Anggapan bahwa Perempuan hanya akan menempati posisi di ruang private, seperti kasur, sumur, dapur. Sehingga anggapan itu berkonsekuensi pada tidak adanya tempat atau posisi strategis yang boleh diisi oleh Perempuan di ruang publik. 

Tugas perempuan di dunia ini seakan-akan ketika terlahir di dunia ini hanyalah untuk mengurus dapur seperti masak-memasak, sumur seperti mengurus air minum, air mandi, memandikan anak, kasur seperti membersihkan kamar, mengurus tidur anak dan bertanggung jawab untuk memuaskan hasrat suami. 

Proses agar bisa keluar dari peran domestik seperti kasur, dapur, sumur ini tidak mudah. Harus dilalui dengan berbagai perjuangan. Di satu sisi membangkitkan kesadaran baru sebagai perempuan mandiri namun di sisi lain juga memunculkan problem. Sebab untuk mendobrak suatu budaya yang sudah lama mengakar tidak semua membalikkan telapak tangan. 

Problem yang sering terjadi adalah justru malah bertambahnya beban perempuan, seperti terjadinya beban ganda. Di satu sisi perempuan punya hak bekerja di luar rumah, namun di satu sisi juga bekerja untuk keperluan rumah. Masih tabu dianggapan umum bahwa untuk mengurus keperluan rumah juga adalah beban laki-laki. Sebab itulah dikatakan perjuangan ini tidak mudah.

Tidak hanya problem beban ganda antara suami dan istri, namun juga memunculkan masalah di dalam masyarakat. Sebagian masyarakat yang berpikiran konservatif masih memandang bahwa perempuan berperan tidak pantas bekerja di ruang publik dengan dasar anggapan bahwa fitrah perempuan harusnya berada di rumah. Anggapan ini efek sejarah yang lama mengakar, di kepala masyarakat pada umumnya sudah melekat pemahaman bahwa laki-laki bertugas di luar sementara perempuan bertugas di dalam rumah. Perbedaan mindset inilah yang menjadikan munculnya polemik antara perempuan bekerja dan perempuan di rumah.

Dalam filsafat islam, menurut Ahmad Musthafa Al-Farran,[1] di dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”. Di dalam ayat itu Allah mempertegas bahwa manusia tidak ada bedanya di hadapan Allah. Baik dari jenis kelamin, asal usul serta keturunan tidak akan bisa memberikan jaminan kemuliaan. Mereka yang tinggi derajatnya adalah mereka yang memiliki ketakwaan kepada Allah SWT. Bukan yang bekerja di luar apa di dalam rumah.

Sebagai seorang hamba, perempuan dan laki-laki memiliki 5 persamaan. Hal itu diterangkan oleh Zaitunah Subhan di dalam bukunya Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran: Pertama, perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan sebagai khalifah di muka bumi ini. Kedua, perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan dalam hal janji primordial. Ketiga, Adam (laki-laki) dan Hawa (perempuan) sama terlibat dalam drama kosmis. Keempat, perempuan dan laki-laki mempunyai peluang yang sama dalam meraih prestasi, dan akan menerima hadiah atau hukuman tanpa dibedakan ketika nanti di yaumul hisab dan akhir, sama-sama berdiri sendiri sebagai hamba. Artinya, terjadinya ketimpangan antara relasi laki-laki dan perempuan bukan karena ajaran agama, namun lebih berat kepada kepada persoalan budaya.[2]

Senada dengan Ahmad Musthafa dan Zaitunah Subhan, Husein Muhammad juga turut menegaskan bahwa mereka yang beranggapan perempuan lemah dari laki-laki itu sebagai sesuatu yang kodrat adalah pemikiran yang keliru. Pemikiran tentang perempuan itu lemah, tidak perlu belajar, tidak perlu terlibat di ruang publik, mereka hanya berurusan dengan dapur, merupakan konstruksi sosial yang tidak lebih sebagai legitimasi yang dibangun oleh laki-laki sejak dulu hingga kini.[3]

Menurut Ashgar Ali, tidak semua laki-laki sama dengan yang lain. Namun, kesamaan yang dimiliki adalah mereka sama-sama sebagai spesies manusia. Sebagian laki-laki unggul dari laki-laki lainnya, sebaliknya sebagian perempuan unggul dari perempuan lainnya. Juga, sebagian laki-laki unggul dari perempuan dan sebagian perempuan unggul dari lakilaki. Adapun ruang lingkup permasalahan ini faktor-faktor insidental.[4]

Untuk menilai suatu ayat, beberapa pakar Islam kontemporer menawarkan untuk menafsirkan kembali ayat-ayat Al-Qur‟an yang selama ini ditafsirkan secara tradisional yang mendeskreditkan perempuan sebagai subordinat yang tidak punya peran di ruang publik. Ayat-ayat itu dianggap hanya perlu diamalkan secara mutlak tanpa harus dilakukan interpretasi sesuai ruang dan waktunya. Padahal, di dalam pemikiran Islam kontemporer ayat AlQur‟an perlu ditafsirkan dengan memperhatikan asbabun-nuzulnya, seperti mempertimbangkan kondisi sosial, budaya dan ekonomi di waktu ayat itu dirunkan.

