnya akan seringkali bersedak. Kalaupun dia berdiri tegak, kepalanya tak terhitung akan membentur pelangkan pintu. Begitu, simbah-buyut, kaki-nini, memberi pagar peringatan kepada keturunan laki-lakinya agar menjaga kehormatan perempuan.
Tetapi, lelaki pengundang kutukan itu adalah aku.
Allahhuakbar… Allahhuakbar… Allahhuakbar…
Udara teluk Jawa kenyang dengan cetar takbir. Wajah-wajah sawo matang membesi. Mulut-mulut nyinyir bertakbir sangatkan semangat. Sekarang atau beberapa helaan nafas lagi, kereta jemputan Izrail berhenti di antaranya. Nyaris, tak ada peduli. Gerbang sorga telah terbuka lebar di langit beraroma mesiu, di antara keteracungan tiang-tiang kapal, di tangkup-tangkup harap akan kehormatan. Retak, lebur, lalu tenggelam dengan takbir.
Peluru-peluru cetbang berbaur dengan meriam beterbangan di langit senja teluk Jawa. Suara kepakannya bersiat-siut. Peluru-peluru cetbang menebar kepak ke bibir pantai. Bergemuruh lalu bersiut menjauh. Meski bola-bola meriam milik Paringgi jauh lebih besar ketimbang cetbang, kegentaran telah berlalu menjauh sejak kemarin lusa.
Setiap siutan bola meriam Paringgi diakhiri dengan debur ombak menggemuruh dan helaan nafas lega. Karena tak ada lambung kapal jung atau katir tersambangi. Lega, karena peluru-peluru meriam itu meleset dari sasaran. Lega, karena nackoda kami piawai dalam menggerakkan haluan kapal. Lega, karena kami di kapal ini tidak lebih dulu dijempul Izrail.
Armada kapal cetbang, kapal jung, kapal katir menempuh hujan bola meriam dari benteng-benteng Paringgi di sepanjang bibir pantai Jawa. Akankah aku akan mati sebagai perjaka?
Selepas dari pelabuhan Jepara, telingaku menangkap bincangan Ki Wulung, pemegang tongkat kiprah Gendewa Bango, dengan seorang perwira lainnya. Saudara-saudara di Jawa akan membantu, begitu yang menambat erat di telingaku.
Konon, mereka telah lama menyiapkan persenjataan juga kelengkapan. Mereka akan meledakkan gerbang benteng dan menyumbat meriam-meriam Paringgi. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang-pedagang getah damar dari Tuban, Jepara, dan terutama dari Semarang. Mereka sebelumnya telah saling berkirim pesan dengan Sinuwun Adipati Unus.
Tetapi bayangan kutukan yang kubawa dari tanah asalku menebar racun di ceruk-ceruk sembrani hati. Bagaimana jika kutukan itu tidak hanya membuatku terantuk batu dan atau tersedak nafas semata? Bagaimana jika kutukan itu membuat kapalku karam, sanak-kawanku gugur, dan aku harus tak mampu kembali ke bawah pelengkungan janur kuning?
Selepas dhuhur ketika membelah laut Karimata, kapal-kapal perang bermunculan dari arah pelabuhan-pelabuhan bumi Swarnadwipa. Kapal-kapal mereka lebih kecil, katir di kanan-kirinya membuat kapal mereka lebih lincak menukas ombak. Saudara-saudara Andalas di atasnya melambaikan tangan, semayup kami mendengar salam bersahut-sahutan.
Pengawal menara di atas tiang-tiang kapal kami membalas dengan lantang. Ketenanganku tak hanya membubung tinggi, sekarang ketenanganku terbang kesana-kemari di antara tiang-tiang kapal, di antara kembangan layar-layar, menuju Jawa.
“Selamatkan sinuwun!!”
“Cepat!! Selamatkan sinuwun!!
“Kapal sinuwun tenggelam…”
Bluarrrr….
Bluuuuaaarrrr….
Dua buah meriam Paringgi nyaris menghancurkan geladak. Hanya setengah tombak dari tepi geladak. Dua bola meriam itu mengacak-acik air laut. Kapal jung ini semakin kencang diayun-ayun. Kedatangan armada ini memang benar telah dinanti oleh orang-orang Paringgi.
“Dayung sigap!! Dayung Sigap!! Dayung sigap!!!”
“Kemudi cikar kanan….”
Bluarrrr… Jlegurrrr….
Krrreeeeekkkkkkk…….
Bruuuaaaakkkkkk….
Allahu Akbar!!!
Tubuhku terpelanting ke belakang. Punggungku membentur lantai geladak yang rengkah. Kapal jung ini tak utuh lagi. Beberapa bola meriam Paringgi melobanginya tepat di lambung dan di bawah tiang layar utama.
Asin air laut menyambar bibir. Terasa perih menusuk permukaan kulit. Terasa ada yang berat menggayut kaki kananku. Sebatang patahan tiang layar menindihnya. Astaghfirullah, sakit sekali.
“Kakang pergi sebagai abdi negara karena ini adalah tugas negara. Adinda memupuk tanah merah penuh berterima meski janur kuning telah diturunkan dari pohonnya. Pergilah, Kakang! Jangan sampai air mataku menghalangi ibadah kakang. Meski belum kuucap syahadat di bawah bimbinganmu, Kakang, aku ingin menjadi istri yang patut dibanggakan abdi negara negeri mana pun,”
Kuterima selendang merah pemberian calon mempelaiku yang ikhlas dengan berkati-kati beban di dada. Aku merasa sungguh beruntung. Bagaimana perjodohan ini para sesepuh di Takeran ini terasa begitu menghangatkan alir darah di nadi-nadi.
“Bagaimana jika kakang tidak kembali?”
“Kakang, tidak perlu memelihara khawatir. Kita akan menikah di surga, Gusti Allah yang menjadi waliku dan malaikat-malaikatlah yang menjadi saksinya,”
Kerudung putih tulangnya tertiup angin saat bibir itu mengucap. Sejenak terlibas bayang takutku pada kutukan yang akan kutempuh. Memang Gusti Allah memiliki berlaksa kisah untuk masing-masing umat-Nya. Termasuk kisah perjodohan, rejeki, juga ajal. Dalam takzimku kepada kebesaran hati calon pengantinku, aku bersyukur. Aku sangat bersyukur.
Memang dia. Tak salah lagi, memang dia. Dia berjalan di permukaan air tepi Laut Jawa, menghampiri lelaki yang akan menjadi imamnya namun mengukir kutukan di helaan nafasnya. Dibelainya dahiku yang berlumur darah. Tak ada dingin. Tak ada hangat.
Wajahnya menyunggingkan senyum, cantik. Semakin cantik. Semakin cantik. Lalu bibirnya bergerak menuntunku; “Asyhadu an-la ilaaha illallaah… Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah…”