"Perempuan", kata itulah yang sering digaungkan oleh kalangan feminis untuk mendefinisikan makhluk ciptaan sang maha kuasa yang diwakilkan oleh hawa (Eve) sebagai model awalnya dalam penciptaan.
Penyebutan perempuan, yang memiliki makna berbeda dari kata wanita itu, dianggap sebagai istilah yang sangat tepat untuk digunakan. Karena perempuan itu sendiri terdiri dari kata “per-empu-" dan "-an”, kata yang sama dengan “empu” , yang disematkan kepada seseorang yang dianggap sebagai sang ahli.
Yang menarik untuk dibahas sebenarnya bukan pada kata yang digunakan untuk menggambarkan sosok makhluk feminim ini, melainkan adalah kenapa yang dari dulu menuntut untuk penyamarataan kasta sosial adalah kaum hawa? Apa sebenarnya penyebab perbedaan kasta sosial ini? Dan kapan hal ini mulai terjadi?
Menjadi pertanyaan yang mendasar juga adalah tentang penciptaan perempuan itu sendiri menurut kitab suci. Banyak masyarakat dari yang awam hingga yang pakar sekalipun yang beranggapan tentang diskriminasi terhadap peran perempuan ini sudah memang ketetapan dari sang pencipta.
Perlu kita ketahui bersama, praktik diskriminasi ini bisa dikatakan sudah berumur sangat tua sekali. Kita pernah mendengar bangsa Babilonia, misalnya, sistem pernikahan mereka sudah tidak ada bedanya dengan cara pelelangan barang, dan perempuanlah yang menjadi barang yang dilelangkan itu.
Ada juga tindakan pemasungan terhadap istri yang ditinggal oleh suaminya, agar sang istri tidak ke mana-mana hingga suaminya kembali ke rumah. Ini dilakukan pada masa Romawi Kuno.
Ada juga misalnya yang sangat terkenal pada masa Arab jahiliyah, yang mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai aib, dan mempunyai nilai guna yang rendah karena tidak bisa diajak untuk berperang.
Bagaimana asal mula praktik-praktik penindasan seperti ini bermula?
Hemat penulis, sebenarnya ada salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap fenomena ini. Adanya perbedaan struktur fisiologis antara pria dan wanita menjadi faktor utama terjadinya peradaban yang menindas itu.
Sebenarnya memang sudah sebuah ketetapan penciptaan akan adanya perbedaan pada aspek fisiologis ini. Tapi perlu diperhatikan juga adanya kepercayaan yang berkembang pada masa masyarakat kuno, sehingga perbedaan ini sangat dianggap memiliki keterkaitan yang kuat terhadap mitologi yang berkembang.
Salah satunya saja menstruasi. Menstruasi yang dialami oleh perempuan hampir tiap bulannya ini memiliki makna tersendiri pada jaman dahulu kala. Dan pemaknaan tersebut bersifat negatif dan tabu.
Jika kita mendengar kata darah, yang terlintas dalam benak kita setidaknya ada dua sisi. Pertama, sebagai sumber kehidupan, namun sisi kedua juga menggambarkan sebuah pengorbanan.
Nassaruddin Umar, seorang pakar gender menjelaskan bahwa penggunaan kata menstruasi itu berasal dari bahasa Indo Eropa dari akar kata “manas, mana, atau men”, yang memiliki arti sesuatu yang berasal dari dunia gaib. Mana juga berhubungan dengan kata mens (latin), yang nantinya berkembang menjadi kata mind, moon, sehingga menstruasi sekarang sering juga disebut sebagai “datang bulan” oleh kalangan wanita
Dalam perkembangan sejarah perempuan, tidak bisa dilepaskan sama sekali dari siklus menstruasi. Karena dari menstruasilah perilaku perempuan terbentuk, mulai dari asal mula merias diri, berpakaian, cara berjalan, tidur, makan, dan lain sebagainya.
Mengapa demikian? Menurut mitologi yang berkembang dulu, darah haid dipercaya sebagai salah satu kutukan yang harus ditanggung oleh wanita, sehingga perlu adanya treatment khusus yang dilakukan untuk mencegah kutukan haid menjadi bencana alam atau musibah lainnya.
Wanita yang sedang pada fase menstruasi dipercaya membawa iblis jahat dalam dirinya, sehingga berkembanglah kepercayaan bahwa wanita perlu dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Akhirnya, dibuatlah sebuah padepokan khusus untuk pengasingan kaum wanita yang sedang menstruasi.
Wanita juga harus menggunakan pernak-pernik yang dianggap memiliki kekuatan magis, seperti tulang belulang, logam-logam, bulu binatang dan lainnya. Sehingga nantinya akan berkembang menjadi barang-barang kosmetik, seperti anting, kalung, dan perhiasan lainnya.
Belum cukup sampai di situ, wanita haid juga dilarang untuk menginjak lantai rumah, karna dianggap kotor dan membawa kesialan, dan dilarang untuk berjalan jauh, sehingga dibuatlah semacam sepatu dari besi yang memiliki ruang yang sangat sempit, sangat mirip dengan sepatu hak tinggi seperti di zaman ini.
Jika kepercayaan akan menghasilkan sebuah nilai, dan nilai yang dipahami masyarakat akan menjadi sebuah peradaban nantinya, tentu kepercayaan yang salah akan melahirkan peradaban yang salah pula. Inilah yang terjadi. Mitos-mitos yang berkembang inilah yang akhirnya membentuk sebuah peradaban yang salah pula dalam memandang posisi perempuan di masyarakat.
Kepercayaan akan adanya unsur kutukan pada aspek fisiologis perempuan ini, yang menurut hemat penulis, menjadi penyebab utama asal mula penindasan terhadap kaum perempuan. Mitologi kuno mengatakan bahwa ada sepuluh kutukan pada perempuan karena menyebabkan adam keluar dari surga.
Jika haid adalah salah satu kutukan yang sudah banyak mengubah cara hidup perempuan, bagaimana jika sepuluh? Tentunya akan menimbulkan sebuah treatment lain pula untuk mencegah kutukan lain itu menyebar, yang kebanyakan perlakuan itu bersifat menindas dan membatasi aktivitas perempuan.
Meskipun agama sudah sangat jelas meluruskan kepercayaan yang salah itu melalui kitab suci, penafsiran ayat tentang perempuan yang beraneka ragam juga menjadi persoalan baru, dan malah masih cenderung terbawa-bawa dengan kepercayaan lama. Sehingga tidak heran jika wacana untuk menuntut hak perempuan masih menjadi pembahasan hangat.
Hemat penulis, perlu adanya dekonstruksi terhadap mitologi mengenai perempuan melalui integrasi pendekatan kesejarahan, kitab suci, dan sains tentunya, yang nantinya akan merekonstruksi sudut pandang kita terhadap perempuan menjadi pemahaman yang lebih rasional dan beradab.