Salah satu ingatan paling awal saya tentang menulis adalah sebuah catatan harian, atau diary. Waktu itu saya masih kelas satu atau dua SD, saya lupa persisnya. Kami baru pindah ke Bandung. Entah dari mana saya mendapat ide untuk menulis diary. Dear diary, hari ini aku…, begitu pembukaannya selalu.
Namanya anak kecil, curhatnya, ya, soal-soal “kecil”. Soal makanan yang saya suka, misalnya. Singkat-singkat lagi, satu entry cuma ada beberapa baris. Tapi ada satu topik yang saya ingat. Di waktu-waktu itu, ayah saya hampir setiap hari pulang malam sekali, kadang-kadang sampai hampir subuh. Maka di salah satu entry, saya menuliskan tentang apakah Papa hari ini akan pulang malam lagi? Kenapa beliau pulang malam melulu?
Bertahun-tahun kemudian, ketika sudah jauh lebih besar, saya baru mengetahui bahwa masa-masa itu adalah bagian dari tahun-tahun terberat dalam pernikahan orangtua saya. “Pulang malam” adalah cara Papa untuk melarikan diri dari rumah. “Pulang malam” adalah sesuatu yang tidak disukai Mama, karena Papa pernah tepergok main mahjong. Setelah belasan tahun “perang dingin”, mereka memang akhirnya bercerai.
The past is the past, surely. Kata Mama saya, kita harus hidup untuk masa depan. Tapi yang menarik adalah bagaimana otak kanak-kanak saya menangkap suatu keadaan yang bahkan belum saya sadari betul maknanya pada saat itu, lalu menuliskannya di atas kertas. Dan belasan tahun kemudian, saya mengingatnya lagi sebagai memori yang menyimpan benang merah situasi perjalanan kehidupan keluarga saya.
Menulis adalah suatu upaya untuk mengingat dan mengabadikan. Apa pun bentuknya. Disadari atau tidak. Disesali atau tidak. Biarpun itu cuma nama mantan yang ditato ke tubuh, lalu diurek-urek sembarangan setelah putus. Atau curhat di media sosial tentang hidup yang sering terasa buruk. Atau memberanikan diri menuliskan, atau minta dituliskan, pengalaman menjadi korban kekerasan. Sesuatu yang bisa menjadi begitu berat untuk diingat sendirian.
Saya lahir menjelang era 90-an. Saat peristiwa 1965, saya jadi bibit pun belum. Saat peristiwa Mei 1998, saya masih anak SD ingusan – meski kebetulan juga keturunan Tionghoa dan sedikit merasakan cipratan cekamannya. Masa hidup saya, ditambah dengan ingatan kolektif kesejarahan bangsa kita yang masih cenderung menolak untuk jujur sepenuhnya, membuat anggota generasi X seperti saya menjadi generasi yang lost.
Tumbuh dewasa dalam reformasi, menikmati reformasi, tapi tak tahu-menahu soal reformasi. Saya sedikit beruntung, karena berhasil “bergaul” dalam lingkaran pergaulan online yang menguntungkan bagi wacana sejarah alternatif.
Mulanya, saya penasaran dengan peristiwa 1965. Entah kenapa, saya merasa tak punya ingatan menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang fenomenal itu. Entah memang tak pernah betul-betul atau kesadaran saya yang menolak mengingat. Meski tentu saja, “ingatan” tentang PKI si partai setan jahanam tetap ada. Yang membuat saya penasaran awalnya sederhana saja: kenapa, sih, komunisme begitu dibenci di negara ini?
Saya memutuskan, saya tak bisa membenci atau bersimpati pada sesuatu yang tak saya pahami. Lewat pergaulan daring dan kegemaran saya membaca, saya berhasil bersinggungan dengan banyak pedagang buku alternatif, termasuk orang-orang yang menjual buku-buku “kiri” dan buku-buku tentang G30S.
Akhirnya, saya pun sedikit “tercerahkan” – jauh lebih lumayan daripada sebagian besar teman-teman saya, yang biasanya bengong saat mendengar pemaparan sejarah yang berbeda dari versi Orba. Regardless of which political ideology I am into now.
Semakin lama, semakin banyak saja yang menarik. Saya berkenalan dengan feminisme, di antaranya melalui Komnas Perempuan, yang selanjutnya menjadi salah satu passion saya. Dari feminisme, ke liberalisme dan pluralisme. Bersinggungan pula dengan reformasi seksual, HAM, dan isu gender. It’s like, in the end, everything is really connected.
Saya mulai belajar banyak hal. Tentang politisasi gender dan tubuh perempuan oleh budaya sosial politik yang patriarkis dan mendewakan agama. Tentang perjuangan perempuan dalam sengketa tanah. Tentang posisi Gerwani dalam peristiwa 1965. Tentang penghancuran tubuh perempuan sebagai suatu bentuk teror dan represi dalam berbagai pendudukan militer – Aceh, Timor Leste, Papua.
