Rokok sudah menjadi gaya hidup masyarakat desa dan kota. Karena rokok menjelma sebagai simbol bergaulan antar warga. Semisal ketika ronda warga selalu membawanya. Rokok juga dapat mempererat tali persaudaraan. Padahal dalam bungkus rokok tertera tulisan: “Merokok Membunuhmu”. Meski begitu, para pencandu rokok tak memperdulikan slogan itu.
Di sisi lain rokok juga kerap dijadikan simbol sebagai alat pembayaran atau uang rokok. Kata “uang rokok” sering kita dengar di lingkungan kita, ucapan tersebut terlontar ketika minta bantuan pada seorang teman untuk mengerjakan sesuatu. Sudah dipastikan, biasanya kita memberikan imbalan sambil bilang: “hanya bisa kasih uang rokok.” Watak orang Jawa memang lebih mengedepankan rasa pakewuh.
Istilah uang rokok juga merambah ke birokrasi pemerintahan. Mulai dari tingkat kelurahan hingga kecamatan. jika ada warga yang ingin membuat kartu tanda penduduk (KTP), mereka tak segan-segan menyodorkan uang pecahan, sambil berkata: "Sekadar untuk beli rokok.” Artinya, rokok tak dapat dipisahkan dari ruang lingkup masyarakat.
Perang
Genderang perang opini rokok terjadi sekitar tahun 80-an, pada konferensi dunia tentang tembakau dan kesehatan. Dalam Forum tersebut terjadi perdebatan sengit antara perusahaan rokok vs perusahaan farmasi. Akibatnya, tahun 90-an perusahaan farmasi gencar memproduksi obat anti rokok. Namun rivalnya tak mau kalah, mereka melawan dengan cara mempromosikan produknya dalam skala besar.
Melalui berbagai cara, orang-orang di lingkar komunitas kesehatan berupaya untuk memberantas pertumbuhan angka perokok. Semisal perusahaan rokok dilarang terlibat dalam event olah raga; iklan rokok di TV ditayangkan di atas jam sepuluh malam; semantara perusahaan rokok yang ingin mempromosikan produknya di media cetak, diharuskan mematuhi peraturan dari pemerintah.
Bahkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram merokok. Fatwa ini menimbulkan pro kontra di kalangan tokoh agama. Padahal industri rokok menyumbang negara triliunan rupiah per tahun. Tak heran jika pemerintah menetapkan industri rokok sebagai salah satu perusahaan yang diprioritaskan.
Menurut data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014, 18,3% pelajar Indonesia sudah punya kebiasaan merokok, dengan 33,9% berjenis kelamin laki-laki dan 2,5% perempuan. Riset GYTS 2014 tersebut dilakukan pada pelajar tingkat SLTP berusia 13-15 tahun. Dari tahun ke tahun pecandu rokok terus meningkat, bak jamur di musim penghujan yang sulit dicegah masa pertumbuhannya. Indonesia terkesan sebagai surganya perokok.
Buku
Sekarang buku dijadikan ajang perang antara anti dan pro rokok. Buku yang selama ini menjadi rujukan berbagai sumber ilmu, sekejap sirna. Pembaca seakan-akan dibuat bingung. Perang buku begitu sengit, komunitas anti rokok menerbitkan buku semisal: “Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok” (Muhammad Jaya, 2009). Buku lainnya berjudul: "Upaya Menuju Generasi Tanpa Rokok” (Umi Istiqomah, 2003) dan sebagainya.
Buku tersebut menjelaskan sebatang rokok yang dihisap mengandung 4000 senyawa kimia, 200 beracun, dan 43 lagi pemicu kanker dan berupaya mencegah generasi kecanduan rokok.
Sebab gencarnya kritik terhadap rokok, terbitlah buku tandingan. Misalnya buku berjudul, “Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek” (Abhisam DM dkk, 2011). Buku sejenisnya: "Devine Kretek Rokok Sehat” (Sutiman B. Sumitro dkk, 2012) dan sebagainya. Buku ini membeberkan industri rokok kretek lokal sebagai warisan budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Konsumsi rokok tidak menyebabkan penyakit, sebaliknya rokok bisa dijadikan obat. Bahkan buku ini menuding iklan anti rokok sarat kepentingan asing.
Dalam buku “Perempuan Bicara Kretek” karya Abmi Handayani (2012), mengutip pendapat Arief Budi Winarto dari peneliti bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dia menemukan reaktor penghasil protein growth colony stimulat ing factor (GCSF) dalam tembakau. GCSF adalah salah satu hormon yang membantu stimulant yang berfungsi memproduksi darah dan memulihkan jaringan sel yang rusak.
Buku sebagai sumber ilmu menyebar ancaman yang mencuci otak. Namun masyarakat harus pandai-pandai menyeleksi informasi. Sudah saatnya perusahaan rokok, petani tembakau, pemerhati kesehatan dan pemerintah duduk satu meja mencari jalan keluarnya. Agar masyarakat tak terombang-ambing oleh arus.
Bagaimana bila tembakau tanpa campuran yang dihisap, apakah menimbulkan efek seperti yang dikhawatirkan para pakar kesehatan atau sebaliknya menjadi penawar racun? Entahlah.