Menjelang akhir masa jabatan periode 2014-2019, anggota DPR terkesan buru-buru mengesahkan beberapa Undang-Undang janggal. Syarat mutlak pengesahan Undang-Undang bukan lagi harus masuk kategori prolegnas prioritas. Bahkan tanpa keadaan darurat atau kegentingan negara yang akan buyar sekalipun, ketuk palu DPR akan tetap dibunyikan jika dirasa mengancam keberlangsungan hidup para penghuninya. 

DPR bukan lagi penampung aspirasi rakyat, bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat, lebih tepatnya Dewan Pengkhianat Rakyat, Dewan Penipu Rakyat, atau Dewan Penindas Rakyat? 

Tidak ada gunanya lagi DPR berdiri jika tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Janji demokrasi di mana kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat telah mati, mengiringi kematian bapak demokrasi BJ Habibie.

Apakah negeri tercinta sedang kekurangan lelucon? Sampai-sampai kaum intelektual, para elite politik DPR dan pemerintah beserta jajarannya yang buat bahan? Tanpa berbelit-belit, tanpa melibatkan subjek yang berkepentingan. 

Di antara alur revisi UU KPK disahkan dalam sekejap sebagai berikut: tertanggal 3 September, rapat perdana Badan Legislatif untuk sepakat bahas revisi UU KPK, dilanjutkan pada tanggal 5 September rapat paripurna sahkan revisi UU KPK jadi inisiatif DPR, 10 fraksi di antaranya setuju dan dihadiri oleh 70 dari 560 anggota dengan durasi rapat kurang dari 20 menit. 

Pada tanggal 9 September, Presiden Jokowi beserta Menkumham Yasonna Laoly bahas revisi UU KPK di istana, dilanjutkan pada tanggal 11 September Presiden Jokowi mengumumkan telah menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) draf revisi UU KPK dan mengirimkan surat presiden (surpres) ke DPR.

Perjuangan revisi UU KPK masih berlanjut. Pada tanggal 12 September, badan legislatif DPR dan Mendagri menggelar rapat untuk membentuk panitia kerja. Besoknya, 13 September, rapat tertutup panitia kerja DPR bersama pemerintah selama kurang lebih 3,5 jam. Rapat tertutup dilanjutkan pada tanggal 16 September, dihadiri juga oleh Menpan-RB Syafruddin. 

Terakhir, pada tanggal 17 September, rapat paripurna sahkan revisi UU KPK. Fahri Hamzah menyatakan 289 anggota DPR tercatat hadir. Akan tetapi, berdasar pada hitungan manual, hanya 102 anggota yang hadir. Ketuk palu DPR membuat KPK layu. Secepat kilat DPR-pemerintah membahas revisi UU KPK sampai sah menjadi Undang-Undang.

Cara DPR mengesahkan berbagai UU di masa akhir jabatan ini sebenarnya hanya pola lama yang berulang dan terjadi di tiap periode. Mereka kerap terlihat malas-malasan di masa awal hingga pertengahan menjabat, namun terkesan sibuk di akhir masa jabatan. 

Tidak menampik kemungkinan terdapat berbagai kepentingan di balik sikap oligarki para anggota dewan ini, apalagi sikap DPR yang ngebet banget mengesahkan UU di masa injury time. Pembahasan revisi UU KPK semata dilakukan demi kepentingan penghuni Senayan sendiri mengingat banyak anggota DPR yang lima tahun terakhir diciduk KPK. 

Dugaan pengesahan revisi UU ini untuk membatasi kewenangan KPK dalam mengusut sejumlah kasus besar yang belum rampung. Tidak lupa mereka yang memiliki sikap koruptif berhubungan erat dengan mereka yang menjalankan kekuasaan.

Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 254 anggota dan mantan anggota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi selama periode 2014-2019, 22 di antaranya adalah anggota DPR RI. 

Terlihat sikap tersebut tak lepas dari momentum bagi DPR. Salah satunya untuk melakukan apa yang disebut dengan balas dendam politik terhadap KPK. 

Padahal sejak lama pembahasan revisi UU KPK ini mendapat penolakan. Namun di masa akhir kali ini, semua fraksi di DPR menyepakati pembahasan belied tersebut. Sementara sejumlah RUU yang ditunggu publik seperti RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual nasibnya justru dibiarkan menggantung.

Dari mulai pasal 46 penetapan tersangka oleh KPK berdasarkan ketentuan hukum pidana di mana korupsi bukan lagi EXTRAORDINARY CRIME. Dilanjutkan pasal 1 KPK menjadi lembaga pemerintah dengan pegawai yang berstatus sebagai ASN. Hal ini tentu akan mengancam independensi KPK. 

Pasal 37 yang berpotensi adanya konflik kepentingan, Dewan Pengawas KPK diangkat dan ditetapkan oleh Presiden RI dengan kewenangan di antaranya memperpanjang birokrasi, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan lewat izin Dewan Pengawas. 

Pasal 45 penyidik KPK hanya boleh dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik PNS. Hal ini juga pasti memicu kepentingan karena penyidik KPK tidak lagi independen.

Pasal 40 KPK berwenang menerbitkan SP3 (penghentian perkara) untuk kasus yang tidak selesai dalam waktu 2 tahun. KPK akan sulit mengungkap kasus korupsi yang kompleks dan butuh waktu lama dan mirisnya perkara yang saat ini sedang berjalan bisa berhenti seperti KTP-EL, BLBI, Bank Century, dan lain sebagainya. 

Terakhir, pasal 29 yang membatasi pemimpin KPK harus berusia minimal 50 tahun, menutup peluang kaum muda menjadi pimpinan KPK.

Pengesahan revisi UU KPK tersebut sebenarnya masih bisa dibatalkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Akan tetapi, Presiden Joko Widodo sendiri sudah memastikan tidak akan menerbitkan Perppu terkait revisi UU KPK yang sudah disahkan DPR pekan lalu. Presiden masih bisa menggagalkan pengesahan revisi UU KPK jika benar punya semangat memperkuat KPK. 

Anggapan bahwa revisi UU KPK tersebut cacat formil karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan tidak juga masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas DPR tahun 2019 ditampik keras oleh pernyataan Menkumham Yasonna Laoly.

Melalui berbagai rangkaian sandiwara tersebut, tampak bahwa para penghuni Senayan tidak ingin berakhir sendirian tidak ingin mati sendirian. Pengesahan revisi UU KPK menjadi salah satu cara yang dipilih. 

Setidaknya melalui pengesahan UU KPK atau secara halus membunuh kebebasan KPK sebagai lembaga independen dapat menutupi bangkai agar tidak mudah tercium dan tersebar baunya. Mungkin para penghuni Senayan sedang lupa rakyat pasti akan memihak siapa.