Tepat hari ini, tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau sering kali lebih familiar disebut sebagai International Women’s Day.

Peringatan yang seharusnya tidak hanya dirayakan oleh perempuan, namun juga bersama-sama dirayakan oleh para laki-laki. Dimanapun kedua gender tersebut berada, dengan tawa yang mesra. Tanpa perlu merasa superior dan inferior bagi keduanya.

Salah satu peringatan yang paling bersejarah ini, merupakan peringatan momentual bagi manusia, baik perempuan maupun laki-laki dalam menyongsong peradaban yang lebih beradab lagi. Bagaimanapun, perempuan dan laki-laki seharusnya saling bekerja sama dalam mewujudkan itu semua.

Clara Zetkin, nama yang harus dikenang sepanjang waktu atas dedikasinya dalam perjuangannya mengangkat derajat perempuan waktu itu, dengan kekolotan orang-orang dalam dekade tersebut. Dan mari kita bertepuk tangan semeriah mungkin untuk perempuan tersebut atas keberhasilan yang kini telah dirasakan oleh para ibu-ibu selama ini.

Namun, ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang Clara Zetkin dalam mencetuskan satu hari dalam setahun sebagai hari raya perempuan sedunia.

Pada waktu itu, perempuan menjadi pekerja pabrik yang upahnya lebih rendah dari upah yang didapat oleh laki-laki, sedangkan waktu bekerja yang didapat oleh perempuan lebih lama. Saya dan anda tidak melihat keberadaan keadilan disana.

 Padahal, ketika telah berada di rumah, perempuan menjelma menjadi ibu bagi anak-anaknya, sekaligus istri yang melayani suaminya. Kesibukkan tersebut, akan dilakukan tanpa jeda dan pilihan jika kondisi ekonomi suatu keluarga tidak menentu.

Dan sudah bisa ditebak, pekerja perempuan waktu itu tidak dapat sedetikpun menikmati hidup mereka, kecuali dalam kesengsaraan yang mereka dapat ketika mendapatkan seorang suami yang miskin.

Dan perempuan pekerja yang semula merupakan gadis yang polos, akan dipaksa oleh keluarga mereka untuk menikah dengan siapapun laki-laki yang datang ke rumah mereka.

Jika terjadi penolakan, perempuan itu akan menjadi sasaran kemarahan yang berasal dari keluarga mereka sendiri, perempuan tersebut akan dianggap sebagai aib keluarga, karena tradisi patriarki menganggap perempuan yang cepat menikah adalah perempuan yang baik-baik.

Tradisi manapun di dunia pada waktu itu, yang masih sangat patriarkis sekali, akan menganggap keluarga perempuan tersebut sebagai keluarga yang terhormat, karena telah berhasil mendidik anak gadis mereka menjadi ibu dan istri meskipun harus berada dalam kesengsaraan.

Lalu bagaimana dengan perempuan kaya atau dari kalangan borjuis? Sebelumnya Anda harus paham, mereka juga perempuan, mereka hanya dianggap sebagai pelengkap.

Agak berbeda memang dengan apa yang dirasakan oleh perempuan borjuis, mereka akan menjadi ratu yang disayang oleh suaminya yang kaya, asal mereka tetap cantik dan menarik.

Akan tetapi, perempuan borjuis akan merasakan penderitaan hidup jika terdapat keriput di wajah mereka, suami mereka akan memangsa perempuan yang lebih muda, meninggalkan istri mereka yang telah rela setia dengan kesendirian.

Bukan bermaksud untuk meninggung siapapun, dengan jujur akan saya katakana bahwa perempuan borjuis waktu itu tidak lebih sekedar peliharaan bagi laki-laki borjuis.

 Dengan ideologi maskulinitas mereka yang kokoh, mereka menjadikan perempuan sebagai kesenangan semata, dengan tubuh dan paras kecantikan, dan kemudian laki-laki bajingan seperti ini akan merasa tersinggung jika istri mereka turut menyatakan kebebasan atas apa yang mereka punya.