Tentang relasi kuasa dalam kekerasan seksual, termasuk KDRT dan kekerasan dalam pacaran. Tentang peristiwa Mei 1998, pemerkosaan massal yang terbukti terorganisasi namun sering disangkal, dan lahirnya Komnas Perempuan.
Mbak Neng Dara Afifah, seorang sosiolog dan mantan komisioner Komnas Perempuan yang saya kagumi, pernah berkata dengan caranya yang sangat adem bahwa dalam persoalan-persoalan perempuan, termasuk di antaranya kekerasan seksual, kaum perempuan memiliki suatu pengalaman yang khas dan tak dimiliki oleh laki-laki.
Saya memaknai kata-kata Mbak Neng itu sebagai semacam afirmasi bagi “pengalaman rasa kolektif” kaum perempuan, sebagai suatu kaum yang masih relatif termarjinalkan dalam masyarakat kita. Ada suatu perspektif yang khas dalam gerakan feminisme yang hingga sekarang masih sulit saya jelaskan pada teman-teman pria yang tidak/belum sependapat.
Sulitnya, yang namanya pengalaman rasa, sekhas apa pun, ia memang sulit ditakar dengan dinginnya ilmu matematika atau dikenai syarat double blind bagi suatu percobaan ilmu ilmiah – yang banyak dipuja mereka yang (sering mengaku) berpikiran adil. Hal ini bisa jadi kelemahan atau kelebihan, tergantung kita melihat dari mana.
Dalam kasus kekerasan dalam pacaran, misalnya. Logic says, kalau si laki-laki minta sesuatu yang elu sebagai perempuan nggak suka atau nggak bersedia, dan kemudian elu nggak menolaknya, berarti elu yang bego mau aja dikibuli laki-laki. Kan gampang, tinggal bilang “nggak”. Kan gampang, tinggal lapor polisi. Kan gampang, tinggal elu tinggalin. Dan berbagai “kan, gampang” lainnya.
Yang sering kita laporkan adalah, apakah si perempuan pada waktu itu berada dalam situasi di mana ia memiliki power untuk melakukan semua yang katanya gampang itu? Apakah ia merasa cukup powerful, bebas, aman, dan punya bekal penghargaan diri yang cukup untuk melakukannya?
Apakah dinamika hubungan mereka memungkinkan itu? Math can’t really argue about these kind of problems. Di sinilah pengalaman rasa dan perspektif perempuan mestinya dipertimbangkan.
Kembali lagi kepada menulis. Selain untuk mengingat dan mengabadikan, menulis juga bisa menjadi suatu cara untuk menceritakan kembali suatu pengalaman. Dalam suatu tulisan, selain hard facts, yang juga bisa dilakukan si penulis adalah menyajikan pengalaman batin yang menyertai fakta-fakta itu. Sesuatu yang tidak bisa betul-betul dilakukan dengan orisinalitas yang baik bila orang lain yang menceritakannya.
Dan karena itulah, menurut saya, menulis adalah suatu pekerjaan yang sangat penting bagi kaum perempuan sebagai suatu bentuk perjuangan. Lewat tulisan, perempuan bisa bahu-membahu menyajikan perspektif dan pengalaman batin kolektif mereka, menuangkannya ke dalam bentuk yang bisa dibagikan pada banyak orang.
Bukan semata-mata untuk dibenarkan. Tapi setidaknya untuk dapat dialami kembali, dipahami dengan segala keterbatasan, dan akhirnya dipertimbangkan bagi keadilan.
Keadilan, ah, keadilan. Sesuatu yang selalu dikaitkan dengan tugas-tugas hukum. Masalahnya, menurut saya – and I pray the universe make me wrong about this – hukum terlalu jamak dikaitkan dengan, well, tugas menghukum. Tugas “kuratif”, kalau memakai istilah medis. Mengobati saja, sebisanya. Perkara mencegah atau preventif kadang terlupakan. Kalaupun teringat, juga terlalu sering memakai hukuman. Kebiri sana, hukum mati sini.
Padahal tindakan preventif hakikatnya tak selalu dengan melakukan pengobatan. Pencegahan adalah perkara modifikasi dan meng-upgrade – gaya hidup, pola pikir, isi kepala. Dan untuk bisa melakukannya, kita membutuhkan pemahaman tentang “mengapa” serta “bagaimana”, bukan cuma “apakah”.
Selamat hari jadi yang keenam belas untuk Komnas Perempuan. Terima kasih atas undangan ke acara blogger gathering perdananya. Tulisan ini adalah suatu refleksi sekaligus sebagai hadiah kecil untuk kalian. Meski sengaja saya tak mem-posting tulisan ini di blog saya sendiri, supaya views-nya bisa lebih banyak, ehehe. Sebab memang sadar diri, saya tak seeksis teman-teman blogger yang lain (ups, semoga tak merasa salah undang).
Sekali lagi, terima kasih untuk kehormatan ini. Teruslah berjuang, dan teriring doa saya untuk Komnas Perempuan: semoga semesta selalu berkenan.