Terdapat banyak peristiwa penting dan menarik yang terjadi masa Kolonial Hindia. Misalnya, diskriminasi melibatkan antara anggota-anggota Angkatan Laut kebangsaan Eropa (Belanda) dan anggota-anggota kebangsaan Hindia Belanda (Indonesia).
Anggota-anggota Angkatan Laut Indonesia sering kali mendapat penghinaan, bahkan prilaku yang tidak wajar dari anggota Marine Belanda. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Perwira Belanda, Ten Kruis yang menghina Marine Indonesia dengan kalimat sebagai berikut:
"De Inlanders zijn niet geschikt om aan boord van de Hollandsche Marieschepen te werken. Ze kunnen alleen koper poetsen". Artinya: Orang-orang Indonesia tidak mampu bekerja di kapal perang Belanda. Mereka hanya bisa menggosok tembaga saja. Selain itu, dalam aktivitas sehari-hari cukup sering juga marine Bangsa Belanda menghina marine Bangsa Indonesia, dengan melontarkan kata-kata yang tidak sopan, seperti God Verdomme dan Vuile Inlander.
Aturan diskriminatif juga dirasakan pada saat pemberian makan, saat itu merine Indonesia hanya diberi lauk yang sangat sederhana berupa ikan asin. Hal ini jauh berbeda dengan apa yang diberikan kepada marine asal Belanda yang diberi menu santapan lezat berupa daging.
Selanjutnya, marine asal Belanda juga selalu diberikan tempat pakaian pada bagian atas, sedangkan Marine asal Indonesia diletakkan pada bagian bawah, dekat dengan ruang mesin yang berhawa panas.
Tidak berhenti sampai situ, diskriminasi juga dirasakan marine Indonesia dalam pembagian upah atau gaji yang diberikan oleh Angkatan Laut Hindia Belanda. Bagi Marine Indonesia, gaji yang didapatkan tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan gaji yang diterima oleh marine Belanda.
Sebagai contoh, upah kelas I yang diterima marine Belanda untuk masa bakti 10 tahun yakni berjumlah f.5,14 dalam sehari, sedangkan upah yang diterima Marine Indonesia hanya berkisar f.2 dalam sehari. Seorang kopral dari Belanda yang sudah berdinas 4 tahun mendapat upah f.5,70 sehari, sedangkan kopral dari Indonesia hanya diberikan bayaran sebesar f.1,65 sehari. Seorang sersan dari Indonesia yang sudah berdinas 6 tahun mendapatkan gaji sebesar f.2,50 sedangkan dengan masa dinas yang sama sersan dari Belanda mendapatkan gaji f.7,45 sehari.
Terakhir, seorang sersan mayor Belanda yang berdinas selama 22 tahun mendapat gaji sebesar f.12,35, sedangkan gaji yang diperoleh sersan mayor Indonesia hanya sebesar f.6,55, bahkan tidak mendekati gaji sersan Belanda yang berdinas 6 tahun.
Memasuki tahun 1929, ekonomi Hindia Belanda yang sebelumnya dinilai cukup mapan seiring penanaman modal asing, namun secara mendadak mengalami penurunan karena depersi ekonomi dunia saat itu, yang dikenal dengan “Zaman Malaise”. Hindia Belanda, saat itu merupakan negara mengekspor sangat terpukul dengan adanya peristiwa ini.
Untuk itu, sebagai usaha mempertahankan dari krisis ini, banyak perusahaan-perusahaan besar Hindia Belanda menurunkan upah, bahkan tidak sedikit memperhentikan para pekerjanya secara massal.
Selain itu, upaya serupa mulai dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam ranka menghemat anggaran, salah satunya Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pemotongan gaji pada pegawai, tak terkecuali gaji anggota Angkatan Laut.
Pada tanggal 20 Juli 1931, berdasarkan koniklijk Besluit No. 164, bahwa pemotongan gaji sudah berlangsung pada awal bulan, yakni 1 Juli 1931. Para anggota Angkatan Laut baik berasal dari Belanda maupun Indonesia harus menerima pemotongan gaji sebesar 5%. Oleh sebab itu, menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Laut Pemerintah Hindia Belanda.
