Sebuah pembuka tulisan di laman opini Magdalene berjudul Double-Edged Sword: The Difficulty of Speaking Out Against Radical Islam membuat saya merenungi betapa intoleransi tanpa sadar telah diajarkan sejak dini. Sang penulis bercerita guru agama SD-nya mengajarkan bahwa non-muslim atau mereka sebut dengan kafir adalah musuh.

Gurunya mengajarkan umat Buddha, Kristen dan Hindu adalah jiwa yang sesat yang akan menghadapi hukuman kekal di neraka. Idenya, jika kamu terlalu akrab dengan teman non-Muslim, tidak berbeda dengan mereka, kamu akan masuk neraka yang amat sangat menyiksa.

Betapa terguncangnya penulis saat kecil karena dia merasa seharusnya muslim tak mengekslusifkan diri namun sang guru justru mengajarkan sebaliknya. Beruntung, ibunya mempunyai pemikiran progresif dan berhasil meyakinkan penulis bahwa pemikirannya tidak salah.

Lain cerita, teman saya berniat menyekolahkan anaknya ke sekolah agama ternama di daerahnya. Dia mulai observasi sekolah, bertanya kepada pengurus sekolah, sampai stalking ke media sosial para gurunya. Dia menemukan bahwa tak ada atribut kenegaraan di kelas-kelas sekolah tersebut, tak ada gambar Pancasila, tanpa foto presiden dan wakil presiden, bahkan gambar-gambar pahlawan pun tiada.

“Kami tidak menyelenggarakan upacara bendera atau peringatan hari nasional karena tidak ada di ajaran agama kami,” kata seorang pengurus saat teman saya itu bertanya. Setelah melongok ke media sosial guru-gurunya, dia jadi yakin tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah itu. Unggahan di media sosial si guru tentang kebencian pada pemeluk agama lain semakin menguatkan keputusannya.

Teman saya itu tak ingin anaknya eksklusif dan menjadi pembenci bagi agama lain. Dia berharap si kecil melihat persaudaraan dengan orang lain bukan atas dasar agama melainkan kemanusiaan. Akhirnya, dia menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri biasa dan menyediakan guru agama di sore hari.

Penulis di cerita pertama dan anak teman saya itu beruntung mempunyai ibu-ibu yang paham mengenai pendidikan toleransi. Anak merupakan peniru ulung yang mencontoh perilaku orang dewasa di sekitarnya. Ajaran yang diterima saat kecil akan mempengaruhi pemikirannya hingga dewasa.

Lantas, bagaimana anak-anak yang orang dewasa di lingkungannya justru mengajarkan eklusifitas dan tak mau bergaul akrab dengan pemeluk agama lain? Saya rasa ini tak hanya terjadi di pemeluk agama tertentu, tetapi juga terjadi di pemeluk agama lain. Hasilnya akan seperti Trump dengan retorika anti-muslimnya. Atau seperti Rizieq yang mengatakan “Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?” Anehnya pandangan tokoh-tokoh itu dianggap wajar oleh pengikutnya.

Pendidikan Inklusif Tak Hanya Untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Saya gembira karena banyak orang tua yang mulai sadar dengan pendidikan agama. Merasa tak cukup mengajarkan agama kepada buah hatinya, mereka berbondong-bondong menyekolahkan ke sekolah berbasis agama. Saya yakin semakin seseorang bisa menerapkan agama tak hanya sebatas atribut tapi pada tingkah lakunya, maka ia akan bisa membawa kedamaian dan keharmonisan di dunia.

Namun di sisi lain, saya sedih karena sebagian hasil pendidikan yang berbasis agama langit itu justru membuat anak-anak tak tumbuh sebagai generasi yang membumi. Mereka tak mengedepankan kemanusiaan manusia melainkan merasa sebagai perwakilan Tuhan yang berhak menghakimi orang lain. Masih ingat pawai obor di Jakarta menyambut bulan Ramadhan tahun lalu? Begitu mudahnya anak-anak kecil meneriakan ucapan penuh agresivitas seolah kata ‘bunuh’ sewajar meminta es krim pada orang tua.

