Sejak dari masa sekolah sampai perguruan tinggi,  banyak perempuan yang menjadi pemuncak dan mencapai nilai tertinggi dalam  berbagai hal.  Tetapi setelah memasuki angkatan kerja, perempuan  yang bekerja  dan yang  bisa mencapai puncak karir sebagai pimpinan bisa dihitung dengan jari. Kemana saja mereka?

Setelah menyelesaikan pendidikan sebagian besar perempuan  ingin bekerja mengaplikasikan ilmunya, punya penghasilan sendiri dan tentunya ingin membahagiakan orang tua dan keluarganya. Selesai wisuda mereka akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Perempuan single yang bekerja   akan  dapat mengembangkan diri secara optimal, bisa memilih pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.

Namun ini tidak akan berlangsung lama. Jika mereka sudah menikah, dan mempunyai anak, akan muncul masalah-masalah yang menyebabkan perempuan dilanda dilema. Perempuan yang menikah akan dihadapkan pada persoalan sulit  antara membagi waktu untuk melaksanakan tanggungjawab sebagai istri, ibu dan tanggungjawab sebagai pegawai.

Persoalan yang sering terjadi antara lain tentang pengasuhan anak, suami yang sering pindah  lokasi kerja, dan larangan dari suami untuk bekerja.

Sebagian dari mereka akhirnya dengan berat hati akan mengalah dan memilih untuk total mengurus  rumah tangga. Sebagian yang lain akan berjuang untuk menyeimbangkan fungsi sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pegawai.

Sebagai perempuan yang bekerja atau berkarir tentunya ada keinginan untuk meningkatkan diri dan mencapai puncak  karir. Untuk  bisa sampai di puncak karir  perlu didukung oleh banyak hal. Dibutuhkan kemampuan untuk bisa membagi waktu antara  pekerjaan  dengan mengurus rumah tangga. Dibutuhkan kekuatan menghadapi  tekanan dalam pekerjaan dan  rumah tangga, serta kemampuan untuk unjuk diri  berkompetisi dengan laki-laki dalam bekerja.

Dengan fungsi gandanya  perempuan  berkarir mempunyai tekanan yang lebih tinggi daripada laki-laki. Sebagai ibu rumah tangga dia punya kewajiban melayani suami dan mendidik anak. Walaupun mendidik anak juga menjadi tanggungjawab suami, tapi peran ibu dinilai  lebih besar daripada peran  bapak.

Tatanan dalam masyarakat kita sering beranggapan kalau perempuan tidak kompeten. Perempuan dinilai bekerja menggunakan perasaan,    sering tidak masuk kantor karena hamil, melahirkan dan menyusui. Laki-laki dinilai lebih cocok berperan sebagai pemimpin karena bisa berpikir lebih logis dan waktu bekerjanya juga bisa lebih maksimal. Menghadapi paradigma seperti itu perempuan  harus menunjukkan kinerja yang lebih baik.

Dulu saya pernah  bekerja di instansi yang jadwal kerjanya sangat padat.  Untuk pekerjaan tertentu bisa dilakukan berhari-hari dan sampai larut malam, rapat koordinasi ke luar daerah juga sering dilakukan. Sehingga waktu bersama suami dan anak-anak menjadi sangat   terbatas.

Banyak hal kebersamaan bersama keluarga  harus ditinggalkan  atau jadwal libur dengan keluarga yang harus ditunda karena jadwal pekerjaan yang tidak bisa ditunda.  Apalagi ada anak yang sakit saat pekerjaan sedang mendesak.

Di instansi atau perusahaan lain, ada aturan untuk bisa promosi ke jabatan yang lebih tinggi, pegawainya harus pindah dulu ke daerah lain. Betapa banyak juga akhirnya  perempuan bekerja  yang memilih untuk tidak mau dipromosikan, atau  berhenti  dari pekerjaan karena harus mendahulukan rumah tangga.

Untuk meningkatkan kapasitas diri, pegawai juga harus mengikuti pendidikan  dan pelatihan. Ini berarti mereka juga akan meninggalkan keluarga untuk beberapa hari, minggu bahkan berbulan-bulan.

Itu hanya sedikit contoh kecil yang menyebabkan perempuan menghadapi kondisi sulit saat harus memilih mendahulukan urusan rumah tangga atau pekerjaan.  

Mengurus  rumah tangga kelihatannya sederhana, tetapi membutuhkan keterampilan, tenaga dan kadang menguras emosi. Bangun tidur pekerjaan sudah menunggu dan malam baru berakhir. Perlu kekuatan fisik dan harus pandai  mengatur emosi.

Apalagi jika ada yang sakit. Mungkin pernah ada yang mendengar kata-kata, jika suami sakit istri sakit. Jika anak sakit ibu sakit. Perempuan bukan sakit dalam arti sebenarnya, tetapi  pekerjaannya akan tertunda karena harus merawat suami dan anaknya.

Dibutuhkan manajemen waktu bagi perempuan berkarir untuk membagi waktu antara urusan pekerjaan dengan urusan rumah tangga. Untuk mendukung istri bekerja perlu komunikasi dan kesepakatan pembagian tugas suami istri sehingga pekerjaan rumah tangga dapat diselesaikan. Kesetaraan gender dalam rumah tangga. Suami bisa terlibat dalam pengasuhan anak, beres-beres rumah dan pekerjaan lainnya.

Laki-laki mempunyai peran dan tanggungjawab yang sama dengan perempuan dalam mengurus rumah tangganya. Kepekaan laki-laki dalam  membantu mengurus rumah tangga sangat menentukan keberhasilan  perempuan dalam berkarir.  

Sebelum akhirnya perempuan memutuskan pilihan untuk bekerja atau tidak,  perlu mempertimbangkan banyak hal antara lain bagaimana pola pengasuhan anak, kondisi keuangan keluarga, dan pemanfaatan waktu bersama keluarga .

Dan jika pilihannya adalah  untuk  terus berkarir, perlu membuat kesepakatan  dengan suami tentang bagaimana  cara pengasuhan anak, jadwal bersama keluarga,  memaksimalkan quality time bersama keluarga serta perlu membuat skala prioritas dalam menyelesaikan tugas rumah tangga dan pekerjaan kantor.