Alih-alih meminta maaf, ia justru memohon bantuan kepada LBH GP Ansor.

Saya jadi bertanya-tanya, mengapa nggak memintanya ke Munarman, panglima FPI itu? Tampaknya kepiawaian mengobok-ngobok Joshua semakin matang.

Sebelum lebih lanjut membahas Joshua, kita mencoba kembali mengingat bagaimana negara kita berubah menjadi agak sensitif.

2016 silam, suhu politik Indonesia meningkat drastis, terlebih setelah jutaan manusia atas nama agama tumpah ruah dengan pakaian serba putih di Monas. Mei 2017, temperatur makin meninggi dengan Aksi Lilin yang digelar di beberapa kota pasca Ahok divonis bersalah.

Pertengahan 2017, Pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan tudingan anti Pancasila.

Tendensi politik dan agama rupanya belum berakhir. Para pelawak pun tidak luput dari polemik ini. Dan dimulailah kasus Joshua.

Oktober 2017, Majelis Lucu Indonesia (MLI) mengunggah vidio stand up comedy di YouTube. Dalam video itu, Joshua tampil me-roasting Cherly, mantan member girl band Cherrybelle. Saya menikmati lawakan ini tanpa memikirkan kisruh politik dan agama.

Bisa dibilang, saya tipikal penonton garis imut. Sudah menanti vidoo MLI sejak kemarin dan siap tertawa terguling-guling.

Tiga bulan setelah video MLI beredar di jagat maya, giliran hidup Joshua yang di-roasting oleh Forum Umat Islam Bersatu (FUIB). Ia dilaporkan ke polisi lantaran materi stand up-nya dinilai melecehkan umat Islam.

Seni Menertawakan Hidup

Kalau kita melihat sepuluh tahun belakangan ini, stand up comedy memang tengah mewabah di Indonesia. Banyak orang, terutama yang belum terlalu tua, berduyun-duyun mendalami lawakan tunggal dan berebut mengikuti kompetisinya.

Beberapa pentolan yang sudah ditelurkan kerap hadir menghiasi layar TV, layar lebar, maupun layar smartphone.

Materi stand up comedy, selain menghibur, juga mencerahkan. Sebut saja Arie Kriting dan Abdur. Aksi panggung keduanya selalu sukses membuat perut penonton terkocok. Materi mereka mendulang pujian. Dinilai mencerdaskan karena mampu mengeksplor problematika yang dialami oleh masyarakat, khususnya yang berada di kawasan Indonesia Timur, secara kritis dan penuh kelakar.

Panggung stand up dijadikan bak aspal jalanan. Mikrofon bagai megafon. Keduanya dianggap sebagai media menyuarakan ketimpangan pembangunan, kesenjangan ekonomi, dan ketidakberimbangan kesejahteraan. “Seni menertawakan hidup”, mungkin begini istilah yang tepat.

Komedi adalah seni, kata Raditya Dika. Bisa dipelajari. Struktur materinya tidak terlalu sulit. Paling sederhana adalah membangun ekspektasi (setup) dan mematahkan ekspektasi tersebut (punchline).

Ide materi dimulai dengan mengusung hal-hal yang menggalaukan. Peristiwa di lingkungan sekitar yang kita endus setiap hari adalah bahan lawakan yang tepat. Mulai dari anak minta susu, suami minta kawin, hingga papa minta saham, adalah sederet rempah yang bisa diracik menjadi santapan istimewa.

Materi stand up Joshua sebetulnya tidak jauh dari problematika kehidupan kita. Dalam hal ini, ia memotret kondisi kepopuleran Cherly yang kalah terkenal dari kawan se-grupnya, Anisa. Ia bertanya-tanya, mengapa Anisa lebih tersohor?

“Anisa, Anisa, Anisa, ya, kan? Semuanya Anisa. Padahal skill nyanyi tipis-tipis, nge-dance tipis-tipis, cantik relatif, ya, kan? Gue mikir kenapa Anisa selalu unggul dari cherly. Ah, sekarang gue ketemu jawabannya. Makanya Che, Islam,” ujar Joshua yang langsung disambut gemuruh tawa para penonton.

“Karena di Indonesia ini ada satu hal yang tidak bisa dikalahkan dengan bakat sebesar apapun: mayoritas, mayoritas,” tandasnya lagi.

Penguakan realitas yang dikemukakan Joshua mirip yang sering kita lakukan. Membaca kenyataan kemudian menafsirkan sesuai pemahaman dan keyakinan masing-masing.

Joshua merasa ada yang sulit terkalahkan di negeri ini, yaitu mayoritas. Jumlah adalah tolok ukurnya. Semakin besar angkanya, semakin sulit tertandingi.

Secara statistik, Indonesia adalah negara dengan pemeluk Islam terbanyak. Dilansir dari republika.co.id, The Pew Forum on Religion & Public Life pada 2010 menyatakan populasi muslim di negara kita mencapai 88,1 persen. Jumlah ini adalah yang teresar dibanding negara lain. Persentasenya mencapai 12,7 persen dari populasi dunia.

Joshua lalu berkesimpulan, sudah sewajarnya Anisa lebih digandrungi oleh “mayoritas” karena beliau adalah muslimah.

Secara pribadi, saya tidak tersinggung dengan materi Joshua. Mungkin karena pemahaman agama saya yang kurang atau saya yang terlena dengan dunia fana penuh sandiwara ini, yang entah siapa berperan antagonis dalam cerita.

Kalau saya ikut-ikutan mencemooh, saya bisa dituduh “sumbu pendek” dan dikategorikan dalam barisan bumi datar. Suatu kategorisasi yang sulit dicerna.

Saya kira, apa yang dipaparkan Joshua perlu disingkap lebih dalam. Sebab, tidak semua alasan menyukai didasari kesamaan ras, suku, atau agama. Saya muslim, dan sejak dulu saya termasuk pengonsumsi karya-karya agama lain.

Mengakhiri Kenangan

Saya melalui masa kecil dengan mengagumi sosok imut Joshua. Kekaguman ini tumbuh karena karyanya. Belum pernah terbesit dalam hati untuk membenci dengan dalih agama.

Beranjak SMP, Gita Gutawa mengisi relung hati. Sekalipun ia beragama Islam, saya menyukainya tanpa memperhatikan agama yang dianutnya. Saya tulus terpesona dengan suaranya dan tentu saja parasnya.

Bintang lain yang saya favoritkan adalah Judika. Lagu-lagu yang ia dendangkan menarik perhatian.

Dalam bidang olahraga, ada Ronaldo Brazil. Kelihaiannya mengaduk-ngaduk bola meninggalkan kesan tersendiri bagi para penggemarnya, termasuk saya.

Kalaulah alasan mengidolakan seseorang karena agama, berarti hubungan kita cukup sampai di sini, Joshua. Saya harus membakar kenangan masa kecil itu dan membuang abunya dalam tong sampah yang penuh kedengkian.