Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden terus bergulir. Wacana ini kembali mencuat pasca sejumlah Ketua Umum Partai Politik seperti PKB, Golkar dan PAN bersepakat untuk mendorong penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden dengan berbagai alasan.
PKB mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden selama satu atau dua tahun untuk menjaga momentum kebangkitan ekonomi pasca Pandemi Covid-19.
Sementara, PAN menilai kondisi perekonomian yang belum stabil, sehingga pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat perlu pulih. Dan, Golkar juga mendukung wacana tersebut dengan mengatasnamakan aspirasi dari Petani untuk perpanjangan masa jabatan Presiden.
Alasan pertumbuhan ekonomi untuk melegitimasi usulan perpanjangan masa jabatan Presiden agaknya berlebihan. Direktorat Perencanaan Makro dan Analisis Statistik, Kementerian PPN/Bappenas merilis Outlook Perekonomian Indonesia Pasca Pemilu Nasional yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020-2024 sebesar 5,3% hingga 6,5%. Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tetap fluktuatif. Tidak ada jaminan ketika Presiden menjabat lebih lama, pertumbuhan ekonomi dapat stabil.
Dalih pemulihan ekonomi akibat terpaan badai pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden juga tak dapat dibenarkan. Pandemi Covid-19 melanda hampir semua negara demokratis dengan segala dampak sosial dan ekonominya.
Namun, tak ada yang karena alasan ekonomi akibat Covid-19 kemudian menunda pelaksanaan Pemilu atau bahkan mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi Presiden.
Bahkan, Pemilu Amerika Serikat pada November 2020 lalu berlangsung di tengah Pandemi Covid-19 dan ancaman teror yang mewabah tak membuat Amerika menunda pelaksanaan Pemilu.
Contoh lain, pelaksanaan Pemilu Amerika Serikat pada tahun 2012, satu minggu sebelum pemilihan umum berlangsung badai super Sandy yang telah mengacaukan kampanye calon presiden, menghentikan pemungutan suara lebih awal di banyak daerah dan membuat banyak pihak bertanya-tanya apakah pemilu mungkin ditunda.
Sekretaris Pers Gedung Putih kemudian mengatakan bahwa pelaksanaan Pemilu Amerika Serikat tak mungkin ditunda sebab penjadwalan ulang tanggal pemilu merupakan hal yang kompleks dan akan menimbulkan kekacauan.
Menunda Pemilu sebagai bagian dari respons kebijakan terhadap krisis idealnya membutuhkan konsensus politik yang luas. Sebab, penjadwalan ulang Pemilu dan mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden terbukti memicu konflik politik dalam banyak kasus.
Wacana tersebut tidak dapat semata dipandang suka atau tidak suka terhadap rezim pemerintahan sekarang. Melainkan lebih jauh, yakni implikasi jangka panjang bagi bangunan kelembagaan maupun fatsun demokrasi kita.
Menakar Konteks Kedaruratan
Jika kita takar konteks kedaruratan yang dimaksud dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu meliputi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya – biasanya berkaitan dengan anggaran Pemilu. Bila sebagian atau seluruh wilayah Negara mengalami situasi darurat sebagaimana yang disebutkan di atas maka dilakukan Pemilu lanjutan.
Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilu yang terhenti. Artinya, konstitusi kita tidak mengenal penundaan pemilihan umum. Regulasi mewajibkan pemilihan umum harus dilakukan lima tahun sekali demi kepastian sirkulasi kekuasaan. Semangatnya tentu tidak lepas dari urgensi pembatasan kekuasaan sebagai amanah dari gerakan reformasi 1998.
Hal ini dikuatkan dalam amandemen pertama UUD 1945 sebagai jaminan bahwa Pemilu adalah satu-satunya jalan untuk menjamin pergantian kekuasaan secara demokratis.
Selain itu menyoal perpanjangan masa jabatan Presiden, konstitusi kita mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, masa jabatan Presiden ditetapkan maksimal dua periode.
Konstitusi UUD 1945 pasca amandemen pun tidak mengenal aturan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden-Wakil Presiden. Mengacu pada hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa argumentasi yang menyatakan masa jabatan Presiden-Wakil Presiden harus diperpanjang dengan alasan pertumbuhan ekonomi adalah argumentasi yang inkonstitusional.
Dampak Terhadap Demokrasi
Bila pelaksanaan Pemilu 2024 benar ditunda dan masa jabatan Presiden diperpanjang maka tidak ada dasar hukum sama sekali. Usulan penundaan Pemilu 2024 tidak dapat sembarangan dilakukan karena berkaitan dengan konstitusi. Jika syarat konstitusional dari penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden harus melalui amandemen UUD 1945 hal ini tentu akan memunculkan konsekuensi politik-hukum.
Pertama, tahapan dan tanggal Pemilu 2024 telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR pada 14 Februari 2024 mendatang. Penjadwalan ulang tahapan dan tanggal Pemilu tentu rentan memicu konflik berkepanjangan di tatanan elite akibat ketidakpastian politik.
Kedua, amandemen UUD 1945 harus dilandasi argumentasi yang objektif dan bersifat berkelanjutan. Jika, amandemen UUD 1945 dilakukan hanya untuk merespon situasi yang bersifat sementara, tentu akan berdampak pada kualitas demokrasi. Ketika amandemen UUD 1945 dilakukan dengan tergesa-gesa dan tanpa mempertimbangkan aspek di atas, akibatnya antara lain lahirnya aturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.
Wacana amandemen UUD 1945 yang digulirkan tersebut justru berpotensi menabrak fatsun politik demokrasi itu sendiri. Bahwa demokrasi tiada lain adalah membatasi kekuasaan sehingga dapat tersebar dan terdistribusi secara seimbang.
Disertasi Profesor Bill Gelfed di Universitas San Francisco de Quito, Ecuador menyebutkan bahwa alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan bagaimana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden justru berdampak negatif terhadap keberlanjutan demokrasi.
Pada dasarnya, pembatasan masa jabatan presiden dilatarbelakangi beberapa alasan normatif. Pertama, meminimalkan potensi petahana untuk memanipulasi pemilu berikutnya. Kedua, adanya tekanan yang besar bagi pemimpin untuk memberikan legasi yang positif karena dibatasi waktu.
Ketiga, seorang pemimpin, betapapun kuat dan populernya, tidak mungkin tidak ada yang bisa menggantikan. Keempat, bahwa proses regenerasi maupun peralihan kepemimpinan politik secara teratur adalah sesuatu yang niscaya dan normal.
Kaitannya dengan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan, di samping secara empiris tidak lazim, secara normatif potensial menyumbat proses sirkulasi kepemimpinan, memusatkan kekuatan dan sumber daya politik, khususnya bagi petahana yang pada gilirannya dapat menjerembapkan demokrasi dalam kubangan oligarki, bahkan otoritarianisme. Indonesia di ambang degradasi moral demokrasi.