Jika ditinjau pada aspek peran di ruang publik, tidak relevan bila  kita membicarakan peranan antara laki-laki dan perempuan pada aspek biologisnya, karena hal itu sudah jelas bahwa keduanya memiliki peran masing-masing sesuai dengan apa yang dikodratkan kepadanya.[5] Yang menjadi masalah adalah apabila kita mengaitkan hal-hal kodrati itu ke dalam peran sosialnya di masyarakat seolah-olah atribut biologis itu melekat juga di dalam peran perempuan sebagai warga di ruang publik. Padahal tidak, itu hanya persepsi yang menyangkut di alam bawah sadar kita.

Seperti yang dikatakan oleh Mansour Faqih[6] bahwa hakikat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sejatinya adalah setara. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan tidak seharusnya didasarkan atas jenis kelamin. Laki-laki juga bisa dan berkewajiban mengasuh anak, mencuci dan memasak, sedangkan perempuan juga bisa bekerja di luar rumah. Konstruksi kerja keduanya didasarkan atas konstruksi budaya yang berlaku di masyarakat. 

Anggapan yang keliru yang selama ini menjadi paradigma masyarakat adalah laki-laki memiliki kewenangan pada pekerjaan publik, sedangkan perempuan berada dalam pada ranah domestik. Dengan demikian, ketika membicarakan persoalan relasi kerja laki-laki dan perempuan. Mansour Faqih terang mengatakan bahwa pembagian kerja itu bukan karena perintah Tuhan, melainkan perintah budaya yang dibuat seolah-olah itu keinginan Tuhan.

Dampak dari perbedaan jender ini dapat melahirkan ketidakadilan, contohnya seperti terjadinya pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan, sebab perempuan tidak boleh bekerja sehingga uang untuk keberlangsungan hidupnya ada di tangan laki-laki. Perempuan tidak mandiri secara ekonomi. Rentan baginya dijadikan objek kekerasan karena relasi hubungannya laki-laki, satu tingkat di bawah laki-laki.

Dalam perspektif hukum islam, langgengnya budaya patriarki dan bias jender dalam penafsiran Al-Qur‟an disebabkan oleh besarnya pengaruh dominasi kaum laki-laki. Menurut Amina,[7] secara teologis, Al-Qur‟an mempunyai kebenaran absolut dan abadi. Namun, ketika ditafsirkan dan masuk ke dalam alam pikiran manusia, ia akan sesuai dengan situasi (konteks) oleh seorang penafsir yang tentu saja pasti dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan pribadinya, pengalaman serta lingkungan tempatnya belajar. Maka kebenaran penafsiran itu akan menjadi relatif. Sebenarnya, bukan teks Al-Qur‟an yang membatasi peran perempuan, namun tafsir oleh berbagai penafsir terhadap teks itulah yang selalu dimutlakkan oleh orang-orang.

Ada satu contoh hadis yang mengatakan bahwa: “Barang siapa yang menyerahkan kekuasaan (mulk) pada seorang perempuan, mereka tidak akan pernah sejahtera”. Hadis riwayat Bukhari dari Abu Bakhrah. Secara teks, kalau dicermati secara tekstual saja, kita akan melihat bahwa perempuan dilarang untuk memimpin. 

Namun, menurut Al-Ghazali,[8] hadis itu merupakan ucapan Nabi yang bersifat khusus yang ditujukan kepada ratu Persia yang ketika itu menghadapi kehancuran akibat kebobrokan sistem dalam pemerintahannya. Pada dasarnya, hadis tersebut tidak sesuai dengan fakta dan realita kehidupan modern ini, bahwa di era sekarang pun banyak negara yang jabatan publiknya dipimpin oleh seorang perempuan dan itu terbukti berhasil. Artinya, untuk melihat hadis ini, harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu, apa sebab diturunkannya hadis tersebut.

Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa: “Masing-masing kamu adalah pemimpin. Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” (HR. Ibn Abbas). Masing-masing di sini artinya secara individu, manusia punya hak untuk memimpin. Sebab kitalah nantinya yang akan mempertanggjawabkan sendiri terhadap apa yang kita pimpin. Berangkat dari situ, maka tidak ada satu konsep pun di dalam yang membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin. Sehingga perempuan juga berhak dalam mengisi ruang-ruang publik.



[1] Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsîr al-Imâm asy- Syâfi‟i, Al-Mahira, Jakarta, 2008, hlm 442.

[2] Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, Prenamedia Group, Jakarta, 2015, hlm 11.

[3] Ahmad Suedy, Pergulatan Pesantren & Demokrasi: Seri Islam dan Demokrasi,  LkiS, Yogyakarta, 2000, hlm 108.

[4] Asghar Ali Engineer, Tafsir Perempuan, Kaktus, Yogyakarta, 2018, hlm  319.  

[5] Prof. Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif al-Quran, Paramadina, Jakarta, 1999, hlm. 2

[6] Mansour Faqih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm 27.

[7]  Abdul Mustaqim, Amina Wadud: Menuju Keadilan Jender, Jendela, Yogyakarta, 2000, hlm 65. 

[8] Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW: Antara Pemahanan Tekstual dan Kontekstual, Mizan, 1993, Bandung, hlm 65-67