Dalam sebuah obrolan bersama Zico ketika dirinya sedang melepas jenuh, saya dapatkan sebuah film berdurasi sekitar 4 menit tentang pendidikan berjudul Education in Colonial Indonesia. Buat saya, film dan pertanyaan yang diajukan oleh Zico sangat menarik. Saya sangat menganjurkan anda untuk menonton film itu dahulu sebelum membaca artikel ini.
Film ini sebenarnya memberikan gambaran sekilas tentang pendidikan di Indonesia pada jaman kolonial Belanda. Filmnya pun hitam putih dan tanpa suara (lagu latar merupakan tambahan).
Di awal film terlihat deretan siswa yang saya tebak kemungkinan siswa SD, duduk manis tersenyum dan mendengarkan guru yang berbicara di depan kelas. Mereka duduk dengan aturan mebel berbaris ke belakang, sama seperti aturan duduk yang sekarang bisa kita lihat di kebanyakan sekolah.
Ada yang mencatat dengan semacam papan tulis (berukuran kecil) dan kapur, ada yang sudah menggunakan kertas dengan pena yang selalu harus diisi ulang tinta. Para siswa mengikuti semua yang diajarkan, pula meniru apa yang diajarkan guru.
Guru juga terlihat menggunakan papan kecil kau sebagai penunjuk. Untuk siswa yang lebih besar, ada yang sedang belajar tentang peta, menggambar dan praktik teknik (saya menebak ini adalah sekolah yang setara dengan SMK sekarang ini).
Saat itu Zico mengajak saya untuk menonton film ini dengan seksama dan kemudian berusaha menjawab pertanyaan yang diajukan, “Apa perbedaan dan persamaan mengenai gambaran pendidikan Indonesia sekarang dengan yang ada di film tersebut?”.
Saya beruntung Zico sedang bergairah untuk membincangkan film itu. Kami jadi asyik berdiskusi untuk beberapa saat. Ketika kemudian film ini kami bahas, Zico menyentil, “Benarkah bahwa pendidikan sekarang ini sudah jauh berbeda dengan yang terlihat di film tersebut?”
Hmmm…rasanya pertanyaan itu Zico sampaikan untuk menunjukkan pendapat Zico yang kosok bali. Zico tampak kurang setuju dengan anggapan bahwa pendidikan sekarang ini sudah jauh berbeda dengan yang terlihat di film tersebut. Entah mengapa saya juga terbawa pendapat Zico, karena merasa bahwa yang ada gambaran pendidikan jaman kolonial tersebut masih lebih banyak kemiripannya dengan gambaran pendidikan sekarang ini.
Contoh paling bagus ialah siswa yang meniru apa yang diajarkan guru, sama persis; siswa duduk manis di bangkunya dan guru dengan metode ceramah memberikan materi di depan kelas; sangat sedikit siswa (bahkan tidak ada) yang bertanya dalam kelas. Saya merasakan “feel” yang sama setelah menonton film dengan gambaran kondisi pendidikan Indonesia (kebanyakan) sekarang.
Mengenai perbedaannya, yang mungkin terlintas saat itu adalah bajunya yang berbeda. Sekarang siswa kebanyakan sudah memakai seragam sedangkan siswa jaman dulu belum. Setelah beberapa saat saya berpikir hal lain yang berbeda adalah tulisan siswanya.
Jika kita amati dan ingat-ingat, tentu kita sadar bahwa tulisan kakek dan nenek kita sangat bagus dibandingkan dengan tulisan anak-anak jaman sekarang. Saya pikir hal ini berkaitan dengan bentuk pulpen jaman dulu yang memerlukan penulisan yang bersambung dan tidak putus.
Tetapi, saya tidak akan membandingkan adanya perbedaan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, seperti misalnya sekarang siswa sudah menggunakan pulpen dibandingkan dengan dulu yang menggunakkan pena tinta isi ulang; pembelajaran di kelas sudah banyak menggunakan ICT.
Alasan saya tidak ingin membandingkan hal yang berkaitan dengan kemajuan teknologi karena nantinya saya seperti membandingkan buah duku dengan durian, yang memang sama sekali 2 hal yang berbeda.
Kemudian Zico memberikan pendapat tambahan persamaan film tersebut dengan gambaran pendidikan sekarang ini, yaitu bentuk mebel dan pengaturan tempat duduknya! Saat Zico mengatakan hal tersebut, darah saya seperti berhenti mengalir. Bener banget!!! Sejak jaman kolonial sampai sekarang pengaturan posisi duduk siswa (bahkan sampai mahasiswa) juga masih seperti itu.
Sebaris bangku, 4 deret ke samping. Lalu keluarlah keluhan dari Zico, “Kenapa ya pembelajaran sekarang masih menggunakan pengaturan mebel seperti itu? Padahal hal yang seperti itu sangat mudah bagi guru untuk mengubahnya.”. Ini jadi pelajaran berharga buat saya, karena setelah saya renungi, saya juga masih jarang mengubah aturan mebel kelas saya dan membiarkannya seperti itu. Dan kebetulan saya diberikan kesempatan untuk mengajar beberapa kelas.
Zico kemudian bertanya, “Apa sebenarnya esensi pendidikan jaman kolonial Belanda?”. Saya memang belum mendapatkan buku sejarah yang secara gamblang menyatakannya (mungkin karena buku yang saya baca tentang sejarah negeri sendiri masih kurang), tetapi sepertinya Belanda ingin ‘mendidik pribumi’ untuk dijadikan ‘buruh’ semata, mirip seperti STEM yang sedang ‘diperjuangkan’ oleh nganu sekarang. Walaupun kita juga tidak boleh melupakan, bahwa Belanda membuka sekolah dan mengirim pribumi melalui beasiswa ke negeri mereka dalam rangka politik etika, atau politik balas budi.
Tetapi sebenarnya mereka tidak benar-benar ingin penduduk jajahannya untuk berkembang dan menjadi ‘pintar dan bisa berpikir’. Sedangkan kita sudah bukan lagi di jaman kolonial. Tentu saja tujuan pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi mengapa cara-cara pembelajarannya masih mirip dengan saat pembelajaran saat kolonial dulu?
Demi kemajuan pendidikan Indonesia, kita harus mencoba berbuat sesuatu untuk mengubahnya, dan perubahan tidak akan dimulai jika kita tidak memulainya dari diri kita sendiri.