Pada tingkat awal, dalam kehidupan manusia tidak ada keharusan untuk hidup mewah, bekerja, mengumpulkan harta sebanyak mungkin, lalu mati. Tapi itulah manusia, dengan segala kelebihannya yang diberikan oleh tuhan (akal), ia terus berkembang dan tidak ada yang mampu membendung perkembangan itu

Perkembangan itu telah melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru, yang pada intinya juga menjadi pemicu semakin kompleksnya kebutuhan manusia untuk hidup. maka lahirlah suatu norma-norma yang dipatuhi dan menjadi hukum yang mengikat dan memaksa, pada intinya hal itu lahir agar dapat melindungi segenap kepentingan dan keinginan yang melekat dalam dirinya

Hal itu terus berkembang, ini dapat dilihat dari tindakan manusia itu sendiri yang mencoba untuk mengakali hasil pemikiran akal mereka itu. Hukum yang awalnya diciptakan untuk melindungi kepentingan dan ketertiban umum, diubah dan dipreteli lagi atas nama pembaharuan dan kepentingan umum

Terjadinya perubahan dan pergeseran paradigma terhadap suatu objek tertentu adalah suatu keniscayaan, akan tetapi yang harus tertanam ialah perubahan itu harus menuju pada perbaikan dari setiap sistem nilai yang ada, tidak hanya sekedar berubah dan dipatuhi begitu saja

Munculnya Anomali Baru

Pengiringan opini yang selama ini dibangun untuk menangkal fakta di lapangan menjadi masalah tersendiri. Setidaknya ada tiga poin penting terkait dengan upaya legalisasi kampanye politik di dunia Pendidikan, terkhusus perguruan tinggi

Pertama, Generasi muda khususnya mahasiswa dianggap memiliki tanggung jawab moral untuk mengetahui secara langsung calon pemimpinnya. Hal ini terkesan begitu memaksa, seakan hanya dengan datang dan kampanye di kampus, generasi muda baru bisa tahu calon pemimpin dan gagasan yang ditawarkannya

Kedua, dipermanisnya opini bahwa mahasiswa dianggap kaum terdidik yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran ataupun kritikan terhadap calon pemimpinnya demi kemajuan bangsa

Ketiga, Lahirnya Kebijakan terkait dengan normalisasi kehidupan kampus dan badan koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK) yang mengkotakkan mahasiswa dalam perannya terhadap praktik politik praktis

Kondisi yang Sebenarnya

Fakta yang ada di lapangan bertolak belakang dengan pengiringan opini yang dimaksud, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan legalisasi Kampanye di kampus telah mendorong anak muda untuk terlibat langsung dalam praktik politik praktis. Hal ini dilatarbelakangi atas ketidak-mampuan pemangku kebijakan dalam membuat suatu aturan yang sesuai dengan prinsip dan norma hukum yang ada.

Kondisi ini diperparah akibat dari ketidaksiapan sumber daya manusia menghadapi perubahan dan pergeseran paradigma yang ada. Mereka sadar dan menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya adalah perbuatan yang salah dimata hukum, akan tetapi dengan sadar pula mereka mencoba untuk mencari sedikit keuntungan dibalik penggunaan kata “Pesta” demokrasi yang berkonotasi negatif

Larangan Kampanye di Kampus

Disebutkan dalam pasal 280 ayat (1) huruf H Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang pada intinya menyebutkan bahwa dalam melaksanakan kampanye, "pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan"

Penggunaan kalimat “tempat pendidikan” dalam pasal tersebut kiranya dapat kita ketahui Bersama bahwa tempat pendidikan yang dimaksud meliputi gedung, halaman, dan segala fasilitas yang ada di dalamnya, baik itu dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi

Pasal ini sudah dengan jelas dan tegas mengatur terkait dengan adanya norma larangan, sehingga dirasa terjadi kontradiktif norma dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut yang berbunyi;

“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika Peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”

Kontradiktif Isi Pasal dan Penjelasan

Setidaknya ada tiga alasan penting yang perlu mendapat perhatian khusus, kaitannya dengan apa yang diatur dalam pasal 280 ayat (1) huruf H tersebut

Pertama, penjelasan pasal hanya dapat memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma. Ini adalah ruang lingkup dasar dari apa yang seharusnya disebutkan dalam penjelasan pasal

Kedua, Penjelasan pasal tidak boleh memuat aturan/norma baru. Tidak boleh ada muatan rumusan baru yang membuat perubahan terselubung terhadap ketentuan norma yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. hal inilah yang menjadi pokok permasalahan, karena pada intinya dalam pasal tersebut melarang adanya kampanye di tempat ibadah dan tempat pendidikan

Apa yang disebutkan dalam penjelasan pasal malah sebaliknya, membolehkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. hal ini sudah jelas bahwa penjelasan pasal telah mengandung suatu norma baru, yang diperparah karena bertentang dengan norma yang disebutkan dalam pasal yang dimaksud.

Ketiga, Penjelasan Pasal tidak dapat dijadikan dasar hukum. Sampai pada titik ini sebenarnya sudah sangat jelas dan sangat mudah untuk dipahami, bahwa pelaksanaan kampanye di kampus atas dasar penjelasan pasal 280 ayat (1) huruf H tersebut adalah suatu kesesatan berpikir (fallacy) dan merupakan suatu perbuatan melawan hukum.

Dari fakta tersebut kiranya dapat kita ketahui Bersama bahwa dalam Undang-Undang Pemilu telah terjadi penyelundupan norma. Perbuatan yang pada dasarnya dilarang mencoba untuk di legalisasi dengan cara memberikan penjelasan pasal yang mengandung norma baru.

Oleh karena itu, Perlu adanya perubahan regulasi, dan sosialisasi yang baik, dengan tidak bergantung pada asas “fiksi hukum”, karena memang faktanya tidak semua orang tau hukum. dan tetap mengindahkan asas kausalitas, bahwa apa yang sekarang ini terjadi adalah akibat dari perbuatan maupun kebijakan yang diambil oleh pemerintah di zaman sebelumnya.