Untuk Anda yang menyukai film bertema kriminalitas dan hukum, ada salah satu drama Korea keren banget yang perlu ditonton, yaitu Juvenile Justice yang mengambil tema kriminalitas dan hukum.
Namun, di film ini para pelaku kriminalitas yang ditampilkan adalah para kriminal di bawah umur. Para pelaku kriminal anak hingga remaja di bawah umur dibawa ke pengadilan anak dan kasus mereka diusut dengan perspektif yang menarik.
Drama Korea ini disutradarai oleh Hong Jong-chan. Beberapa drama lain yang distrudarainya adalah Her Private Life (2019), Life (2018), The Most Beautiful Goodbye (2017), Dear My Friend (2016). Penulis naskahnya adalah, Kim Min Seok.
Drama Korea Juvenile Justice mengisahkan tentang seorang hakim yang betugas di pengadilan anak. Tidak banyak hakim yang bertugas di sana. Hakim perempuan itu bernama Sim Eun-seok (Kim Hye-soo). Sim Eun-seok dipindahkan ke pengadilan anak di Distrik Yeonhwa.
Dalam sebuah wawancara kepadanya ditanya apa yang menjadi tujuan dari pengadilan anak? Baginya tujuan pengadilan anak bukanlah sekadar menghukum, melainkan menyediakan sistem yang mana anak-anak pelaku kriminal dapat mereformasi dirinya begitu juga orang dewasa sehingga menjadi warga masyarakat yang baik.
Ia ditanya mengapa ia ingin menjadi hakim di pengadilan anak? Sim Eun-seok menjawab bahwa ia memiliki kemarahan pada pelaku kriminal anak. Tugas hukum adalah mencegah mereka melakukan yang lebih buruk di masa dewasa nanti.
Jika orangtua berupaya menutupi kejahatan anak-anak mereka, maka tugas kita untuk menghentikannya. Kita harus menunjukkan bahwa hukum itu tidak untuk dipermainkan . Semua sama di mata hukum. Kita harus mengajarkan mereka ganjaran apa yang didapat akibat melukai orang lain.
Pernyataan menarik dari hakim yang ditampilkan dengan sosok yang tampak dingin, keras, dan arogan hendak menyampaikan kebenaran yang luput dari pengamatan memandang hukum, ketika berkaitan dengan pelaku kriminal anak.
Bahwa seolah-olah ketika pelaku kriminal adalah seorang anak/di bawah umur, maka tidak ada konsekuensi bagi pelakunya, bahkan tidak ada beban yang dipikul oleh orangtua.
Drama ini dibuka dengan kasus pembunuhan yang menggemparkan, sebab pelaku pembunuhan adalah siswa sekolah berusia 13 dan 16 tahun yang membunuh anak berusia 8 tahun dengan cara memutilasi tubuhnya. Kedua pelaku ini tampak terkesan meremehkan hukum.
Mereka merasa karena mereka masih berusia remaja, mereka bisa lepas dari jeratan hukum. Tidak ada keberpihakan pada korban dan keluarga, juga pada pelaku yang harus mendapatkan ganjaran maksimal sesuai dengan perbuatannya.
Bagaimana dengan pelaksanaan hukum pengadilan anak di Indonesia? Peraturan pidana anak diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tetang Pengadilan Anak menyimpang dari KUHP. Mengingat anak memiliki kekhususan yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa untuk itu perlu penanganan khusus.
Dalam hal tindak pidana yang dilakukan anak sebelum berumur 18 tahun, ia akan diajuan siding ke pengadilan setelah anak tersebut melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun, maka ia tetap diajukan ke sidang anak sesuai dengan pasal 20 UU Ni.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Pertanyaannya apakah kemudian dengan Sistem Peradilan Anak ini ketika berhadapan dengan pelaku kriminal usia anak, lalu anak tidak mendapat ganjaran? Dalam hal pidana anak dikenal istilah diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Diversi dapat dilakukan atas persetujuan korban dan ancaman pidananya di bawah 7 tahun, tetapi apabila korban tidak menghendaki diversi maka proses hukumnya akan terus berlanjut.
Apakah diversi adalah langkah tepat untuk pelaku kriminal anak? Atau dengan meletakkan vonis hukuman pada pelaku kriminal anak dapat mengubah mereka? Pada drama tersebut, dialektika pengadilan anak mengemuka, kala Cha Tae Joo yang ditampilkan berbeda dengan Sim Eun-seok.
Dia percaya bahwa ada kesempatan kedua bagi pelaku kriminal anak. Bahwa pelaku kriminal anak memiliki latar belakang yang lahir dan besar di tengah keluarga yang tidak mendukung pertumbuhan mereka.
Ada orangtua yang hanya peduli kekayaan, melakukan kekerasan dalam rumah tangga, orangtua yang hanya peduli dengan karier, masyarakat yang juga tidak peduli kepada tumbuh kembang anak-anak.
Di antara dialektika itu, keduanya sama-sama percaya bahwa pengadilan anak berpihak kepada anak, baik korban maupun pelaku. Para pelaku kriminal anak dengan diberi ganjaran atas perbuatan mereka adalah salah satu cara agar mencegah mereka melakukan perbuatan yang lebih buruk ketika dewasa nanti.
Peran orangtua turut menentukan pertumbuhan anak, bukan sekadar menginginkan anak melakukan pencapaian yang diinginkan. Selain itu sistem pendidikan yang menitikberatkan pada hasil gemilang dengan meniadakan proses dan karakter yang bertanggung jawab hanya menghasilkan anak-anak yang bertumbuh kompetitif dan menghalalkan berbagai macam cara.