Ditambah lagi dengan sikap eksklusivitas di segala lini. Tak hanya menyekolahkan di lembaga pendidikan berbasis agama tertentu tetapi juga memilih perumahan dengan basis agama seragam, semuanya serba sama dan tak menerima pemeluk agama lain. Alhasil, ketika dewasa dan menemukan hal yang berbeda dengan keyakinannya, dia akan gegar, cepat emosi, dan melakukan segala sesuatu untuk membenarkan keyakinanya bahkan dengan cara radikal. Orang sering takut pada apa yang tidak mereka pahami.

Dari sinilah, saya pikir pendidikan inklusif bisa menjadi pilihan orang tua yang ingin mengajarkan anaknya toleransi. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar difabel dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya, siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk semua siswa tanpa terkecuali difabel.

Namun pendidikan inklusif yang saya maksud adalah pendidikan yang berlawanan dengan prinsip eksklusivitas. Pendidikan yang membuat anak bisa menerima apapun kondisi temannya tanpa harus merendahkan. Tak hanya yang berkebutuhan khusus atau difabel, anak merasa wajar bergaul dengan suku, agama, etnis apapun. Pendidikan seperti ini akan menumbuhkan toleransi dan kemanusiaan hingga mereka dewasa.

Saya mengenal salah seorang teman yang belajar di sekolah inklusif bilangan Depok, Jawa Barat. Dia tak hanya piawai berhadapan dengan anak-anak berkebutuhan khusus tetapi juga mempunyai banyak teman dari beragam keyakinan.  Sebagai muslimah sunni taat, dia mempunyai sahabat seorang syiah.

“Kita bisa saja tak sepakat dengan keyakinannya, namun kita tak boleh menutup haknya sebagai manusia untuk mendapatkan pendidikan, akses kesehatan, dan pekerjaan yang layak,” ujarnya. Dan, satu hal, dia tak ingin memonopoli kebenaran.

Contoh lain sekolah inklusif yang berhasil ialah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda di Medan. Sekolah multietnis ini mempunyai bagunan ibadah masing-masing agama yang dibangun berdampingan di kompleks sekolah. Yayasan ini juga membuat gerakan orangtua asuh untuk mengetuk dermawan agar memberi santunan biaya sekolah bagi siswa miskin di sekolahnya.

Pendidikan inklusif, saya rasa, tak mesti didapatkan dari sekolah tetapi bisa juga dari rumah. Orang tua bisa mengajarkan mengenai budaya dan ritual agama lain sebagai pengetahuan, tanpa menghakimi dan tanpa memberi penilaian. Caranya dengan berkunjung ke tempat yang mengenalkan ke daerah yang multi budaya namun tetap aman dan damai. Dorong mereka bergaul dengan siapapun, tidak dibatasi suku atau agama.

Terakhir, contoh dari orang tua menjadi keberhasilan utama pendidikan inklusif. Orang tua yang menghargai sesama manusia apapun identitasnya, tidak menjelek-jelekan kelompok berbeda saat di rumah, akan ditiru si kecil. Kelak ketika sudah dewasa, mereka akan tumbuh tanpa meliyankan orang lain dan dapat mengatasi konflik dengan damai.

Pada akhirnya, mengatasi ujaran kebencian dan perilaku intoleran memanglah sulit. Orang sering kali tak merasa salah dengan memaksakan apa yang diyakininya dan menganggap orang lain yang berbeda adalah hal yang mengancam. Kita tak bisa memotong satu generasi untuk melahirkan masyarakat yang dewasa akan perbedaan. Tapi kita bisa membentuk generasi baru lewat pendidikan inklusif.

"No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.” ― Nelson Mandela,