Pernahkah Anda mendengar Kumbakarna? Jika pernah mendengar, apakah pernah mendengar juga kisahnya?

Kumbakarna merupakan adik Rahwana, Raja dari Alengka yang menculik Sinta. Ia memiliki hobi yang unik, yaitu tapa sare. Tapa sare yaitu sebuah meditasi dengan cara tidur. Tidurnya bukan tidur biasa, melainkan tidur selama enam bulan.

Setelah selesai meditasi, ia akan makan selama enam bulan juga. Jadi, ia menghabiskan waktunya hanya untuk makan dan tidur. Menurutnya, dengan tidur, ia sedikit untuk berbuat dosa. Ia juga berangan bahwa kalau semua orang menjalankan tapa sare pasti dunia akan damai.

Kumbakarna merupakan simbol kesatria yang patriotik. Ia gugur dalam medan laga pertempuran Negeri Alengka dengan Negeri Ayodya. Ia mati di tangan Laksmana Mandra, adik Sri Rama. Gugur sebagai patriot sejati. Kumbakarna yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah gugur secara tragis. Tangan dan kakinya putus.

Tidak ada kesatria Ayodya yang bisa mengimbangi kekuatan Kumbakarna. Sugriwa dan Hanoman juga tidak sanggup melawan Kumbakarna. Ia berkata kepada Laksmana bahwa ia bertempur bukan untuk mendukung kakaknya, Rahwana. Ia bukan membela angkara murka. Melainkan, ia bertempur untuk membela negerinya. Jika sebuah negeri diserang musuh, maka tanggung jawab warga adalah membelanya. Tidak peduli salah atau benar.

Meski tangan dan kakinya sudah putus, ia masih berusaha melawan pasukan Ayodya. Sri Rama dan Wibisana tidak tega melihat kondisi tersebut.  Mereka meminta Laksmana untuk membunuh Kumbakarna. Kumbakarna pun gugur. Ia dikenang sebagai simbol patriotik.

Kisah di atas tertuang pada Kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki puluhan abad silam. Kisahnya digubah menjadi beberapa bentuk dan versi seperti kakawin, puisi, wayang, bahkan sendratari. Ramayana tidak hanya bercerita tentang perjuangan Rama membebaskan Sinta yang disandera Rahwana. Banyak kisah di dalamnya yang juga penting untuk dipelajari. Isi kitab tersebut sangat populer hingga saat ini.

Apakah kitab peninggalan masa lalu hanya itu saja? Tentu tidak. Ada banyak kitab lain yang diwariskan kepada kita semua. Namun, hanya sedikit yang mau mempelajari kitab-kitab warisan leluhur.

Indonesia menjadi salah satu gudang naskah kuno. Ribuan naskah ditulis oleh leluhur dan diwariskan secara turun-temurun. Media tulisan yang sudah tua tentu sangat menyulitkan untuk dibaca. Untuk itu, perlu upaya untuk mencari, menghimpun, mempelajari, dan mengkaji naskah-naskah tersebut. Sebagian sudah diselamatkan dan diarsipkan. Sebagian sisanya ada yang rusak, hilang, dan ada juga yang belum terlacak.

Minat masyarakat terhadap kajian filologi sangat sedikit. Hal itu karena filologi dianggap tidak menarik dan tidak menguntungkan. Filologi dianggap tidak menarik karena hanya berjibaku dengan naskah kuno dan tidak menghasilkan temuan yang dibutuhkan banyak orang. 

Filologi dianggap tidak menguntungkan karena banyak menyita waktu sementara hampir tidak ada dukungan biaya dari pemerintah. Padahal, jika ditekuni, filologi tidak kalah menarik dengan ilmu lain.

Nenek moyang orang Indonesia pada ribuan tahun sebelum masehi dapat membuat bangunan megah yang masih kokoh. Bangunan itu kini dikenal dengan Situs Gunung. Tidak berarti yang kuno itu pasti ketinggalan zaman. Tidak sedikit yang malah melampaui pemikiran zaman setelahnya. Jika bangunan tersebut tidak dirancang dengan ilmu arsitektur yang baik, tentu sudah hancur sejak dulu.

Artinya, ada sebuah gambar rancangan sebelum bangunan tersebut dibuat berikut spesifikasinya. Coretan tersebut mengandung ilmu arsitektur yang perlu dicari dan dipelajari. Era modern ini membutuhkan ilmu arsitektur yang dapat membuat bangunan yang tahan gempa dan bencana alam lainnya.

Leluhur bangsa Indonesia bukan generasi kaleng-kaleng. Mereka menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan. Mulai dari bidang resep masakan, pengobatan, astronomi, arsitektur, sastra, perdagangan, dan sebagainya. Ilmu tersebut diwariskan melalui lisan dan tulisan secara turun-temurun. Untuk itu, kita harus serius mempelajari ilmu tersebut melalui kajian filologi.

Mengkaji naskah kuno harus dimulai dari niat. Hal itu sebagai upaya untuk membangkitkan rasa cinta untuk meneliti. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan cinta tentu akan ikhlas mengerjakannya.

Perguruan tinggi perlu pengajarkan kajian filologi. Filologi identik dengan sastra. Untuk itu, penting memasukkan mata kuliah tersebut ke dalam kurikulum sastra. Ada banyak naskah yang harus dicari dan diteliti. Penelitian tersebut tentunya melibatkan dosen dan mahasiswa.

Pemerintah perlu berperan serta dalam pendanaan penelitian filologi. Hal itu karena mendatangkan banyak manfaat bagi negara. Naskah kuno tentu menjadi benda cagar budaya. Membaca naskah kuno dan menerjemahkan ke dalam tulisan yang bisa dibaca oleh banyak orang juga menjadi aset negara. Pendanaan berupa biaya penelitian dan biaya hidup peneliti. 

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan apresiasi kepada pemilik naskah. Warisan naskah dari leluhur tidak gratis. Pemerintah perlu membayar ganti rugi naslah tersebut apabila akan disimpan sebagai arsip nasional.

Tanpa adanya peran serta dari pemerintah, filologi akan tetap lesu peminatnya. Bahkan bisa juga ditinggalkan oleh penerusnya. Tentu anggapan tidak menarik dan tidak menguntungkan akan semakin kuat. Sudah saatnya kajian filologi digaungkan. Ada banyak ilmu pengetahuan masa lalu yang bisa diadopsi dan dikembangkan untuk diterapkan saat ini.