Ironi ini dengan jelas membuat Clara Zetkin merasa geram, atas ketimpangan yang di derita oleh para perempuan. Walau dengan lantang Clara Zetkin mengatakan bahwa satu-satunya sumber yang menyebabkan ini semua ialah kapitalisme. Kapitalisme telah membuat merusak kehidupan para perempuan! Saya dan Anda harus setuju akan hal ini. Maksud saya ini adalah salah satu jalan.

Atas apa yang saya jelaskan di atas, Pramoedya Ananta Toer telah berhasil memberikan gambaran tentang situasi yang dirasakan oleh para perempuan pada waktu itu dengan bukunya yang fenomenal “Bumi Manusia.”

Dan juga apa yang dijelaskan oleh Soekarno dalam bukunya yang berjudul “Sarinah.” Laki-laki pemberani yang memengaruhi saya untuk menulis tulisan ini.

Untuk saat ini, zaman telah berubah menjadi modern, dan kapitalisme tetap bertahan, meskipun situasi yang dialami oleh perempuan untuk saat ini lebih baik daripada sebelumnya. Namun, tetap saja perempuan menjadi target utama kapitalisme

Para perempuan yang membaca tulisan saya ini, harus sadar, bahwa mereka tidak hanya melawan maskulinitas laki-laki, namun juga dengan kapitalisme yang kejam. Perempuan merupakan pihak yang paling dirugikan oleh kapitalisme.

Dengan jujur harus saya katakan, bahwa kapitalisme saat ini telah mendikte para perempuan agar senang berbelanja atau dengan kata lain ialah konsumtif. Pola hidup konsumtif perempuan, di eksploitasi secara masif oleh kapitalisme, sehingga senang berbelanja dianggap sebagai tabiat yang dimiliki oleh perempuan.

Padahal, belanja merupakan kebutuhan setiap manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Perempuan akan membeli suatu barang yang ada di depan mata mereka, walaupun barang tersebut kemudian tidak digunakan.

Hal ini merupakan strategi kapitalisme dengan menjadikan perempuan sebagai kambing hitam akan perilaku yang boros dan merugikan. Hal ini selanjutnya menjadi mindset perempuan bahwa mereka dilahirkan dengan tabiat yang boros.

Padahal, perempuan dengan ketelitiannya merupakan manajemen keuangan yang lebih baik daripada laki-laki. Saya sebagai laki-laki menyadari itu semua.

Tidak hanya itu, kapitalisme telah meracuni mindset perempuan agar mereka saat keluar rumah harus selalu tampil dengan menarik, membuat pandangan tertuju kepada mereka.

Lalu perempuan yang akalnya tidak terpakai, dengan sadar akan menarik perhatian laki-laki yang kelaminnya lapar dengan menampilkan tubuh mereka yang seharusnya terlindungi oleh pandangan yang penuh oleh nafsu.

Ketika perempuan itu telah terjebak oleh perangkap laki-laki, laki-laki bajingan seperti itu akan meninggalkan perempuan yang telah ia eksploitasi tubuhnya sebatas memenuhi nafsu semata. Perempuan itu akan ditinggalkan dengan menyisakan kesedihan dan penyesalan. Trauma seperti itu membuat perempuan sulit memercayai laki-laki lain yang tulus hatinya.

Barangkali, jika Clara Zetkin masih hidup dalam dekade ini, ia akan menampar laki-laki seperti itu yang dilahirkan oleh ibu yang kasih sayangnya suci, dan berusaha menyadarkan perempuan yang terjebak oleh kebodohannya sendiri.  

Dan Clara Zetkin akan mengajak perempuan itu berada dalam barisan akal sehat yang melawan kekolotan yang masih ada hingga kini. Dan hanya laki-laki yang pengecut, yang merasa terdesak keberadaannya oleh perempuan.

Penutup, saya hanya berusaha menjelaskan bahwa perempuan memiliki hak keadilan dengan bersama-sama melawan kapitalisme, yang selama ini telah merusak peradaban kita dengan bersembunyi dibalik topeng kebusukan, yang menawarkan kesenangan hidup, padahal itu hanyalah pembodohan yang akan merugikan kita, terutama terhadap perempuan.