Marine Belanda merespons hal ini dengan membentuk suatu panitia yang diberi nama Comite tot behartinging van de agemeene belangen van het Marine personeel beneden de rang van officier, disingkat CAMBO. Organisasi ini berjuang dalam upaya mencegah penurunan gaji dengan jalan meminta audensi kepada Menteri Pertahanan Belanda.
Meski demikian, ternyata percuma sebab pada penghujung tahun 1931, pemotongan gaji sebesar 5% kembali diberikan. Total dari keseluruhan pemotongan gaji pada Angkatan Laut, saat ini sudah 10%. Pemotongan gaji tidak hanya berlaku bagi marine asal Belanda, tetapi juga bagi marine asal Indonesia notabene gajinya jauh lebih kecil dari pada marine asal Belanda.
Keadaan ekonomi Hindia Belanda semakin parah, pada tahun 1930, berdampak pada kondisi kuangan yang buruk. Dengan demikian, terjadi potongan gaji secara besar-besaran pada awal tahun 1933. Marine Belanda mendapat pemotongan gaji sebesar 14%, sedangkan marine Indonesia dikenai potongan yang jauh lebih besar, yakni 17%. Menghadapi kenyataan seperti ini, marine asal Indonesia yang tergabung dalam organiasi Inlandsche Marine Bond (IMB), memulai mengatur siasat.
Menurut Blom dan Bouwsma, dalam tulisan yang berjudul De Zeven Provinciën: Ketika Kalasi Indonesia Berontak (1933), menjelaskan bahwa semua menginginkan aksi protes, tapi ditentang oleh para pengurus. Karena adanya ketakutan dari pengurus bahwa hal ini akan berdampak buruk, maka pada tanggal 27 Januari 1933, pemimpin marine mengeluarkan larangan segala bentuk rapat.
Sehingga, tidak memungkinkan terjadinya pertempuran dalam jumlah yang besar dan membatasi aktivitas antara marine Indonesia dan marine Belanda, ataupun kedua marine dan pengurus yang pro terhadap aksi protes.
Lebih lanjut, pada 30 Januari 1933, mereka mulai menjalankan aksi berupa pemogokan kerja, baik di kapal-kapal maupun dilembaga-lembaga marine di darat. Terhitung 40 marine dari keseluruhan 400 mendapatkan tekanan dan pringkatan pribadi.
Selain itu, pemberontakan di atas kapal De Zeven Provinciën, menurut Jendro Harto sebagai anak buah kapal menulis dalam surat kabar Bintang Minggu (9/2/1958) :
"Sebelum terjadinya pemberontakan di Kapal Tujuh, kami anak-anak buah Kapal Tujuh sering mendengarkan wejangan-wejangan Bung Karno. Dan karena itu kesadaran kebangsaan kami makan tebal akibat pengaruh pidato Bung Karno. Saya kadang-kadang ngelamun ingin seperti Bung Karno yang sangat ditakuti oleh Belanda".
Selanjutnya, Borail Harahap seorang redaktur Sinar Lautan, yang merupakan organ resmi IMB mengatakan:
"Perasaan nasionalisme di antara anggota marine bangsa Indonesia, khususnya di Surabaya ikut ditanamkan oleh cita-cita dan semangat Bung Karno dan Dr. Sutomo, lebih-lebih semenjak tahun 1932". (Wawancara dengan Borail Harahap, pada 29 Juni 1976. Dalam Anhar Gonggong, dkk. 1980: 29).
Oleh sebab itu, penyebab pemberontakan Kapal HR. MS. De Zeven Provinciën, pada 5 Februari 1933, adalah didasari bentuk diskriminasi, dan pemotongan upah, serta lahirnya kesadaran nasionalisme di antara sesama marine Bangsa Indonesia menjadi bagian penting dalam proses terjadinya pemberontakan tersebut.
Daftar Pustaka
Blom, J.C.H dan E. Touwen-Bouwsma. 2015. De Zeven Provinciën: Ketika Kalasi Indonesia Berontak (1933). Jakarta: LIPI Perss.
Gonggong, Anhar, dkk. 1980. Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Pemberontakan di Atas Kapal HR. MS. De Zeven Provinciën. Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia.