Tanggal 1 April 2022, mahasiswa dan masyarakat Papua serentak membuat aksi demonstrasi di berbagai kota di luar Papua dan di Papua. Aksi ini menjadi alarm bagi pemerintah dan DPR yang terus menggencarkan proyek Daerah Otonomi Baru (DOB) tanpa sosialisasi terlebih dahulu ke masyarakat.

Masyarakat Papua dengan jelas menolak hal ini karena  ke depannya akan sangat merugikan masyarakat adat yang bisa dibilang belum memiliki kualitas SDM yang dapat bersaing dengan masyarakat dari luar kota yang akan bermigrasi ke sana untuk pemerataan penduduk.

Seperti di tulisan sebelumnya yang sudah terbit beberapa hari lalu di salah satu media, penulis menjelaskan bahwa pemekaran provinsi ini hanya akan menguntungkan para pengusaha dan perusahaan. 

Jika kita melihat apa yang menjadi concern pemerintah sekarang ini bisa disimpulkan bahwa mereka hanya mementingkan pemasukan negara dari kegiatan ekstraktif dan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mereka, tanpa memikirkan bagaimana kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal di pedesaan serta masyarakat adat.

Dengan kata lain negara tidak memperhatikan mereka dan tidak peduli dalam menjaga aset penting yang dimiliki mereka.

Kita bisa melihat contoh lain seperti masyarakat desa Wadas yang sampai hari ini masih terus melawan para penguasa yang terus mengeruk habis tanah mereka, mereka menolak adanya penambangan karena dampak dari hal itu akan merusak lahan perkebunan dan menghalangi mata air yang menjadi sumber kehidupan mereka. 

Sama halnya dengan masyarakat Papua hari ini yang terus melawan ketidakadilan di tanah mereka. Dalam tuntutan-tuntutan yang di suarakan oleh masyarakat Papua, mereka dengan tegas menolak pemekaran provinsi dan pemerintah harus menarik militer dari sana.

Hal yang jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia khususnya di Malang saat ini adalah orang asli Papua merasa dijajah oleh Indonesia. Pengiriman militer yang terus dilakukan oleh pemerintah membuat masyarakat di sana sering mengalami kekerasan dan berbagai tindakan diskriminasi lainnya. 

Saya sebagai penulis bahkan heran dengan beberapa warga Indonesia khususnya malang yang sampai hari ini belum mengetahui bahwa masyarakat Papua di pegunungan merasa dijajah oleh Indonesia. 

contohnya pada aksi yang dilakukan oleh PRP pada tanggal 1 kemarin beberapa warga yang menyaksikan aksi itu dan sempat mendengar salah satu orator mengatakan bahwa “masyarakat Papua sampai hari ini dijajah oleh bangsa ini” sontak ia kaget dan menanyakan ke temannya “memang Papua lagi dijajah?”.

Hal ini merupakan salah satu peristiwa yang cukup memprihatinkan di mana peran media massa nasional harus dipertanyakan, ke mana saja kalian selama ini?

Dan juga beberapa media massa tidak pernah memberitakan suatu kejadian dari sudut pandang orang Papua, selalu saja dari sudut pandang TNI/POLRI yang sebetulnya bukan kejadian nyata di lapangan Dan juga narasi yang ditulis oleh media-media massa ini terlalu melebih-lebihkan.

Saya jadi teringat salah satu buku yang ditulis oleh Apriadi Tamburaka yang berjudul “AGENDA SETTING MEDIA MASSA”, salah satu sub bab di dalam buku itu membahas tentang sejarah praktik agenda setting dari salah satu kantor berita atau redaksi di Amerika serikat. 

Pada tahun 1896, William Rudolph mengirim salah satu ilustratornya ke Kuba untuk meliput kemungkinan pecahnya perang melawan Spanyol, namun ilustrator itu mengatakan bahwa di sana semuanya aman-aman saja tidak ada perang, William pun membalas agar dia tetap di sana dan siapkan saja gambarnya biar saya yang persiapkan perang.

Peristiwa ini disebut juga sebagai yellow journalism yang artinya dalam sebuah berita  para wartawan hanya mengumpulkan informasi terbatas di lapangan, setelah itu diberikan kepada editor  dan ia akan membesar besarkan dan mendramatisi informasi tersebut sedemikian rupa.

Dari kasus ini saya juga sempat membaca berita-berita yang pernah dikeluarkan oleh media-media nasional di Indonesia yang sangat mendramatisi kejadian-kejadian di Papua, sehingga hasil dari berita-berita itu mempengaruhi dan mengontrol apa yang harus dipikirkan oleh masyarakat Indonesia tentang Papua dan rata-rata berita ini sangat memojokkan orang Papua.

Peran media massa seharusnya memberikan informasi yang aktual serta lengkap kepada masyarakat untuk mengubah pola pikir lingkungan publik dan tentunya jika pernyataan pemerintah hari ini ditentang oleh mahasiswa dan masyarakat terkait Papua maka peran media massa harus menginvestigasi dan menyebarkannya apa yang terjadi di Papua  secara aktual dan faktual.

Agar ke depan masyarakat Indonesia tidak lagi mempertanyakan aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa Papua.

anehnya hari ini orang-orang atau yang katanya para intelektual hanya berfokus pada wacana penundaan pemilu yang sebetulnya belum bisa diperdebatkan karena belum ada penjelasan apakah hal ini akan terjadi atau hanya berupa wacana.

Dan mereka hanya membawa isu-isu yang hanya terjadi di Indonesia yang lagi tren pada saat ini. Jika melihat permasalahan yang dibawa oleh mahasiswa Papua, isu ini merupakan isu nasional dan dampaknya akan fatal terhadap masyarakat di sana.

Kembali ke topik, Jika kita melihat permasalahan ini lebih detail maka pembaca akan menemukan bahwa instrumen-instrumen yang seharusnya berada dalam negara demokrasi seperti pers dan lain-lain secara idealnya haruslah kritis dalam membuat suatu berita dan mencerdaskan pembacanya.

bukan malah mendoktrin pola pikir masyarakat agar mereka selalu memandang buruk pada golongan tertentu dan hal-hal seperti ini yang bisa membuat keadilan bagi seluruh rakyat itu tidak dapat tercapai.

Dan anehnya lagi jika kita sangkut pautkan dengan kaum yang katanya intelektual mereka hanya memperjuangkan hal-hal yang lagi viral pada saat itu, malah menutup isu yang lebih urgent dibanding penundaan pemilu yang masih dalam label wacana.

Di samping itu penulis juga pesimis terhadap media nasional sekarang yang bisa dibilang “dinakhodai” oleh para penguasa-penguasa yang memiliki kepentingan di sana. 

Sehingga berita yang muncul selalu memojokkan orang-orang Papua dan mahasiswa itu sendiri serta mereka selalu memframing bahwa mereka yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah dan mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemberontak atau yang sekarang sudah di cap oleh pemerintah yaitu teroris.

Jadi, untuk permasalahan ini saya rasa kembalikan lagi kepada setiap individu itu sendiri baik itu media massa, masyarakat dan pemerintah.

Intinya kita sebagai manusia adalah khalifah atau pemimpin didunia ini dan sebagai pemimpin kalian harus menjunjung keadilan serta jujur kepada seluruh makhluk hidup yang ada di dunia termasuk alam semesta dan sebagainya.

Jika ada ketidakadilan terjadi di muka bumi ini kalian sebagai manusia harus melawan hal itu.