“Kita memiliki tugas memaknai hidup yang disebut dengan proses belajar. Namun proses tersebut tidak mudah bagi kaum perempuan karena diskrimasi, pencitraan negatif, kekerasan serta keterbelakangan lainnya, baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur namun meski begitu tetap saja harus diikhtiarkan dan diperjuangkan sampai benar-benar diyakini dan dirasakan memang belajar itu ada dan berguna.” ~ Syafiq Hasyim, Intelektual dan Aktivis Gender
Perempuan adalah penerus generasi manusia. Saya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang vital. Tanpa perempuan, tidak akan pernah ada proses reproduksi. Bahkan penelitian baru mengatakan dalam ilmu kedokteran, perempuanpun mampu dengan sendiri melakukan kloning dalam tubuhnya tanpa peran laki-laki sekalipun.
Menakjubkan, iya. Penemuan ini sebenarnya membenarkan kisah yang terdapat dalam Al-Quran yang menceritakan tentang Nabi Isa yang dilahirkan melalui rahim Maryam binti Imran.
Menakjubkan bukan? Namun eksistensi yang sentral dari peran perempuan ini tidak dengan mudah memberi kesadaran pada perempuan sendiri bahkan. Masih banyaknya ketidakadilan, kezaliman, ketimpangan dan kebobrokan yang membelenggu. Perempuan adalah sumber kehidupan. Sebab itu harus mandiri, berkualitas secara intelektual, moral dan spiritual.
Para perempuan masa kini sudah sadar penuh bahwa dirinya adalah manusia seutuhnya, bukan setengah manusia (second sex) seperti yang selama ini dikondisikan oleh budaya patriarki. Meskipun demikian, masih banyak perempuan yang takut-takut mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi diri mereka karena bayang-bayang stereotip atau mitos.[1]
Belajar adalah proses mengolah diri. Membangunkan kesadaran. Kesadaran perempuan bahwa mereka adalah makhluk yang berkualitas secara intelektual, moral, dan spiritual. Karena perempuan harus belajar. Belajar untuk menata hidupnya menjadi lebih manusiawi, lagi.
Perempuan harus menyadari bahwa sosoknya sebagai makhluk yang istimewa dijamin hak-haknya yang tertera dalam dokumen internasional, Deklarasi Universitas Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Selama ini perempuan mengalami subordinasi dan diskriminasi oleh budaya patriarki di ranah publik. Kita memang tidak dapat mengubah sejarah ketidakadilan terhadap perempuan dan menghapus memori penindasan terhadap perempuan karena peristiwa tersebut telah menyejarah.
Kartini contohnya. Coba mengingat sejenak sosok Kartini, bukan sosok dari sudut pandang domestik rumah seperti dia adalah gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa yang kemudian melahirkan lalu mati.
Bukan itu, tetapi sosok Kartini sebagai perempuan yang tangguh dan benar-benar kuat melawan cobaan samudera kehidupan. Melawan kesepian karena pingitan, melawan arus besar penjajahan dari balik dingin dan tebalnya tembok penjara para penjajah bertahun-tahun.
Tidak bisa membayangkan bukan jika terjadi di masa kini. Namun Kartini tidak sedang berkenalan dengan kata nyerah. Kartini memiliki kepekaan dan keprihatian. Kartini menulis segala perasaan yang tertekan kala itu secara besar-besaran untuk mewujudkan citanya. Untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat.
Perempuan harus belajar. Belajar dari Kartini. Yang selalu berupaya berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Berproses belajar pada kehidupan yang sesungguhnya, dengan pelajaran yang sesungguhnya untuk mencapai kesuksesan yang sesungguhnya.
Untuk itu, perempuan harus diberikan kesempatan dalam membangun peran baik dalam domestik maupun publik. Tidak lagi ada perilaku yang Jahiliyah. Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani. Karenanya pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia. Begitu Kartini mengukuhkan tekad manifest kepengarangannya.
Perempuan butuh untuk diunggah kesadarannya. Kesadaran untuk terus berbenah diri, menyadari hakikatnya kemanusiaanya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kewajiban dan hak sebagai manusia, warga negara, sebagai anggota masyarakat, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai anak perempuan, dan seterusnya.
Agar perempuan dapat mengerti, memahami dan menuntut hak-haknya yang kemudian mampu menunaikan kewajiban asasinya secara optimal. Oleh karena itu perempuan harus belajar dan belajar. Belajar memaknai hidup, belajar menata perasaan dan pikiran, belajar mandiri, belajar tentang cinta, belajar menjadi cantik, belajar mencipta damai, belajar melawan kekerasan, belajar berpolitik hingga yang terpenting membangun relasi rumah tangga yang seimbang.
[1] Ira D. Aini dan Miastri Muzakkar, “Perempuan Pembelajar: Selamat Datang di Universitas Kehidupan”, 2014, PT. Flex Media Komputindo, Jakarta