Adakalanya kita saling menatap hujan yang turun di langit yang sama.
Meski kita tidak sedang lagi berdua.
Bau harum kerudungmu masih membekas dalam ingatan hidungku.
Setiap kali aku bernafas, jantungku berdetak, aku selalu mengenang wajahmu yang ayu itu.
Dara yang ku kagumi keindahan paras dan lelakunya.
Kuingat ketika kita berdua sedang duduk bersama, memandang bulan yang sama.
Lalu kita sama-sama bercengkrama.
Ku dengar suaramu dengan telingaku, suara yang mampu membuat telingaku merasa nyaman mendengar kata-kata.
Kata-katamu sayangku.
Mulutmu itu, yang ketika berkata-kata, oh sungguh sempurna.
Ingin rasanya kukecup mulutmu itu sepanjang hujan, sampai basah tubuhku, dipenuhi keringat gatal.
Sekali lagi, jangan berpaling denganku.
Berjanjilah sayangku.
Akan ku derai hujan yang turun dibagian bumi manapun sebagai bukti sayangku padamu.
Ingin rasanya kuberitahu perasaanku yang sesungguhnya untukmu.
Namun, kali ini mulutku membisu.
Tak pernah aku merasakan rasa takut sedalam ini.
Sungguh jangan berpaling begitu saja seperti hujan, itu yang aku takutkan sayangku.
Bolehkah aku jujur padamu?
Bolehkah aku mencintaimu?
Bolehkah aku memilikimu?
Bolehkah aku melanjutkan hidup denganmu?
Pertanyaan itu menggebu-gebu dalam sanubariku.
Namun, lagi-lagi perasaan takut itu datang bersama rasa penasaran akan jawabmu.
Sungguh, jangan menolakku sayangku.
Hujan malam ini mengingatkanku padamu.
Akan jawaban-jawaban dari mulut cantikmu.
Lantas harus apa aku?
Orang bijak pernah berkata bahwa diam adalah emas.
Apakah jika aku berdiam diri akan mendapatkanmu?
Tentu dirimu lebih mulia dari emas, sayangku.
Dirimu daraku, sayangku.
Hujan semalaman saja mampu membuat seluruh wilayah basah.
Namun jawabanmu mampu membuat pipiku membasah.
Dan tentu, kutahan tetesan yang mampu membuat pipiku dibasahi oleh air mata, tetapi hatiku berdarah.
Telingaku tak mampu mendengarkan kata-katamu, sayangku.
Karena saat dirimu menjawabnya, kuingin menjadi tuli saja.
Ku tak sanggup mendengar kata-kata lagi seterusnya.
Sungguh, jangan berpaling sayangku.
Kupaham, bahwa di luar sana terdapat banyak lelaki yang mengejarmu, mendapatkanmu. Sama denganku.
Namun, aku juga ingin membahagiakanmu, semampuku, sampai batas umurku.
Maafkan, maafkan aku sayangku.
Jika namamu yang selalu kusebut dalam do'aku.
Izinkan aku sayangku.
Agar do'a-do'a malam yang kulantunkan segera terkabul.
Ketahuilah sayangku,selain rembulan, hujanpun menjadi saksi bisu atas do'aku yang menggebu-gebu.
Tak perlu kau tahu isi do'aku.
Tak perlu juga kau mendengar apa yang kubicarakan dengan Tuhan.
Namun, yakinlah sayangku, bahwa aku sangat serius berdo'a.
Sungguh, jangan sayangku, jangan berpaling dariku.
Hari-hari ku hadapi dengan semangat membara, karena dirimu.
Biarlah keringatku yang bau, jaketku yang lusuh, sepatuku yang penuh lumpur, menjadi saksi bisu perjuanganku.
Tentu aku mengerti bahwa hidupmu selalu dikelilingi kebahagiaan.
Maka, izinkanlah aku, menjadi salah satu kebahagiaanmu.
Jangan lirik pria itu sayangku.
Aku cemburu padanya, yang kau perhatikan sepanjang malam.
Hentikan sayangku.
Sekali lagi aku benar-benar cemburu.
Oh daun-daun itu telah dibasahi oleh hujan, begitu juga pipiku.
Oh hujan itu telah berlalu, kini tinggal pelangi yang cantik ada di depan mata.
Namun tidak denganku, pelangiku sudah melebur bersama badai.
1001 hujan yang berlalu, yang telah aku tunggu akan kehadiran pelangi sepertimu.
Namun tetap sia-sia saja waktuku.
Lantas kupahami bahwa hanya pelangi secantik dirimu yang pernah Tuhan ciptakan.
Sungguh jangan, jangan tinggalkan aku.
Aku tak yakin mampu menjalani hidup tanpamu disisiku.
Kemarilah daraku, sayangku, duduklah dipangkuanku menjelma permaisuriku.
Kini kumohon padamu.
Jadilah jantung yang memompa darah.
Menjadi lidah yang merasa.
Menjadi kita.
Saat ini, semuanya tergantung pada jawabanmu atas pertanyaan yang telah kukatakan.
Jawablah dengan senyuman manismu sayangku.
Jawablah dengan mata yang tertutup.
Biarlah kupandang wajahmu sebentar saja.
Biarlah kutatap masa depanku.
Di depanku.
Kamu.
Biarlah kita duduk berdua sepanjang malam, sampai hujan turun lalu reda dengan sendirinya.
Sampai fajar menjelang dari ufuk timur.
Waktu itu kunantikan sepanjang hidupku.
Berlama-lama memandang rembulan denganmu.
Sampai rembulan cemburu karena yang kupandangi ternyata dirimu, sayangku.
Apa perlu aku umumkan pada semua yang hidup di bumi, bahwa aku sungguh mencintaimu?
Sepertinya tidak perlu.
Karena cintaku hanya untukmu.
Sepenuh dan seutuhnya untukmu.
Tak kuizinkan untuk dibagi pada siapapun.
Dan dirimu perlu tahu itu.
Sungguh jangan, jangan tinggalkan aku sendiri disini.
Dekaplah aku dengan tubuh mungilmu itu.
Selama-lamanya sampai dirimu tahu bahwa di tubuhku dipenuhi darah yang mengalir deras, di pompa jantung, yang selalu menyebut namamu.
Pada akhirnya hujan akan terasa dingin, begitu juga aku tanpa dirimu yang menghangatkan.
Sungguh, aku bersungguh-sungguh mencintaimu sayangku.
Dan kuharap dirimu demikian padaku.
Selain mimpi-mimpi tidurku untuk seharian bersamamu.
Kuharap itu nyata.
Kuharap tidak sekedar mimpi.
Dan kuharap bukan sekedar harapan.
Apa yang sebenarnya dirimu harapkan?
Apa sama dengan harapanku?
Dan lagi-lagi kuharap sama denganku.
Mungkin agak berbeda.
Seperti aku dan kamu yang sungguh berbeda.
Lalu apa perasaan kita juga berbeda?
Kuharap untuk terakhir kalinya untuk tidak demikian.
Dan tentu, aku sungguh mencintaimu tanpa nafsu, namun aku mencintaimu dengan menggebu-gebu.
Sayangku.